Di mata penyair, kritikus seni dan aktor Nirwan Dewanto, Alex Komang bukanlah "bintang film". Hidupnya tidak glamor dan penampilannya pun seperti orang kebanyakan. Ia mengendarai mobil Kijang butut, sepeda motor dan sering naik bus umum maupun angkot.
Tahun lalu, Nirwan kerja bareng dengan Alex Komang menjadi juri Apresiasi Film Indonesia. Namun, ia telah mengenal sang aktor sejak lama. Bahkan, kenangan Nirwan bisa sampai jauh ke tahun 1985.
"Saya melihat Alex Komang untuk pertama kali di Bandung, di FFI 1985. Waktu itu dia masih malu-malu dan sedikit culun," kenang Nirwan dalam serangkaian tweet yang diunggah beberapa saat setelah kabar kematian Alex Komang tersiar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alex Komang memang mulai berkesenian di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan yang terkenal di dekade 80-an. Sebelum "ditemukan" oleh pimpinan Teater Popoler dan sutradara kondang Teguh Karya, Alex telah bergabung dengan Teater Tetas pimpinan Ags Arya Dipayana (meninggal dunia pada 2011).
"Alex Komang selanjutnya memang banyak terlibat di film-film arahan Teguh Karya. Juga terlibat di pentas-pentas Teater Populer walau tidak banyak," ujar Nirwan.
Namun, berbeda dengan anggota lainnya yang juga dikenal sebagai aktor film, seperti Slamet Rahardjo dan Tuti Indra Malaon, menurut Nirwan Alex Komang tidak terlalu terikat dengan Teater Populer. "Dia bebas sekehendaknya sendiri, dan tetap menikmati pergulatan di grup asalnya, Teater Tetas. Alex itu 'anak Bulungan'," kata dia.
Alex Komang datang dari keluarga santri NU di Jepara. Nama aslinya Saifin Nuha. Bagi Nirwan, ia sahabat semua kalangan, dan sesuai dengan tradisi kalangan muda NU, ia punya minat intelektual di banyak bidang.
"Dia teman ketawa-ketiwi sambil ngobrol serius tentang film, sastra, teater, agama, hingga politik," ujar Nirwan.
Pada 2014, si "Anak Bulungan" yang dulu culun dan malu-malu itu mencatatkan babak baru dalam sejarah kariernya. Ia terpilih sebagai Ketua Badan Perfilman Nasional (BPI) yang baru dibentuk kala itu. Sebagai sahabat dekat, Nirwan melihat bahwa Alex telah berusaha keras mendayagunakan BPI, yang menjalankan peran yang mestinya diemban oleh Dikbud dan Kemenpar.
Namun, selain politik persaingan antara kalangan tua di Kemenpar dan kalangan muda di BPI, masalah kesehatan juga membuat Alex akhirnya "menyerah". Tahun ini, kepemimpinan BPI telah beralih ke orang lain walaupun mestinya Alex menjabat hingga 2017.
Toh, semua itu tak membuat penghargaan dan penghormatan Nirwan pada Alex Komang berkurang. "Dia mulai terjun ke film pada 1985. Kariernya sampai akhir hayat. Sampai tahun lalu dia masih terlibat beberapa syuting film," ujar Nirwan seraya menyebut 'Jejak Dedari' karya Erwin Arnada dan 'Tjokro' karya Garin Nugroho sebagai dua film yang akan menjadi panggung terakhir sang aktor.
Kembali ke gambaran mengenai kesederhanaan sosok Alex yang diungkapkan di awal, Nirwan pun menggarisbawahi. "Alex Komang pasti tahu bahwa seni peran tidak mendatangkan banyak uang, tapi dia bertahan di situ sampai akhir hayatnya. Hormat!" tandasnya.
(mmu/kak)











































