Itulah yang terjadi pada film dokumenter karya sutradara asal Yogyakarta, Ima Puspita Sari. Film berjudul 'Nyalon' itu diputar perdana di Blitz Megaplex, Jakarta, Minggu (19/10) lalu. Dalam durasi yang relatif cukup pendek, 40 menit, film ini merekam kesibukan pesta-pesta demokrasi di Indonesia dalam tahun-tahun belakangan, dari pemilu DPRD di Yogyakarta hingga pertarungan Jokowi vs Prabowo di tingkat nasional. Semua itu diikuti dari sudut pandang sepasang suami-istri yang membuka usaha salon sederhana di pasar Wates.
Kardi dan Dini, pasangan suami-istri tersebut, menjadi semacam 'opinion leader' yang merekam suara-suara masyarakat, yang diwakili oleh pengunjung salon mereka. Kardi membuka salon khusus pria dengan pelanggan umumnya dari kalangan bapak-bapak tua. Sedangkan salon Dini melayani para perempuan, yang kebanyakan usia muda. Sambil potong rambut, mereka berbincang secara spontan tentang "politik", dalam kapasitas sebagai rakyat alias orang awam, yang kerap dianggap sebagai suara Tuhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pasa dan salon adalah dua ruang yang menarik bagi saya," kata Ima. Perjumpaan-perjumpaan yang singkat dan hangat, dialog-dialog sederhana dan jujur membuat Ima bersemangat. "Kemarin ketika suasana politik panas-dingin, berada di kedua ruang itu bagi saya adalah rekreasi," tambahnya.
Film ini merupakan karya terbaru dari serangkaian karya yang difasilitasi oleh sutradara Nia Dinata dan Kalyana Shira Foundation, di bawah program Masterclass Workshop Project Change! 2013 yang disponsori Ford Foundation. Sebelumnya, program ini telah melahirkan omnibus film dokumenter 'Pertaruhan' dan 'Working Girls'. Setelah 'Nyalon' masih ada 4 film yang terpilih yang kini tengah dalam tahap produksi.
Usai pemutaran perdana, Nia Dinata sedikit menceritakan proses produksi 'Nyalon' yang menurutnya seru. Ia beberapa kali harus wara-wiri Jakarta-Jogja selama syuting berlangsung. "Suatu kali, Ima nelepon dari Jakarta ngasih tahu bahwa Pak Kardi dan Dini ternyata nyoblos Prabowo, waduh saya langsung panik, saya kan Jokowi banget, gimana ini, sempat kepikiran apa dihentikan saja," tutur Nia blak-blakan.
Tapi, setelah berdiskusi dengan sutradara dan seluruh tim yang terlibat, akhirnya diputuskan bahwa film tetap berlanjut sebagaimana adanya. "Hal itu kemudian justru menjadi semacam twist tersendiri dari film ini," ujar Nia seraya menambahkan bahwa dari proses pembuatan film ini dirinya menemukan semacam kearifan lokal yang bisa ditularkan kepada para penonton film ini nantinya.
(mmu/mmu)