Vino G Bastian: dari Ngamen, Belajar Jahit Hingga Nongkrong di Lapau

ADVERTISEMENT

Wawancara Khusus (3-Habis)

Vino G Bastian: dari Ngamen, Belajar Jahit Hingga Nongkrong di Lapau

- detikHot
Senin, 06 Okt 2014 15:34 WIB
Jakarta - Beberapa kali wawancara yang berlangsung hampir tiga jam di sebuah kafe di Citos, Jakarta Selatan itu terhenti. Silih-berganti orang-orang yang mengetahui keberadaan Vino G Bastian meminta foto bersama. Hal itu tak diragukan lagi menunjukkan tingkat popularitas Vino sebagai aktor di mata masyarakat. Wawancara dengan pengamat perfilman Shandy Gasella itu sendiri berlangsung santai. Vino menjawab setiap pertanyaan dengan lugas, ceplas-ceplos dan banyak diselingi tawa. Pada bagian ketiga atau penghabisan ini, Vino banyak bercerita tentang kehidupan pribadinya. Antara lain terungkap bahwa ternyata dia anak rumahan yang tak suka party. Lalu, apa pemikirannya untuk kemajuan perfilmanan di Tanah Air? Apa pula proyek film berikutnya setelah ikut memproduseri 'Tabula Rasa' dan sebentar lagi film terbaru yang dibintanginya, '3 Nafas Likas' dirilis?

Kamu tipe orang rumahan atau tipe keluyuran?

Gue anak rumahan banget. Mungkin gue orang yang bakal basi banget kalau diajak pergi ke klab. Gue lebih senang pergi ke kafe yang ada live music-nya. Kalau pun misalnya gue jalan-jalan ke pantai, pasti gue bakal seharian aja duduk tenang juga di pantai. Bukannya gue nggak bergaul, gue nggak terlalu senang sama party, gue lebih nyaman aja di rumah. Gue bisa tuh seharian aja di rumah nonton film, kalau sudah begitu gue bisa lupa segala hal. Gue juga punya hobi ngumpulin action figure karakter-karakter di film dan musik, terutama film-film lama zaman Marlon Brando gue punya. Gue senang banget hunting action figure film karena gue suka nonton film, dan dulu tuh gue sempat suka ngoleksi DVD film Indonesia juga, cuma makin lama film Indonesia makin banyak kan, gue jadi keteteran ngumpulinnya. Dulu gue punya mimpi pengen punya perpustakaan khusus film Indonesia, cuma itu tadi, karena lama-lama film Indonesia semakin banyak dan semakin nggak jelas juga, apa iya semuanya mesti gue beli? Film Indonesia zaman dulu itu sudah banyak yang hilang entah ke mana. Film zaman sekarang ada DVD-nya, tapi kok rasa-rasanya ketika kita teriak-teriak dokumentasi film Indonesia zaman itu perlu diperhatikan, kita kok nggak mau menyimpan dokumentasi film-film zaman sekarang, jadi seolah-olah teriakan kita itu wacana doang. Apakah hanya film-film zaman dulu yang perlu didokumentasikan? Film-film zaman sekarang juga harus didokumentasikan.

Bila ada hal yang ingin kamu ubah atas dirimu, apa itu?

Nggak ada. Nggak ada yang pengen gue ubah, tapi ada sih hal yang pengen gue perbaiki. Gue punya follower di Twitter segitu banyak, belum tentu lho semua follower gue itu penggemar film gue, nggak ada jaminan follower banyak bisa membuat film gue sukses juga di pasaran. Ini yang pengen gue ubah, gue punya misi dari segitu banyaknya follower gue, gue berharap ada beberapa di antaranya yang tadinya nggak suka nonton film jadi suka, berharap selalu ada penggemar baru yang pergi ke bioskop. Gue selalu bilang ke penggemar gue di VGB Friends kalau mereka nonton film itu jangan cuma karena ada gue di film itu, kita harus nonton film-film Indonesia yang bagus karena kalau bukan kita ya siapa lagi. Makanya kalau ada film Indonesia yang baru rilis gue suka tweet, buat apa? Gue pengen membuat orang-orang melihat film Indonesia itu keren, gue pengen nyoba ngebawa jutaaan follower gue itu untuk bersikap seperti itu walau pun itu nggak mudah.

Apa saja film-film favoritmu?

Kalau film Indonesia gue suka film 'Pengkhianatan G30S/PKI'. Gue sebenarnya penggemar film perang. Menurut gue belum ada nih film perang zaman sekarang yang kalau kita tonton tuh kita ngerasain seolah-olah kita ada di situasi perang itu, seperti zaman dulu ada film 'Janur Kuning'. Kalau film asing gue suka 'Y Tu Mama Tambien', menurut gue cerita di film itu real banget, dan film itu menginspirasi gue waktu bermain di 'Realita Cinta dan Rock n Roll'. Gue juga suka 'City of God', 'Father of the Bride', oh ya, gue juga suka 'Demi Ucok'.

Apa peran terberat yang kamu mainkan sepanjang kariermu sejauh ini?

Tiap film pasti punya tantangannya masing-masing. Film pertama gue itu susah karena gue sama sekali belum tahu dunia film. Untuk 'Radit dan Jani' gue butuh riset yang panjang, gue pengen penonton percaya bahwa karakter gue itu kena drugs, untuk itu gue pergi ke tempat rehab, gue menemui para pecandu, dan gue juga sempat punya pengalaman pribadi memiliki teman yang sakau, meninggal di depan gue karena overdosis drugs. Di film 'Rumah dan Musim Hujan' ada adegan gue kissing sama pacar gue, laki-laki, dan ini beneran susah banget gue lakuin karena gue nggak mungkin riset dulu untuk adegan itu. Walau pun adegan serupa sudah banyak ada di film lain, tapi buat gue itu jadi challenge yang menantang banget.

Kamu punya metode tertentu dalam berakting?

Dalam berakting, pertama gue harus pahami dulu skripnya, gue baca terus hingga benar-benar paham. Gue bermain bukan untuk bisa mengubah diri gue jadi satu karakter, tapi gue melakukan tafsiran gue terhadap si karakter itu seperti apa. Sebelum syuting 'Punk in Love', gue ngamen di Tangerang, jadi gue dilepas di Tangerang ujung entah gue nggak tahu persis itu di mana, gue nggak dikasih duit sepeser pun, dan gue harus bisa balik ke tempat workshop dengan ngamen di bus biar bisa dapetin duit buat ongkos pulang. Untuk 'Tampan Tailor', gimana caranya gue nunjukkin kalau gue bisa menjahit, gue bilang ke tim produksi kalau mereka bisa kirimin gue mesin jahit ke rumah gue ambil peran itu. Akhirnya dikirim tuh, sebulan gue belajar menjahit sendiri. Walaupun adegan menjahit gue nggak banyak yang dipasang, tapi buat gue akting gue di sana otentik. Buat '3 Nafas Likas' juga kalau misalnya gue cuma googling berdialog dengan bahasa Karo itu seperti apa mungkin gue akan dapetin arti terjemahan dialog-dialog itu, tapi apa gue bakal dapetin "nyawanya"? Akhirnya gue nongkrong di lapau di Cililitan, itu di luar workshop, gue inisiatif sendiri, ada rumah makan Padang di depan UKI, di sana banyak orang Karo, gue duduk di sana, ngopi, makan, beli minum, dan bergaul langsung dengan mereka. Itulah di antaranya yang gue lakukan untuk masuk ke peran yang gue mainin. Masalah berhasil atau enggak ya mari kita lihat sama-sama.

Apa sih arti penghargaan buat kamu?

Jujur gue bukan tipe orang yang terobsesi untuk mendapatkan award, karena bukan itu tujuan utama gue dalam berkarya. Melakukan pekerjaan di dunia film buat gue ibarat melakukan hobi yang gue suka dan mendapatkan bayaran, sangat menyenangkan [tertawa]. Gue cinta sama dunia film. Setiap bikin film gue cuma fokus dan berusaha untuk selalu memeberikan yang terbaik dari apa yang gue punya, bahkan kalau bisa lebih, dan gue juga selalu berusaha untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan gue di film sebelumnya. Lihat orang bisa tersenyum, sedih, emosi dan lain-lain setelah keluar dari bioskop usai nonton film gue, karena mereka bisa nangkep apa yang sebenanya pengen disampaikan oleh film/karakter yang gue mainin, itu udah jadi suatu penghargaan yang besar buat gue sebagai aktor. Tapi, gue nggak mau munafik. Bohong kalau seorang aktor nggak senang atau bangga terhadap award yang didedikasikan untuk dirinya. Masuk sebagai nominasi aja udah merupakan satu kebanggaan, karena dengan itu membuktikan bahwa ada pihak-pihak yang memperhatikan bahkan menghargai kerja keras kita dalam berkarya. Walaupun award bukan segalanya buat gue tapi Award itu bisa gue jadiin tolak ukur sejauh mana usaha dan dedikasi yang gue lakuin untuk dunia yang gue cintai ini. Kita juga harus fair dan pinter menghargai diri kita sendiri. Gue belajar untuk nggak pernah under-estimate sama diri gue sendiri, terutama sama kemampuan dan apa yang gue punya dalam berkarya. Apapun yang gue pilih akan gue jalanin dengan serius, nggak peduli hasilnya bagus atau nggak menurut masyarakat, yang jelas itu usaha terbaik yang gue lakuin. Dengan begitu secara gak langsung orang lain akan menghargai kita lewat keseriusan yang kita lakuin.

Sebagai aktor gue selalu pengen mencoba berbagai media untuk ngasah kemampuan gue mulai dari film, serial TV, FTV, bahkan video klip. Untuk apa? Untuk belajar dan untuk nyari pengalaman yang beda dalam berkarya. Jelas pasti banyak benturan antara idealisme gue pribadi dengan realitas di industri hiburan. Tapi itulah challange-nya, di situ serunya. Dengan segala keterbatasan industri TV kita, emang nggak mudah untuk berkarya dengan maksimal. Tapi, gue nggak mau kalah gitu aja, apalagi sampai terbawa arus. Gue harus tetep bisa ngasih yang terbaik dalam setiap karya yang gue buat apapun medianya. Tentu itu nggak gampang. Akhirnya kerja keras gue membuahkan apresiasi yang positif baik di film, serial TV, FTV, sampai video klip, gue pernah mendapatkan award sebagai aktor terbaik, tapi apa award itu karena kerja keras gue sendiri? Bukan. Gue bisa berdiri di depan menerima award karena ada kerja keras dari sutradara yang men-direct gue, lawan main gue, make up artist gue, kostum dan semua orang yang membantu gue untuk tampil maksimal dalam setiap peran gue, termasuk keluarga dan fans. Jadi walaupun award bukan tujuan utama gue dalam berkarya tapi gue sangat menghargai setiap award yang gue terima.

Bagaimana dirimu memandang kritik terhadap penampilanmu sejauh ini?

Gue bersyukur dengan adanya kritik yang ditujukan ke gue, dengan begitu ngebuktiin bahwa masih ada orang-orang yang peduli dan memperhatikan karya-karya gue. Justru kita harus hati-hati kalau nama kita nggak pernah disebut dalam sebuah kritikan, itu bisa aja sebagai tanda kalau keberadaan kita nggak penting lagi untuk dibahas. Atau, mungkin juga orang udah nggak peduli lagi terhadap karya kita. Buat gue sebuah kritikan bisa kita jadiin cermin di mana posisi kita sekarang. Ibarat naik tangga, ada di level berapa kita berdiri, apa masih tetep di posisi yang sama atau makin naik atau justru turun. Kritik yang positif selalu gue jadiin booster untuk terus semangat dalam ngebuat karya yang lebih baik dan lebih baik lagi. Sementara kritik negatif gue jadiin sebagai pekerjaan rumah gue yang harus gue selesaikan. Kritik negatif gue jadikan alarm supaya gue nggak terlena dengan keberhasilan dan apa yang telah gue capai. Kritik negatif selalu gue jadikan catetan penting untuk karya gue selanjutnya. Dan, yang patut gue apresiasi untuk para kritikus film di Indonesia adalah mereka penonton film Indonesia yang setia. Nggak jarang dari mereka menonton film Indonesia di hari pertama pemutaran, salut!

Namun, sebuah kritikan juga haruslah relevan. Setiap filmmaker yang baik pasti melakukan riset sehingga mereka tahu apa yang mau mereka buat dan ingin mereka sampaikan lewat filmnya, sehingga mereka mampu mempertanggungjawabkan apa yang mereka buat. Demikian juga seorang kritikus; kritikus yang baik setidaknya harus juga memiliki pengetahuan terhadap apa yang mau mereka tulis atau kritik. Di Hollywood bahkan nggak jarang seorang kritikus bergelar doktor atau sederajat. Itu menandakan bahwa menjadi seorang kritikus juga bukan hal yang mudah, nggak cuma asal me-review film atau apapun menurut pemikiran pribadi mereka tanpa ada dasar-dasar yang kuat. Menurut gue pribadi sebuah kritikan yang baik bukan cuma bermanfaat untuk siapa yang dikritik, tapi lebih luas lagi, yaitu memberi wawasan bagi orang-orang yang membaca tulisan mereka. Nah, kalau gue nemuin kritikan-kritikan yang nggak jelas atau ngalor-ngidul yang ditujuin untuk gue atau film gue, biasanya gue cuma senyum-senyum aja [tertawa]. Namanya juga mereka usaha ya nggak? Dan, bagaimana pun juga kan mereka nonton film gue.

Menurutmu apa yang bisa membuat industri film Indonesia jadi lebih baik?

Kalo menurut gue pribadi semua pihak harus punya keberanian atau nyali untuk sama-sama membangun industri film kita untuk jadi lebih baik.
Pertama, kualitas filmnya dulu yang harus dibenahi. Si filmmaker-nya sendiri, termasuk gue, harus punya nyali untuk memproduksi film-film dengan pengerjaan yang baik dan benar. Kita nggak bisa main-main lagi, saingan kita di pasar itu adalah film-film Hollywood dengan kualitas baik. Suka nggak suka ketika film dilepas ke bioskop, penonton akan dengan mudah memilih film dengan kualitas yang mereka yakini baik. Walaupun nggak semua produksi Hollywood itu bagus, tapi penonton yakin film-film mereka dikerjakan lebih proper. Memang nggak mudah dan nggak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk menyamakan dengan Hollywood, tapi pelan-pelan harus dimulai dari sekarang, dimulai dengan skala yang kecil dulu. Gue yakin Indonesia nggak kalah soal SDM. Bahkan beberapa rumah produksi sudah mulai mendekati ke arah tersebut.

Kedua, pemerintah juga harus punya nyali dengan mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap film-film nasional dan hanya pro untuk film-film yang punya kualitas baik, mengontrol pihak-pihak eksebitor atau bioskop agar lebih pro film nasional baik dari segi jumlah layar maupun hari penayangan, minimal dua minggu untuk film nasional, sukur bisa lebih. Men-support pembangunan bioskop-bioskop di seluruh Indonesia yang diutamakan untuk pemutaran film nasional. Membangun sekolah-sekolah film yang berkualitas untuk regenerasi filmmaker Tanah Air. Mempromosikan film-film Indonesia ke pasar internasional dan membantu memfasilitasi para filmmaker yang film-filmnya mendapatkan kesempatan untuk diputar di festival-festival internasional. Dan, masih banyak lagi bentuk dukungan yang bisa dilakukan pemerintah untuk membuat industri film Tanah Air jadi lebih baik.

Ketiga, keberhasilan sebuah film tidak terlepas dari peran media, baik televisi, cetak, online, dan sebagainya. Keberpihakan media terhadap film nasional sangat dibutuhkan. Media diharapkan bisa memberi ruang lebih terhadap film-film nasional dibanding film luar. Dan tentunya juga hanya membahas atau mengutamakan film-film Indonesia yang berkualitas yang diangkat dalam media mereka. Dengan demikian diharapkan bisa memprovokasi secara positif kepada penonton film kita untuk menonton film Indonesia, dan tentunnya hanya menonton film-film yang berkualitas baik. Dari hal tersebut diharapkan bisa menjadi sebuah campaign untuk memberi semangat sekaligus filter untuk filmmaker dan industri film kita untuk terus meningkatkan kualitas film-filmnya.

Keempat, ini adalah faktor yang sangat penting, yaitu keberanian penonton kita untuk percaya pada film Indonesia dengan mendahulukan menonton film-film Indonesia dibanding film asing, tentunya memilih hanya film-film Indonesia yang punya kualitas baik. Ketika mulai banyak filmmaker kita "bernyali" untuk memberikan kepada para penonton film-film yang mereka garap dengan serius dan baik, apakah penonton kita juga punya nyali untuk mengapresiasi film tersebut dengan nonton di bioskop? Terkadang miris ketika para penonton mengkritik kualitas film-film Indonesia yang katanya gitu-gitu aja, tetapi ketika ada film Indonesia yang memang dikerjakan serius dengan produksi yang baik, sebagian besar penonton malah lebih memilih film-film Indonesia "murahan" yang dibuat dengan asal-asalan. Memang itu hak mereka untuk memilih apa yang mereka suka, tapi kalau fenomena ini berlangsung terus-menerus akan banyak rumah produksi seperti yang saya sebut tadi, yang membuat film dengan kualitas baik tidak bisa melanjutkan produksi-produksi film lagi karena selalu merugi setiap memproduksi film. Dan rumah produksi yang hanya dan akan membuat film-film "murahan" tadi akan semakin berkembang dan semakin besar, dan pastinya tetap dengan film-film murah dan murahan seperti tadi [tertawa].

Membuat film murah sah-sah aja, tapi tidak harus murahan. Dengan keberanian penonton untuk memilih hanya film-film Indonesia yang berkualitas secara otomatis akan mengembalikan industri film kita ke arah yang lebih baik. Dan gue yakin dengan gitu rumah produksi yang awalnya hanya membuat film-film murah dengan kualitas baik akan terus berkembang semakin besar yang akhirnya bisa memproduksi film dengan skala yang lebih besar dan lebih besar lagi. Sehingga pada suatu saat skala film-film yang mereka buat akan semakin besar bahkan sejajar dengan Hollywood. Dan semua itu sudah pasti berkat andil dari penonton film Indonesia juga. Buat gue ke-4 faktor itu sangat penting dan berhubungan satu sama lain. Dan dengan kesadaran kita semua gue optimis film Indonesia akan terus ada dan berkembang ke arah yang semakin baik.

Apa proyek film berikutnya?

Gue belum bisa cerita banyak soal proyek yang baru gue ini, tapi film ini kira-kiranya temanya disaster movie, director-nya Rako Prijanto. Insya Allah kalau nggak ada halangan mulai persiapan akhir 2014 atau awal 2015. Doain ya, bro!

(mmu/mmu)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT