Tahun lalu, Matthew McConaughey berjaya dengan peran pengidap HIV lewat film 'Dallas Buyer's Club'. Sekarang saatnya Eddie Redmayne yang menjadi sorotan di panggung. Selangkah lagi, ia akan menyapu bersih penghargaan paling bergengsi sebagai pelakon.
Perannya di film 'Theory of Everything' membawa Eddie berada di puncak popularitas. Piala Golden Globe Awards, Screen Actors Gulid Awards dan Critic's Choice Movie Awards yang diraih tahun ini adalah pembuktian yang cukup untuk menjagokannya di perhelatan Oscar.
Prestasi Eddie hampir sama dengan Julianne Moore yang berperan sebagai pengidap alzheimer di film 'Still Alice'. Julianne juga memenangkan hampir semua piala bergengsi ajang penghargaan tahun ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BACA JUGA: Richard Linklater, Selangkah Lebih Dekat Menuju Piala Oscar
Yang menarik bagi Eddie mengenai perannya adalah tentang ketidaksempurnaan. Sebagai anak muda dengan fisik yang sempurna, ia harus memberikan nyawa kepada perannya. Eddie sempat mengunjungi sebuah rumah sakit di London untuk berbicara dengan pasien MND dan para dokter. Aktor berusia 33 tahun itu menggambarkan karakternya seolah olah tengah berdansa, dengan bantuan koreografer dan spesialis pergerakan Alex Reynolds. Eddie juga dibantu Dan Studdard, seorang osteopath.
"Aku harus melatih tubuhku seperti seorang penari tetapi belajar untuk mengecilkan otot alih-alih melebarkannya," kata sang aktor kepada Guardian. Eddie juga membuat chart detail apa penyesuaian yang ia harus lakukan secara fisik dalam tiap adegan.
Hal yang cukup membantunya adalah keputusan sutradara James Marsh untuk membuat karakter Stephen menderita penyakit tersebut di awal film. "Yang menjadi masalah dengan Motor Neuron Disease adalah mereka tak tahu kapan itu bermula," katanya.
Penggambaran awal sekaligus perubahan signifikan secara fisik dalam tokohnya terlihat dalam adegan ketika Stephen dihampiri Jane ((Felicity Jones), setelah mengurung diri karena penyakitnya. Kemudian Jane, mengajak dia melakukan sebuah permainan di rumput pelataran kampus.
"James kemudian mengambil gambar terpisah, apa yang dilakukan kakiku dan tanganku," ujarnya. Dalam sebuah momen di rumah sakit bahkan Stephen tak mampu menghitung menggunakan jarinya. Sebuah ironi menyakitkan bagi seorang ahli matematika.
BACA JUGA: Peran Pengidap Alzheimer, dan Tahun yang (Hampir) Sempurna untuk Julianne Moore
Tetapi yang paling sulit dari semuanya adalah bertemu langsung dengan Stephen Hawking di Cambridge. Rasa sunyi yang janggal ia rasakan pertama kali bertatap muka. "Hal pertama yang terjadi adalah saat perawat Stephen membantu mengangkat tangannya untuk menjabat tanganku," katanya.
"Aku mulai berbicara dan bertingkah konyol dengan berkata, "Halo Proffesor, apa kabar?" Aku kemudian menyadari bahwa respons dari pertanyaan 'Apa kabar' membutuhkan waktu beberapa menit baginya.
"Tolong panggil aku Stephen," kata sang proffesor melalui suara komputer.
Apa yang paling ditakutkan Eddie adalah jika aktingnya mengecewakan Stephen Hawking. "Ketakutan (lainnya) adalah mengetahui Jane dan Stephen dan Jonathan Heller Jones (suami kedua Jane yang diperankan Charlie Cox) serta anak-anak mereka menonton filmnya. Jika kamu memerankan tokoh yang masih hidup, itu adalah tipe penilaian yang berbeda. Seberapa besar kerja kerasmu, ini bukanlah dokumenter, akan selalu ada hal yang kamu lakukan tak sesuai, dan kamu harus melakukan lompatan karena kamu tidak berada di sana," jelasnya.
Tetapi dengan segala pujian dan penghargaan yang didapatkan Eddie lewat peran tersebut, sepertinya ketakutan itu hanya sebuah ilusi positif bagi seorang yang memiliki hasrat besar pada pekerjaannya. Dan ia selangkah lebih dekat untuk menjadi aktor kelas wahid tahun ini.
Eddie akan bersaing di Oscar pada 22 Februari mendatang dengan Michael Keaton (Birdman), Benedict Cumberbatch (The Imitation Game), Bradley Cooper (American Sniper) dan Steve Carell (Foxcatcher).
(ich/mmu)