'Doea Tanda Cinta': Asmara Segitiga Calon Taruna

'Doea Tanda Cinta': Asmara Segitiga Calon Taruna

- detikHot
Selasa, 26 Mei 2015 16:08 WIB
Jakarta - Hujan deras mengguyur di sebuah hutan tropis. Bunyi tembakan menggema di udara. Sebuah jeep berisi beberapa prajurit TNI melintas menyisir seisi hutan dalam sebuah operasi militer. Di sisi lain hutan kita melihat sosok Bagus (Fedi Nuril, ‘Ayat-ayat Cinta’, ‘Garasi’) terengah-engah, terluka, dan seketika roboh ke tanah. Lalu cerita bergulir mundur jauh ke masa lampau saat Bagus masih menjadi jagoan kampung dan gemar berkelahi menghajar orang-orang yang dianggapnya sok jago. Dinasihati oleh ibunya untuk menjadi jagoan betulan, ia lantas mendaftarkan diri ke akademi militer untuk menjadi seorang prajurit.

Pada saat yang sama, di tempat yang berbeda, kita dikenalkan pada tokoh lain, Mahesa (Rendy Kjaernett, ‘Thank You Cinta’, ‘Aku, Kau & KUA’), cowok songong anak seorang petinggi militer (diperankan oleh Tio Pakusadewo). Suatu kali ia membuat masalah dengan menghajar seseorang di sebuah klub. Ayahnya mengetahui hal itu, dan seperti ibunya Bagus, ia pun menasihati putra semata wayangnya itu dan memasukkannya ke akademi militer.

Maka, begitulah, di akademi militer Bagus dan Mahesa bertemu dan menjadi satu regu. Mereka ditempa serangkaian latihan dan ujian kedisiplinan. Mahesa sering membuat masalah serta merugikan teman-temannya dengan tindakan-tindakan indisiplinernya. Seperti, absen dari latihan, bersembunyi menghindari apel, dan tindakan-tindakan cengeng lainnya yang cenderung memperlihat sisi manja dirinya. Hal ini berbeda sekali dengan penggambaran sosoknya di awal film yang terlihat beringas dengan menonjok orang di sebuah klub. Di asrama akademi militer itu, Mahesa menjadi sosok lemah yang mendambakan figur pelindung bagi dirinya. Di saat itulah, manakala ia dihukum oleh komandannya, Bagus selalu ada dan menjadi satu-satunya orang yang membelanya.

Bahkan, di saat teman-temannya yang lain begitu jengkel kepadanya, Bagus selalu ada menggenggam tangannya, memberikan senyumnya yang paling hangat dan senantiasa mendekapnya agar ia selalu kuat menjalani pendidikan di akademi yang keras tersebut. Ditambah dengan teman-teman lain dalam satu regu yang lambat-laun mulai bisa menerima kondisinya, kesetiaan Bagus mendampinginya membuat Mahesa jadi merasa lebih ringan menjalani kewajibannya. Bersama-sama mereka terlihat gembira mengisi hari-hari penuh cinta dan canda selama menjalani pendidikan militer.

Lupakan apapun yang Anda ketahui tentang beratnya pendidikan militer, atau betapa kejamnya perploncoan dari senior-senior kepada taruna-taruna baru seperti yang mungkin pernah Anda dengar selama ini. Di film ini kehidupan di akademi militer tak jauh berbeda dengan sekolah seminari, menyenangkan dan penuh cinta kasih. Lebih dari setengah jam film bergulir, cerita tak beranjak ke mana-mana selain kisah hubungan antara Bagus dan Mahesa yang makin terbangun, dan chemistry antara keduanya yang semakin kuat. Baru di menit keempat puluh, cerita film memiliki konflik berarti manakala Laras (Tika Bravani, ‘Hijab’, ‘Soekarno’) masuk ke tengah adegan mengusik hubungan yang telah terjalin baik di antara Bagus dan Mahesa.

Butuh 40 menit bagi film besutan Rick Soerafani yang naskahnya ditulis oleh Jujur Prananto ini untuk menyampaikan gagasan sesungguhnya yang hendak dielaborasi. Yaitu, kisah cinta segitiga antara Bagus, Mahesa dan Laras. Namun, gagasan itu terlambat masuk ke semesta cerita hingga kemudian film ini terseok-seok untuk 40 menit lagi untuk mengantarkan kisahnya menuju babak akhir, yang tinggal tersisa 15 menit.

Sebagai debutan, sutradara Rick Soerafani terlihat kepayahan mengemas film ini hingga pada akhirnya tak begitu jelas di ‘genre’ mana film ini bernaung. Drama bukan, aksi apalagi. Sebagai suguhan drama, sutradara film ini tergagap-gagap menyampaikannya; jangankan mampu menghadirkan jalinan kisah cinta penuh romantisme yang bernyawa, sekedar mengarahkan adegan dan dialog yang meyakinkan saja seolah tak kuasa. Sedangkan serangkaian adegan aksi yang ada di film ini, berupa baku-tembak, amat kentara bahwa si pembuat film minim referensi. Film Cynthia Rothrock bersama George Rudy dalam ‘Bidadari Berambut Emas’ besutan Ackyl Anwari yang rilis pada 1992 bahkan memiliki adegan tembak-tembakan yang jauh lebih mendebarkan.

Sebagai penulis naskah veteran, Jujur Prananto (‘Haji Backpacker’, ‘Ada Apa Dengan Cinta?’) pun setali tiga uang, mengalami semacam MIA alias “missing in action”. Dan, ini juga bagian dari tanggung jawab tentu komandannya, Rick Soerafani, yang secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan indisipliner dengan tak mematuhi kaidah-kaidah pembuatan film yang baik. Awalnya, sebelum mendatangi bioskop saya penasaran mengapa judul film ini menggunakan kata “doea”, bukan “dua”. Namun, seketika begitu film ini berjalan, saya melupakan pertanyaan konyol tersebut. Sebab, menonton film ini terasa lebih berat ketimbang mengikuti berbagai pelatihan di sekolah akademi militer.

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(Is Mujiarso/Is Mujiarso)

Hide Ads