Sheila Timothy, Produser Spesialis Film Unik

Wawancara dengan Produser 'Tabula Rasa' (1)

Sheila Timothy, Produser Spesialis Film Unik

- detikHot
Kamis, 25 Sep 2014 11:50 WIB
Jakarta - Orang mungkin lebih mengenal adiknya, Marsha Timothy. Namun, itu tak mengurangi peran pentingnya di panggung film. Dengan posisi di belakang layar, nama Sheila Timothy seharum aktor dan aktris yang tampil di layar. Dia satu dari sedikit produser perempuan yang telah menghasilkan film-film fantasi unik yang akan lama dikenang, seperti 'Pintu Terlarang' dan 'Modus Anomali'. Tahun ini, pendiri Lifelike Pictures yang akrab dipanggil Lala itu kembali dengan karya terbarunya, sebuah drama bertabur makanan berjudul 'Tabula Rasa'.

Setelah di film-film sebelumnya bekerja sama dengan sutradara Joko Anwar, kali ini Lala berkolaborasi dengan nama yang relatif baru, Adriyanto Dewo sebagai sutradara dan Tumpal Tampubolon sebagai penulis skenario. Untuk menyambut penayangan 'Tabula Rasa' di bioskop mulai hari ini, kontributor detikHOT yang juga pengamat film Indonesia Shandy Gasella mewawancarai produser kelahiran 29 November 1971 tersebut. Berikut bagian pertama:

Apa arti film buatmu?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sesuatu yang bisa bikin kita berpikir tapi tetep menghibur.

'Tabula Rasa' merupakan karya yang paling beda dari dua film yang kamu produksi sebelumnya, boleh cerita awal proses kreatifnya?

Jadi banyak orang yang berpikir bahwa Lifelike Pictures hanya akan bikin film fantasi, sebenarnya nggak. Saya selalu bilang saya bakal bikin film yang menurut saya unik, saya akan cari sutradara atau penulis yang punya style yang beda. Jadi tergantung si sutradara yang saya temui itu. Misalnya seperti Joko Anwar, memang dia bagus di genre fantasi, ya bila saya percaya dengan ceritanya saya akan support 100%. Demikian juga dengan Adriyanto Dewo dan Tumpal Tampubolon. Saya sebenarnya kenal Tumpal kan waktu saya baca skripnya dia yang menang Hubbert Bals Fund dari Film Festival Rotterdam, 'The Sidewalk Dogs', itu kan skripnya belum jadi, masih draft dua, tapi saya baca dan saya melihat style dia itu unik; marjinal, bercerita tentang orang-orang biasa, sesuatu yang sehari-hari kita lihat tapi bisa dikemas lewat point of view yang menarik, namun juga terasa dekat. Jadi saya suka. Lalu saya bilang ke Tumpal bahwa saya punya ide soal makanan, tapi makanan di sini bukan berarti food porn. Tahun 2010 saya memiliki ide itu.

Saya suka film Ang Lee yang berjudul 'Eat Drink Man Woman' (Yin shi na nu), dan saya sampai beli buku-buku food film. Ada satu buku namanya 'Screenfood', itu studi kasus dari film-film soal makanan di dunia. Saya dulu nonton 'Eat Drink Man Woman' waktu kecil lewat laser disc, saya suka banget sama film itu tapi saya nggak tahu bila itu adalah subgenre food film, hanya sekadar menikmati saja. Nah, karena punya ide mau bikin film makanan, saya jadi makin nyari-nyari literatur dan makin tahu bahwa ternyata food dalam film bukan hanya sekadar food porn, bukan sekadar karakternya itu tukang masak, tapi food dalam film digunakan untuk menyampaikan pesan. Dalam 'Eat Drink Man Woman', Ang Lee menceritakn tentang hubungan ayah dengan anak-anak perempuannya, tentang tradisi Cina, disampaikan lewat kuliner Cina yang memang udah advanced kan. Dari sana saya mikir, kuliner kita juga kan banyak banget, dan kita sehari-hari kalau ketemu orang pasti kan nanyanya, "Eh lu udah makan belum?" Kalau lagi ngumpul kan pasti sambil makan, dan begitu kita udah makan kita seolah-olah mencairkan suasana. Ide itu yang saya bawa, saya cari penulis dari 2010, cuma belum sempat ketemu yang pas hingga akhirnya ketemu Tumpal, baca skrip dia saya langsung tertarik dan kemudian saya bilang ke dia, "Pal, gue ada ide ini."

Tanggapan Tumpal kala itu bagaimana?

Hmmm...sengak! [tertawa]. Kata dia, "Mbak Lala ada ide apa?" Saya jawab, nggak ada. Justru gue cuma ada ide itu, tapi gue pengen tahu elu kira-kira ter-trigger nggak untuk bikin tentang ini? Gue lihat treat elu dan gue melihat bahwa elu bisa ngangkat sesuatu yang sehari-hari yang bersahaja tapi jadi menarik. Akhirnya dua minggu kemudian dia balik dengan ide menyatukan dua unsur yang berbeda lewat makanan, dua orang dari latar belakang yang totally different, bertemu lewat makanan. Tadinya ceritanya adalah Padang ketemu orang Afrika, jadi ada pemain bola yang ke sini, karena Tumpal kan sering lihat banyak banget orang Afrika yang ke sini gagal jadi pemain bola akhirnya luntang-lantung. Lalu saya bilang, kalau Afrika susah, kami kan mesti ngomongin makanan sebagai benang merahnya, kalau saya google bumbu-bumbu Afrika itu beda banget dengan bumbu kita, kalau India masih ada mirip-miripnya, tapi Afrika benar-benar nggak memiliki makanan yang mirip dengan Indonesia. Saya bilang, bisa nggak kalau kita ambil Indonesia dengan Indonesia, maksud saya Indonesia kan sukunya macam-macam, tapi Tumpal bilang dia butuh secara visual, karena film itu bahasa visual. Begitu...jreng, aktornya tampil berdua, udah terlihat berbeda dalam arti warna kulitnya harus berbeda. Akhirnya kami ambillah Papua, terinspirasi dari dosennya Tumpal, Profesor Hans, beliau itu dari Serui, Papua, dari situlah ide karakter Hans muncul. Sebenarnya ide ini semua dari Tumpal bahwa kami ingin membicarakan perbedaan tapi sebenarnya sesuatu yang bersahaja, simple, tapi punya pesan mendalam.

Lalu bagaimana awal keterlibatan Adriyanto Dewo?

Adri sebenarnya kan dia yang bikin behind the scene 'Modus Anomali'. Selesai mengerjakan 'Modus Anomali' kami ngobrol-ngobrol, terus saya tahu banget dia itu udah lama di film, pernah jadi astrada, pernah jadi clapper, pernah jadi segala macam, udah ngerasain banget terlihat, bahwa dia serius karena dia udah bikin beberapa film pendek. Kalau misalnya ada orang yang bilang, "Gue pengen jadi sutradara," saya pasti jawab, "Udah bikin film apa? Udah bikin film pendek apa?" Kalau dijawab nggak ada, itu kan bikin saya jadi mikir-mikir lagi. Adri itu sepertinya sutradara yang serius dan pada saat ngobrol terlihat bahwa nih anak pinter. Tapi pernah satu kali dia nawarin skrip, cuma (saya merasa) nggak cocok, kalau pun mau difilmkan kayaknya mesti diolah lagi. Lalu saya nonton 'Sanubari Jakarta' segmen 'Menunggu Warna', dari semua segmen di film itu milik Adri paling menonjol menurut saya. Dia juga punya style yang buat sutradara baru menurut saya menonjol. Akhirnya beberapa sutradara pitching untuk 'Tabula Rasa'. Adri datang dengan konsep sederhana, dia bilang skrip ini tentang kerinduan, tentang keluarga, semua memori-memori kerinduan perantau. Saya langsung tahu dialah the right person, karena dari "kerinduan" saya tahu warnanya akan jadi warna film, bukan warna video, dan saya tahu musiknya akan ada nuansa-nuansa lama, dan nggak akan melebar ke mana-mana ceritanya. Jadi kan ini ceritanya nggak ada yang naik-turun, karena ini kehidupan biasa, realis, yang nyata tuh seperti itu, bahwa bahagia itu untuk beberapa orang ada yang secukupnya saja. Mungkin beberapa orang merasa bahagia dengan pergi jalan-jalan ke luar negeri, bisa sukses dengan memiliki restauran yang besar, tapi buat orang-orang ini seperti Mak bilang, kalau bangkrut kenapa? Ya nggak apa-apa, mulai lagi. Nggak ada yang salah dengan keadaan ini.

'Tabula Rasa' memiliki cast yang pas. Keempat aktor di film ini bermain baik sekali. Bagaimana cara melibatkan mereka ke dalam proyek film ini?

Ini sih karena konsep awalnya dari kami bertiga, saya sendiri, Adri, dan Tumpal, kami benar-benar klotokan sekitar dua tahun. Bersama Tumpal saya dua tahun ngerjain ini, bikin skrip itu setahun, lalu setahun kemudian masuklah Adri. Sebelum pra-produksi kami melakukan riset, observasi ke Padang dan ke Serui. Kami duduk ngobrol-ngobrol, seperti waktu di Bukittinggi kami ngobrol sore-sore, "Lo maunya apa sih? Apa concern lo terhadap film Indonesia sekarang? Apa sih yang pengen lo sampaikan?" Dari sana kami bertiga sama-sama seperti satu kepala. Jadi pas waktu casting seperti bertelepati, kami udah tahu nih karakter Hans seperti apa, Mak seperti apa. Nah, pas casting untuk karakter Natsir, si Ozzol Ramdan datang, kami lihat, wah gayanya nih, sengak-sengaknya nih Natsir banget. Natsir kan paling nggak bisa masak dari semuanya, tapi paling sok tahu dan paling tengil. Jadi, pas lihat Ozzol, oh ini dia. Pas meng-casting Pak Yayu Unru juga begitu, ada adegan yang membuat kami yakin sama dia, adegan makan, dia makan tapi nggak ada apa-apa, kosong. Cuma, pas dia makan itu kami merasa ya ini dia Parmanto. Memilih pemeran Mak juga rada susah, tapi belakangan ngobrol-ngobrol akhirnya dapatlah Dewi Irawan. Paling susah itu mencari pemeran Hans, kami cari ke mana-mana, kami cari aktor Papua, Ambon yang berkulit gelap. Sampai akhirnya kami udah hampir putus asa, Adri sama Tumpal udah mau give up, ada satu anak Papua datang untuk casting. Tapi anak ini terlalu muda dan dia terlihat nggak nyaman di depan kamera, sementara karakter Hans ini harus pede karena ceritanya kan Mak seolah-olah ngasih jabatan besar kepada dia. Kalau misalnya kami melihat anak ini nggak meyakinkan, penonton juga nggak bakal percaya dia bisa jadi juru masak. Nah, lalu datanglah Jimmy Kobagau, dan kami langsung sepakat bilang inilah Hans yang kami cari.

Apa kendala paling berat ketika memproduksi film ini?

Kendala paling berat lebih ke cuaca. Pas kami mulai di bulan Februari itu pas hujan, banjir, dan kendala paling besar adalah ketika harus ke Serui karena budgetnya besar walaupun dengan kru kecil 30 orang. Transportasi ke sana susah sebab harus naik pesawat kecil. Bila lewat laut ombaknya luar biasa besar. Itu sih yang paling risiko, itu yang paling saya takutkan karena itu menyangkut keselamatan kru. Walaupun diasuransikan semua tapi kan ngeri aja, cuaca di sana bisa berubah dalam waktu hitungan menit. Dan, juga ada berita katanya ada pergerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) waktu itu di sana karena lokasinya dekat Papua Barat, jadi ada beberapa hal yang bikin deg-degan, ngeri juga. Tapi pas sampai sana ternyata semua aman, dan orang-orang di Serui juga support banget, mereka senang sebab Serui diangkat.

Hasil akhir filmnya sendiri seberapa dekat dengan naskahnya?

Kalau dekat dengan naskah, jauh sekali. Menurut saya ini proses yang kaya, ide dari saya, Tumpal datang dengan ide yang lebih brilian lagi. Adri masuk, masuklah treatment sutradara, jadi berbeda lagi. Syuting, masuk ke editing, Dinda sebagai editor juga memasukkan poin-poinnya dia, ditambah lagi Indra masukin musiknya, buat saya step-step-nya semakin lama semakin kaya, dan pada hasil akhirnya sih saya puas banget dengan pencapaian ini.

(mmu/mmu)

Hide Ads