Sedari kecil Likas adalah perempuan tangguh berwatak keras, pun ketika ia berkeinginan untuk bersekolah nun jauh dari rumahnya demi menggapai cita-citanya menjadi guru. Sebuah cita-cita mulia yang tak direstui oleh ibunya sendiri yang berpegang teguh pada adat; malu bagi sebuah keluarga bila ada anak gadisnya yang merantau, seolah itu sebuah bentuk kemelaratan. Beruntung Likas memiliki ayah yang selalu mendukungnya. Maka, diantarlah Likas ke asrama sekolah tanpa keikhlasan dari sang ibu yang merasa berat sekali melepasnya pergi.
Beranjak dewasa Likas ditaksir oleh Djamin Gintings, pemuda tentara PETA yang aktif berjuang mempertahankan tanah Sumatera Utara dari gempuran penjajah. Awalnya Likas emoh meladeni Djamin yang ia cibir sebagai antek Jepang itu. Tapi, setelah pada beberapa kesempatan ia disurati terus-menerus oleh Djamin, lama-lama luluh juga hatinya pada rayuan-rayuan maut yang kerap disampaikan Djamin melalui surat-suratnya yang ia tulis di tengah medan perang. Keduanya kemudian menikah dan menjalani hidup bersama-sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbicara tentang tokoh Djamin Gintings sendiri, selain namanya yang jarang (atau bahkan mungkin tak pernah?) disebut-sebut dalam buku sejarah perjuangan kita, rupanya sepak terjangnya sebagai pejuang kemerdekaan lumayan kontroversial juga. Di antaranya sebagai pejuang dari Sumatera ia dianggap terlalu pro Jawa. Belum lagi ada anggapan mengenai dirinya sebagai seorang pengkhianat karena pernah "menggulingkan" atasannya sendiri demi mendapatkan pangkat Pangdam Bukit Barisan yang diincarnya pada masa-masa awal perjuangannya. Namun, tak sedikit juga yang memang menganggapnya sebagai pahlawan pejuang kemerdekaan yang bermartabat.
Menyaksikan film ini, yang rentang waktu peristiwanya begitu panjang dari mulai era perjuangan Soekarno hingga Soeharto naik tahta, lewat sudut pandang Likas, kita jadi mengerti situasi politik di kala itu. Termasuk, episode paling kelam dalam sejarah politik bangsa ini yaitu peristiwa G30S. Djamin sebagai jenderal selamat dari peristiwa paling berdarah tersebut, dan perjalanan kariernya makin naik saja. Puncaknya ketika ia ditunjuk sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Kanada. Namun, sebagai "orang lapangan", bagi Djamin penempatan dirinya sebagai dubes itu seperti upaya "penyingkiran" dirinya yang masih dianggap sebagai sisa-sisa "orang Soekarno".
Titien Wattimena ('Hello Goodbye', 'Sang Pialang') sebagai penulis skenario film ini sangat jeli untuk menyiasati tuturannya yang sarat muatan politis tadi tanpa membuatnya menjadi film politis yang bombastis. Pun film ini tak mengkultuskan tokoh utamanya sendiri seperti yang kerap terjadi dalam pengisahan biografis di film-film sejenis. Lewat sudut pandang Likas, kita mengenal Djamin dan Likas sendiri, juga segala peristiwa tentang mereka yang kita saksikan di film ini jadi terasa amat personal.
Mengapa kisah film ini disampaikan lewat sudut pandang Likas? Bila Anda perhatikan ada beberapa adegan di film ini yang menceritakan betapa seringnya Djamin menyurati Likas, dan disebutkan dalam satu adegan bahwa Likas kepayahan untuk membalas surat-suratnya karena Djamin begitu pintarnya menulis. Maka, bila kisah film ini dikarang berdasarkan sumber tertulis, selain dari buku 'Perempuan Tegar dari Sibolangit' tulisan Hilda Unu-Senduk, pastilah juga dari buku karya Djamin Gintings sendiri yang diterbitkan berdasarkan catatan-catatan buku hariannya. Namun, Titien memilih untuk menuturkannya lewat Likas, dan itu cerdik untuk alasan-alasan yang saya sebutkan di atas. Belum lagi penggunaan narasi di sepanjang film yang sarat kalimat-kalimat indah menggetarkan membuat film ini terasa seperti kisah-kisah cinta karangan Nicholas Sparks. Anda yang pernah menonton 'The Notebook' misalnya, pasti senang menyaksikan bagaimana film ini bermula, sebab sedari awal film ini sudah terasa begitu manis, romantis dan juga emosional.
Film ini digerakkan oleh aktor-aktor terbaik negeri ini. Penampilan Tutie Kirana ('Laura & Marsha', 'Roda-Roda Gila') sebagai Likas tua terasa istimewa, pun Jajang C. Noer ('Cahaya dari Timur', 'Belenggu') yang telah bermain di lebih dari 50 judul film ini makin bersinar saja. Ia mampu menghidupkan sosok ibunda Likas yang kolot tanpa membuat karakternya jadi menyebalkan dan patut dibenci. Malahan duet aktingnya bersama Tissa Biani Azzahra (sebagai Likas kecil) amatlah mengagumkan. Untuk menyaksikan adegan-adegan yang menampilkan Tissa Biani saja sudah cukup jadi alasan untuk menonton film ini. Arswendi Nasution ('KALA', 'Pintu Terlarang') sebagai ayahanda Likas juga menunjukkan kebolehan terbaiknya; ia satu dari sedikit aktor Indonesia yang begitu kharismatik. Atiqah Hasiholan ('La Tahzan', 'Hello Goodbye') tentu saja menjadi jantung hati film ini, dan kita bakal menanti-nantikan setiap penampilannya di film-film berikutnya selepas ini. Tanpanya '3 Nafas Likas' mungkin akan kehilangan napasnya. Vino G Bastian ('Cinta/Mati', 'Madre') mampu mengimbangi Atiqah, dan di film ini ia tampil tak seperti biasanya. Usahanya untuk mengubah bentuk rahangnya agar terlihat 'cameuh' demi menyerupai fisik Djamin juga pembawaannya yang sedikit menyebalkan namun juga berwibawa layak diapresiasi lebih.
Film ini memang tidak tampil tanpa cela. Departemen tata rias amat lemah menunaikan tugasnya, namun itu kemudian diimbangi oleh departemen kostum yang telaten membawa napas busana setiap zaman yang ditampilkan. Penyutradaraan, sinematografi, editing hingga scoring film ini amat memuaskan. '3 Nafas Likas' adalah jenis film yang setelah usai ditonton akan membuka diskusi-diskusi pembacaan terhadapnya, dan bila mau mengesampingkan aspek politisnya, sebagai sebuah drama percintaan film ini juga menggetarkan! Sebelum ini siapa yang tahu bahwa kehidupan jenderal perang itu tak melulu soal dar der dor, tapi ada juga yang pandai menulis surat merayu kekasih dan bercinta-cintaan.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(ich/ich)