Sekedar menyebut contoh, setiap menyaksikan film terbaru dari sutradara-sutradara seperti Joko Anwar, Andibachtiar Yusuf atau pun Nia Dinata, selalu ada hal baru yang menggelitik untuk dikulik. Joko Anwar misalnya, selalu mampu menghadirkan kesegaran di setiap film yang digarapnya. Namun, perlakuannya yang berbeda-beda dalam menangani setiap karya itu justru menorehkan ciri yang khas, yang membuat penonton mudah mengenali karya-karyanya. Efek deja vu ketika melihat film terbaru Nugros tidak seperti itu. Kita memang bisa langsung tahu bahwa film berjudul 'Me & You vs The World' ini karya Fajar Nugros, namun hal itu bukanlah efek dari kekuatan sebuah ciri khas seorang filmmaker. Lalu apa?
'Me & You vs The World' bercerita tentang Jeremy (Rio Dewanto, 'Hello Goodbye', 'Modus Anomali') yang bersama sahabatnya, Baron (Gofar Hilman, 'Aku Cinta Kamu') tengah berusaha menjual proposal kegiatan outbound --yang mereka sebut sebagai "proyek menaklukkan dunia"-- ke sebuah sekolah di Jakarta. Lalu Jeremy bertemu dengan Sera (Dhea Seto dalam debut aktingnya) di sekolah yang didatanginya itu. Sera anak rumahan, sangat berbakti kepada orangtua, dan kutu buku. Namun, perlahan berubah jadi seorang yang berjiwa "petualang" sejak mengenal Jeremy, cowok ganteng-macho-tatoan berumur 26 tahun.
Lalu kisah pun bergulir, dan bagi penonton yang telah menyaksikan karya-karya Nugros sebelumnya, deja vu-deja vu itu segera menghantam kepala kita secara bertubi-tubi sejak menit-menit awal film bermula. Lihat misalnya adegan Jeremy dan Baron yang hendak memasuki gerbang sekolah namun dihadang oleh seorang satpam bernama Madun. Adegan ini hal yang tak perlu --bila tak mau disebut menggelikan serta di luar akal sehat-- namun si pembuat film menganggapnya jadi hal yang lucu, menghadirkan sekuen kejar-kejaran di antara mereka dan kita diminta menerimanya begitu saja, syukur-syukur bisa tertawa.
Dalam dunia rekaan Nugros, segala kejadian seakan berjalan tanpa kehadiran hukum alam, misalnya soal waktu, geografi, dan mungkin juga gravitasi. Lihat misalnya adegan Jeremy dan beberapa anak sekolah yang berangkat ke Citarik untuk berarung jeram dengan menaiki bus kopaja. Kenyataannya, bila lalu lintas lancar, perjalanan ini bisa memakan waktu sekitar enam jam dari Jakarta, itu pun bila tak kena tilang di tol dalam kota dan tol Jagorawi, serta di sepanjang jalan Ciawi-Sukabumi. Tentu kru film ini betulan melakukan syuting di Citarik dan tahu betul medan dan waktu tempuh ke sana. Dan memang ini dunia film, bisa saja menghadirkan time lapse, diceritakan seolah-olah jarak itu telah ditempuh dan bus kopaja itu akhirnya sampai di Citarik.
Namun, Nugros tak kuasa menghadirkan adegan tadi semasuk akal mungkin, misalnya dengan memberi beberapa potongan gambar yang merekam perjalanan mereka, entah itu adegan kendaraan yang mereka tumpangi berjalan di dalam tol, atau juga shot-shot suasana pedesaan ketika mereka hendak memasuki kawasan Citarik; sedikit saja tentu tak kan merepotkan, karena memang perlu demi kemasukakalan cerita. Alih-alih mendapatkan itu, kita malah disuguhi adegan Jeremy berteriak, "Yuk, siap-siap!" di dalam kopaja yang baru saja berjalan, dan tiba-tiba sedetik kemudian mereka sudah di atas perahu karet di sungai Citarik seolah-olah jarak Jakarta-Citarik itu sedekat Terminal Blok M ke Melawai.
Yang sudah menonton 'Adriana' atau 'Cinta Brontosaurus' pasti segera merasakan deja vu itu. Dan, belum lagi kita selesai membahas hal yang menakjubkan ini, sekonyong-konyong ada adegan tambahan: kedua orangtua Sera tiba-tiba mendatangi tempat mereka camping di Citarik pada pagi hari, seolah-olah mereka seperti pergi menjemput Sera ke Plaza Senayan dari Senayan City. Dan, tak perlu kita tanyakan bagaimana mereka tahu soal keberadaan puteri mereka yang pergi tanpa pamit itu.
Di adegan lain, kita dijejali cerita serupa yang sama tak masuk akalnya, kecuali film ini bergennre fiksi ilmiah dan kedua tokoh utama kita bisa menjelajah tempat dan waktu seperti di film 'Jumper' buatan Hollywood itu. Di satu adegan, sepulang sekolah Sera dijemput Jeremy untuk diajak bertualang lagi; kali ini bermobil off road di alam terbuka yang entah lokasinya di mana, dan saya menolak untuk memperhitungkan jarak tempuh, kondisi lalu lintas dan lain sebagainya. Karena seperti yang saya sebut tadi, mungkin saja kedua tokoh kita ini punya superpower atau pintu ajaib ke mana saja dari Doraemon.
Adegan-adegan menaklukkan dunia ini sangat repetitif; lain waktu mereka pergi diving, lain waktu mereka panjat tebing, dan lain waktu lagi mereka main gokart. Nugros mengganti-ganti variabel "petualangan" ini dalam template yang sama. Menjemukan, dan pada saat yang bersamaan mengusik pikiran sehat kita.
Bila hal-hal tersebut dirasa kurang mengusik, ini bisa jadi contoh adegan terkakhir dari banyaknya adegan serupa dari film ini yang dapat saya berikan; alkisah Jeremy menjemput Sera untuk mengajaknya berjalan-jalan dengan berboncengan naik motor. Kita melihat mereka keliling kota di atas aspal Jakarta, lalu mereka memasuki sebuah gedung. Adegan selanjutnya mereka berada di atas gedung tersebut, Jeremy melilitkan bendera merah putih di punggungnya, lalu mereka berdua ngobrol haha-hihi. Setelah itu mereka pulang. Entah apa motivasi mereka, tak habis pikir, seperti adegan tokoh yang diperankan Raditya Dika bersama lawan mainnya berdialog di atas atap pom bensin dalam 'Cinta Brontosaurus', adegan-adegan yang bikin geleng-geleng kepala seperti ini hanya ada di film-film bikinan Nugros.
Itu baru dari segi pengadeganan, saya bahkan belum berbicara soal akting dan tema yang diangkat film ini. Namun dari aspek-aspek itu saja, kita tahu bahwa film ini memiliki materi dan penanganan yang jauh di bawah rata-rata. Naskah film ini tak memungkinkan Rio Dewanto untuk tampil gemilang, padahal kita tahu ia aktor yang baik dalam 'Arisan!2', 'Hello Goodbye' dan beberapa film lainnya. Dhea Seto sebagai debutan juga tak memberi penampilan yang meyakinkan, tak memiliki kharisma, dan karena itu alasan-alasan di balik ketertarikan Jeremy terhadapnya jadi sangat tak meyakinkan. Jeremy jadi tampil bak om-om menyedihkan yang depresi berat karena cinta lalu akal sehatnya hilang, dan tingkahnya mencintai Sera bak anak SMA yang baru akil baliq saja. Tak pernah penampilannya yang ganteng, macho, kharismatik jadi terlihat secupu ini di sebuah film.
Ada satu dialog antara Sera dan Jeremy di film ini yang sangat menggelitik. Dialog ini dilontarkan Sera ketika mengomentari pekerjaan Jeremy yang menjemukan. Bila boleh saya kutip dan saya modifikasi sedikit (untuk dikembalikan kepada sang sutradara), kira-kira jadi begini dialognya, "Apa nggak jenuh bikin film seperti ini terus?"
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)