'Ketika Tuhan Jatuh Cinta': Diselamatkan Gambar Indah dan Akting Reza Rahadian

'Ketika Tuhan Jatuh Cinta': Diselamatkan Gambar Indah dan Akting Reza Rahadian

- detikHot
Kamis, 12 Jun 2014 11:04 WIB
Jakarta - Tren memfilmkan cerita-cerita dari novel, khususnya yang bertemakan drama relijius rupanya belum akan redup. Sejak kemunculan 'Ayat-ayat Cinta' arahan Hanung Bramantyo enam tahun lalu, genre film ini konsisten terus diproduksi, dan terbukti memang disukai oleh penonton kita. Kesuksesan film dwilogi '99 Cahaya di Langi Eropa' (Guntur Soeharjanto, 2013) misalnya, tentu membuat sejumlah produser ngiler untuk terus mencoba peruntungan yang sama. Petinggi Studio Sembilan Production yang selama ini kerap membuat film-film horor semisal 'Pacaraku Kuntilanak Kembar' (Nuri Dahlia, 2012) dan 'Rumah Angker Pondok Indah' (Dede Ferdinand, 2013) adalah satu di antara para produser yang ngiler itu, dengan mendapuk Fransiska Fiorella ('Kerasukan', 'Perawan Seberang') sebagai sutradara, serta didukung jajaran pemain yang populer. Dengan itu semua, akankah 'Ketika Tuhan Jatuh Cinta' bisa menyamai atau bahkan melampaui kesuksesan sejumlah film sejenis?

Sebagai "film islami", 'Ketika Tuhan Jatuh Cinta' tak begitu terasa tipikal seperti film-film sejenis. Pembuat film ini memilih jalan yang agak lain dengan menjadikannya lebih ngepop. Terasa sekali bahwa sasaran penontonnya adalah remaja yang baru beranjak dewasa --atau bahasa kerennya young adult.

Sang tokoh utama, Fikri (Reza Rahadian, 'Habibie dan Ainun'), layaknya protagis dalam film genre ini, memang diceritakan sebagai sosok yang taat beragama. Namun, di balik itu personanya di film ini berani mendobrak pakem yang selama ini seakan-akan sudah dianggap baku; berbaju koko, berkopiah, berjanggut namun kumis dicukur habis, dan tak lupa selalu mengutip ayat-ayat Al Quran di sela-sela obrolan sambil berdakwah untuk selalu berjalan dalam ridho Tuhan. Karakter Fikri di film ini tak jatuh ke dalam stereotip itu. Secara tampilan dan pembawaan, Fikri layaknya cowok-cowok muda kebanyakan, agak urakan, tak jaim seperti ustad-ustad di televisi, berkaos oblong, bercelana jeans, memakai sepatu New Balance. Dan, ini patut pula digarisbawahi, ia tak kuliah di Kairo, jago nyepik perempuan, bahkan tak segan-segan merayu, tak seperti tokoh utama di film-film islami lainnya yang selalu menahan pandangannya kepada lawan jenis. Di film ini, sang karakter utama, juga segenap karakter pendukung tampil membumi, dekat dengan keseharian dan tak terasa bagai orang-orang Arab yang pandai berbahasa Indonesia.

Fikri adalah anak pertama di keluarganya, dibenci oleh ayahnya sendiri karena tak menuruti keinginan sang ayah. Fikri memiliki adik perempuan, Humaira, cantik dan salehah, namun memiliki konflik batinnya sendiri. Ibunda mereka penuh kasih. Suatu hari Fikri melawan ayahnya, pergi meninggalkan rumahnya di Garut untuk melanjutkan kuliahnya di Bandung sambil menjual lukisan-lukisan pasir yang dibuatnya. Di Bandung ia menjalin kasih dengan Leni, (Aulia Sarah, 'Punk In Love'). Namun kemudian Leni dijodohkan dengan orang lain. Lalu ada dua perempuan lain yang juga memasuki hidupnya, Lidya, (Renata Kusmanto, 'Get M4rried'), cewek Kristen anak pemilik galeri tempat Fikri mengais rezeki. Lidya mengingatkan kita pada tokoh Mariah yang diperankan Carissa Putri dalam 'Ayat-ayat Cinta'. Satu lagi, Shira (Enzy Storia, 'republiktwitter'), cewek hijaber seperti Leni yang sama-sama begitu mengagumi Fikri. Cerita yang biasa saja, malah tampak seperti pengulangan dari yang sudah-sudah dengan sedikit modifikasi di sana-sini.

Daniel Tito ('Bangku Kosong') menggarap skrip film ini berdasarkan novel dengan judul yang sama karya Wahyu Sujani dengan agak terbata-bata. Ia tak cukup adil memperlakukan tokoh-tokoh yang ada di film ini. Hanya satu-dua tokoh yang ditulis dengan sungguh-sungguh seperti Fikri, Lidya dan Leni, sisanya adalah karakter-karakter satu dimensi seperti tokoh Irul (Ibnu Jamil, 'Hari Ini Pasti Menang'), ayah Fikri (Joshua Pandelaki, 'Ada Apa Dengan Cinta?'), ayah Leni (Roy Karyadi, 'Mat Pelor'), ibunda Fikri (Dewi Irawan, 'Titian Serambut Dibelah Tujuh'), ibunda Leni (Yati Surachman, 'Inem Pelayan Seksi'), Koh Achong (Didi Petet, 'Catatan Si Boy'), bahkan Shira, tokoh yang dimaksudkan sebagai salah seorang love interest-nya Fikri.

Plot film pun agak berantakan, bila tak mau disebut payah dan cenderung gampangan dalam menyulam bagian-bagian kisahnya demi menjaga cerita agar terus berjalan, namun selalu saja berkontradiksi dengan hal-hal logis pada umumnya. Lihat misalnya adegan Shira yang mendatangi rumah Fikri di Garut, demi menyampaikan sepucuk surat. Bukan lewat pos, tapi dibawa sendiri jauh-jauh ke Garut, dan sebaiknya kita tak bertanya mengapa ia tak menggunakan teknologi ponsel, karena kecuali alasannya bahwa ia adalah wanita salihah yang romantis, kita hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikannya, bukan? Namun begitu, dialog-dialog yang dibuat oleh Daniel Tito bolehlah diacungi jempol. Asik juga.

Dewi Irawan tampil mengesankan, gerak tubuh dan aksen sundanya begitu terasa alami, tak tampak dibuat-buat. Amat disayangkan bahwa Joshua Pandelaki tak mengimbanginya dengan tampil secemerlang lawan mainnya itu. Tokoh ayah pemarah yang satu dimensi itu jadi makin terlihat payah karena tak ada usaha lebih yang dilakukan Joshua selain memicingkan mata dan bersungut-sungut. Hal yang serupa terjadi pula pada Roy Karyadi yang lebih kurang berperan sebagai tokoh berperangai sama sebagai ayah Leni. Tamara Tyasmara sebagai Humaira secara mengejutkan berhasil mencuri perhatian.

Lidya bukanlah tokoh terbaik yang diperankan oleh Renata Kusmanto, namun ia tak tampil jelek juga di film ini. Aulia Sarah tampil memesona sebagai Leni, mampu membuat kita percaya bahwa sang tokoh utama kita memang telah benar-benar jatuh hati kepadanya. Dan, Reza Rahadian, ah kita sudah tak perlu menanyakan lagi kualitas aktingnya.

Sutradara Fransiska Fiorella alias Chiska Doppert bersama Ari Fatahilah sebagai penata kamera mampu memberi pengadeganan dan visual yang aduhai. Inilah daya jual lebih film ini selain, tentu saja, faktor Reza Rahadian tadi. Banyak sekali adegan-adegan yang dibingkai bergaya kartu pos, dan menyaksikan frame demi frame yang indah-indah itu saja sudah cukup jadi kepuasan tersendiri. Saya pun jadi tak mempersoalkan lagi plot yang lemah, atau juga soal banyaknya karakter pendukung yang mudah terlupakan.

Hampir di penghujung film, segala kelemahan yang dimiliki film ini jadi tak berarti tatkala saya menyaksikan adegan Fikri bersama Humaira yang baru saja kehilangan kedua orangtua mereka saling berangkulan haru. Pada adegan itu, Reza Rahadian, dalam kiprahnya bermain peran, sekali lagi membuktikan bahwa ia bukanlah aktor sembarangan. Satu adegan itu saja telah benar-benar menyelamatkan film ini. Subhanallah.

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Hide Ads