Elemen "selera" sang sutradara ini yang paling dominan membentuk identitas dari sebuah film. Singkatnya, "selera" Joko Anwar dalam menggarap 'Janji Joni' adalah garansi jaminan mutu dari sang sutradara akan karya-karya berikutnya. Dan, bila semua orang mengerti akan hal ini, rasa-rasanya film semacam 'Jomblo Keep Smile' (2014), 'Mr Bean Kesurupan Depe' (2012), 'Pocong Mandi Goyang Pinggul' (2011), 'Skandal Cinta Babi Ngepet' (2008) mestinya sulit sekali mendapatkan penonton. Sebab, KK Dheeraj adalah dalang di balik sederet film tadi yang 7 tahun silam membesut 'Genderuwo', sebuah film yang dikomentarinya sendiri dengan kalimat berikut, "Saya sadar bahwa film saya yang pertama itu (Genderuwo) jelek." Kalau sutradaranya saja sudah mengaku begitu, lantas kenapa Anda masih saja menyaksikan film-filmnya?
Memang, selalu ada hal yang membuat penasaran manakala seorang debutan melahirkan karya pertamanya. Pertanyaan seperti, "Bakal bagus nggak nih filmnya?" sah untuk kita lontarkan. Lantas, pertanyaan yang sama pun menghantui film ini; 'Mari Lari' karya debut dari sutradara Delon Tio ini. Selevel 'Janji Joni' ataukah 'Genderuwo'?
Semula saya menduga 'Mari Lari' bakal seperti sebuah film hura-hura nihil cerita, apalagi karakterisasi. Saya bahkan sempat mengira film ini tak ubahnya sebuah road movie saja yang hanya berfokus pada perjalanan sang tokoh utama mengikuti lomba lari, dipenuhi gambar-gambar pemandangan Gunung Bromo, dan ajang jualan merk sepatu. Ternyata saya salah. Ini adalah cerita tentang Rio dan bapaknya, serta usaha-usaha memperbaiki keretakan hubungan antara mereka berdua.
Rio lahir dalam keluarga Kusumo (Donny Damara dan Ira Wibowo) yang serba berkucupan. Sedari kecil ia menjadi anak manja, dekat dengan ibu namun jauh dari bapaknya. Rio banyak maunya, namun tak pernah benar-benar menjalani sesuatu apa pun sepenuh hatinya. Hingga kematian ibunya memberi katarsis dalam perjalanan hidupnya, dan perlahan ia berusaha memperbaiki hubungannya dengan sang bapak.
Delon Tio memang bukan orang baru di jagat perfilman kita. Ia pernah memproduseri sejumlah film yang impresif di antaranya '6:30' (Rinaldy Puspoyo, 2006) dan 'Rumah Dara' (Mo Brothers, 2010). Namun, 'Mari Lari' adalah karya debutnya sebagai sutradara, berbekal skrip yang ditulis oleh debutan pula, Ninit Yunita yang sebelumnya kita kenal sebagai penulis novel 'Test Pack' yang kemudian difilmkan oleh Monty Tiwa dua tahun silam. Duo debutan ini berhasil menyuguhkan tontonan dengan cerita yang menyegarkan, dan membuat pengalaman menonton jadi terasa menyenangkan kembali, terlebih bila Anda rajin menonton film Indonesia beberapa bulan terakhir ini.
Semua tokoh yang hadir di film ini, beserta latar belakang dan permasalahan masing-masing ditulis dengan cermat oleh Ninit. Hampir tak ada plot hole, apalagi soal konteks ke(tidak)masukakalan, semuanya tampak rapi tanpa ada kesan yang mengganggu secuil pun. Delon Tio mengeksekusinya dengan cerdik sekali, tampak bahwa "selera" yang ia punya boleh juga. Lihat misalnya adegan Rio ketika berada di kamar kosnya, melamun mengenang masa lalu. Alih-alih memperlihatkan wajah Rio dengan close up lalu cut to adegan Rio di masa lalu, kita melihat Rio dalam medium shot, duduk di tepian ranjangnya, kamera lalu panning ke arah kiri seolah mengintip bilik sebelah, kemudian kita melihat Rio kecil tengah bermain piano. Kamera kembali panning ke arah kanan lalu panning kembali ke arah kiri dan Rio sudah tak berada di tempatnya lagi, berganti adegan ibunya yang memberitahu seorang guru piano bahwa anaknya itu sudah bosan berlatih.
Adegan-adegan itu efektif sekali mendeskripsikan karakter Rio, dan Delon Tio mengemasnya dengan keren. Ada pula adegan animasi "kentang goreng" yang menceritakan sejarah Marathon, lucu dan menggemaskan sekali. Dimas Aditya ('Sang Kiai', 'Kawin Kontrak'), dibekali naskah serta pengarahan yang mumpuni, mampu memerankan Rio dengan sangat impresif. Ini adalah akting terbaiknya sejauh ini; ia bahkan mampu mengimbangi Donny Damara, aktor dengan kualitas akting kelas wahid yang berperan sebagai bapaknya. Benci-cinta antara mereka berdua tampak mengalir alamiah, tak hanya terlihat dari gestur tubuh maupun dialog-dialog yang terlontar, bahkan sorot mata keduanya sudah mencitrakan hal tersebut, dan kita yang menontonnya dibuat ikut terlibat, sama-sama ikut merasakan emosi keduanya.
Olivia Jensen ('Bukan Cinta Biasa') sebagai Anisa, tambatan hati Rio, juga tampil cukup mengesankan; satu lagi bukti bahwa penulisan skrip dan arahan yang baik bisa sangat menunjang penampilan pelakon peran. 'Mari Lari' adalah karya debut yang sangat menjanjikan dari Delon Tio. Jelas saja karya kedua, ketiga, keempat darinya akan sangat kita nantikan. Ia sudah memulai membuat film ini dengan sangat baik. Seperti Rio yang bertekad mengikuti marathon sampai finish, semoga Delon pun begitu, menyelesaikan film-filmnya dengan tidak terjatuh atau berhenti kelelahan karena capek. Mungkin garis finish itu masih jauh, namun Delon Tio membuat 'Mari Lari' sebagai start yang impresif. Kita hanya perlu bersorak-sorai, memberi semangat dari pinggir lintasan.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)











































