'Selamat Pagi, Malam': Tiga (Kisah Perempuan) Menguak Jakarta

'Selamat Pagi, Malam': Tiga (Kisah Perempuan) Menguak Jakarta

- detikHot
Jumat, 20 Jun 2014 14:34 WIB
Jakarta - Bising bunyi klakson bersahutan, suara berdebam dari pintu mobil yang dibanting, orang-orang berwajah tegang di pagi hari berlalu-lalang di jembatan halte busway, para pemotor yang kesetanan melaju kencang di sisi jalan --takut kesiangan tiba di kantor. Itulah keseharian yang tak terelakkan di Jakarta.

Lalu, orang-orang berwajah tegang tadi mulai terlihat kusut di sore hari, berderet di trotoar menunggu teriakan cempreng kondektur Kopaja memanggil mereka --sambil awas menghindari pemotor lewat yang (kali ini) kesetanan takut kemalaman pulang ke rumah. Bukan hanya situasi tak terelakkan, namun itulah rupa ibu kota yang betapa pun orang-orang bilang sangat menyebalkan untuk ditinggali, toh rupanya itu hanyalah rengekan omong kosong saja. Para warga kota akan senantiasa mengulangi hari-hari yang menyebalkan itu sesaat setelah adzan subuh berkumandang. Dan, begitulah film 'Selamat Pagi, Malam' ini dibuka.

Di awal film, sutradara Lucky Kuswandi ('Madame X', 2010) malah sengaja menghadirkan gambar-gambar "candid" dari suasana kota yang riuh ini, beserta orang-orang di dalamnya dari jarak dekat; melontarkan kenyataan yang tak bisa kita bantah bahwa segala yang tampak memang tak dibuat-buat. Kamera menangkap lanskap Jakarta dari segala sudut, sampai akhirnya ia masuk mendekati objek amatannya; di jok belakang sebuah mobil kita melihat seorang wanita paruh baya yang sedang terjebak dalam kemacetan. Ia tampak gusar saat seorang pedagang asongan mendekatinya. Dengan raut muka yang ditekuk ia menolak dan meminta si penjual itu untuk segera pergi meninggalkannya. Kita melihat adegan ini dari balik kaca jendela bersama si wanita paruh baya tadi, salah seorang tokoh utama kita, Ci Surya namanya. Lalu dari sini film pun bergulir memperkenalkan satu per satu tokoh-tokohnya.

Gia (Adinia Wirasti) baru saja pulang dari New York, lama sekali tak menghirup udara Jakarta, sampai tak tahu lagi cara berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk dengan keluarganya sendiri di rumah. Ada gap besar antara New York dengan Jakarta, misalnya Gia baru menyadari bahwa di sini hampir semua orang memiliki dua buah ponsel, dan PIN BB adalah satu hal wajib yang perlu dimiliki selain Kartu Tanda Penduduk. Frustrasi, ia pun menghubungi Naomi (Marissa Anita), kekasihnya dahulu semasa tinggal di New York. "I miss you!" seru keduanya di ujung telepon, dan mereka pun siap bertemu untuk melepas rindu.

Lalu ada Indri (Ina Panggabean), karyawan kelas bawah Jakarta yang bertugas menjaga handuk di tempat nge-gym. Di sela-sela kegiatannya itu, ia sibuk chatting lewat ponselnya dengan seseorang ber-username Pencuri Hati (diperankan oleh Paul Agusta). Dan, pertemuan mereka pada akhirnya membawa Indri kepada petualangannya sendiri dengan lelaki lain yang tak disangka-sangka.

Sedangkan Ci Surya (Dayu Wijanto), kisahnya sedikit agak misterius. Suaminya baru saja meninggal, dan ia mendapati kenyataan pahit bahwa selama ini suaminya memiliki kekasih lain, seorang penyanyi bar kelas bawah di satu sudut gelap ibukota.

Pada satu malam yang sama, kehidupan para wanita ini saling bersinggungan. Satu malam yang dapat mengubah, tak hanya jalan hidup mereka, namun juga cara pandang kita terhadap kota yang mereka tinggali ini. Tak pernah Jakarta ditampilkan semempesona ini dalam film Indonesia kontemporer, dan pesonanya begitu menghipnotis, mencekam, juga membuat deg-degan. Jakarta tak pernah ditampilkan semenarik ini sebelumnya.

Gia dan Naomi berbincang asik, dialog-dialog mereka lebih sering terucap dalam bahasa Inggris, dan lewat mereka berdua tingkah polah warga Jakarta kelas menengah ditelanjangi dengan begitu lucu dalam sarkasme yang menohok. Petualangan Indri juga memiliki sisi humor dan dramanya sendiri dalam rasa yang berbeda. Sedangkan Ci Surya, seperti yang sudah disinggung, ia misterius, bahkan hingga di penghujung film ia masih membuat kita bertanya-tanya akan motif sebenarnya dari segala tindakan yang ia lakukan; aksinya melakukan "napak tilas" dengan mendatangi sang kekasih lain mendiang suaminya itu (namun malah berakhir meniduri suami sang biduan) balas dendam ataukah sebentuk penghiburan diri saja?

Di ujung film, saat kita mulai benar-benar dekat dan peduli dengan karakter-karakter kita tadi, cerita pun menelikung dengan tajam, memberikan revelasi yang begitu menyesakkan dada. Dan, tangis Ci Surya ketika mendengarkan sang biduan (Dira Sugandi) melantunkan 'Pergi Tuk Kembali'-nya Ello di pengujung malam, masih menghantui saya hingga kini. Ulasan ini bahkan merupakan sebuah perenungan yang belum usai. Saya merasa perlu untuk setidaknya sekali lagi menonton film ini untuk kembali mendatangi Lone Star, hotel tempat Gia, Naomi, Indri, dan Ci Surya menghabiskan malam mereka.

Hal yang sangat menarik adalah, Lucky Kuswandi menjadikan Jakarta sebuah lokasi yang penting bagi ungkapan-ungkapan sinematik yang hendak ia elaborasi, dan oleh sebab itu Jakarta tak hanya jadi sekedar backdrop panggung yang menghadirkan pesona kota dalam citra yang semu. Di film ini, Jakarta, sebagai lokasi, tak tergantikan perannya; ia membentuk plot, juga membentuk kemasukakalan cerita hingga segala peristiwa yang terjadi tampak begitu solid, menampilkan sketsa Jakarta secara utuh sebagai panggung sandiwaranya.

Tak ada cela dari setiap pemain di film ini, tiga debutan tokoh utama kita, Dayu Wijanto, Ina Panggabean, Marissa Anita, bersama aktris kesayangan Indonesia, Adinia Wirasti, tampil dengan sangat mengesankan. Pembuat film ini jeli dan tahu betul apa yang ia mau dengan misalnya tak meng-casting Luna Maya sebagai Indri, atau Sophia Muller sebagai Ci Surya. Sekedar catatan saja, dalam film omnibus 'Princess, Bajak Laut & Alien' (Alfani Wiryawan Dkk., 2014), Luna Maya pernah kebagian peran sebagai Leha, penjaga warteg. Saya ulangi, Luna Maya sebagai penjaga warteg. Pilihan aktor dari Lucky Kuswandi bersama produser Sammaria Simanjuntak ('Demi Ucok') membawa konteks kemasukakalan beberapa level lebih maju dengan menghadirkan mereka sebagai tokoh-tokoh yang bisa kita pertalikan dengan keseharian yang biasa kita jumpai.

Kritik saya terhadap film ini mungkin hanya satu; alih-alih 'Selamat Pagi, Malam', mengapa tak menggunakan judul alternatifnya saja, 'In the Absence of the Sun' sebagai judul resmi? Karena bila mengikuti semangat film ini yang konsisten mengejek orang Jakarta --lihat adegan Indri memesan Chicken Soft Roll yang tak lain adalah lumpia dalam nama "Barat" yang terdengar jauh lebih keren dan tentu saja mahal-- maka penggunaan judul 'In the Absence of the Sun' bakal benar-benar melengkapi misi film ini. Meskipun, jika itu terjadi, bersiaplah mendapat peringatan dari mbak-mbak penjaga tiket bioskop, "Ini film Indonesia ya, Mas!"

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Hide Ads