'The Raid 2: Berandal': Romansa dan Aksi yang Brutal

'The Raid 2: Berandal': Romansa dan Aksi yang Brutal

- detikHot
Jumat, 28 Mar 2014 15:29 WIB
Jakarta - 'The Raid 2: Berandal' (selanjutnya disebut 'Berandal') melanjutkan kisah sang polisi pahlawan kita, Rama (Iko Uwais, 'Merantau', 'The Raid: Redemption') untuk memberantas lebih banyak lagi penjahat yang merajalela di kotanya. Ia, oleh atasan barunya, Bunawar (penampilan singkat namun penuh kharisma dari Cok Simbara) diberi tugas yang lebih gila dari sekedar menyerbu satu blok apartemen yang dipenuhi para begundal. Kini, ia harus menyamar ala tokoh Chan Wing Yan yang diperankan oleh Tony Leung dalam 'Infernal Affairs', yakni menyusup ke dalam gangster pimpinan Bangun (satu lagu penampilan antagonis yang memikat dari Tio Pakusadewo) untuk mencari tahu hubungan sepak terjangnya dengan tindak korupsi yang terjadi di kepolisian.

Untuk melakukan tugasnya ini, Rama (atau dalam nama samarannya Yuda) mendekati anak Bangun, Uco (Arifin Putra, 'Rumah Dara') dalam penjara dan menjalin pertemanan dengannya hingga ia kemudian direkrut jadi bagian dari kerajaan gangster-nya. Sisa jalan ceritanya, Anda sendiri pasti sudah tahu: rentetan bak bik buk, dar der dor membabi buta sepanjang dua setengah jam yang menyesakkan napas.

Sekuel 'The Raid' ini dibuka dengan adegan yang keren dan sangat menarik: wide shot, eksterior, siang hari, di sebuah padang rumput --dari kejauhan kita melihat seorang tokoh yang wajahnya tertutup karung goni hendak dihabisi. Adegan ini ditampilkan lumayan lama hingga beberapa saat kemudian transisi gambar mengalihkannya kepada close up wajah tokoh tadi, yang kini tak tertutupi lagi. Di hadapannya, Bejo (Alex Abad, 'Merantau') sudah siap untuk menyuruh anak buahnya meledakkan kepalanya. Dari sini kita tahu, sutradara Gareth Evans lain sekali memperlakukan film ini. Berbeda dengan yang pertama, arahannya kali ini jauh lebih megah, jauh lebih bercerita, dan tentu saja, jauh lebih greget.

Bila 'The Raid: Redemption' disebut-sebut sebagai film action yang claustrophobic --banyak adegan yang dilakukan di ruang-ruang sempit-- maka 'Berandal' adalah film action-crime-thriller yang anywherephobic (ini istilah bikinan saya saja). Sebab, kejadian di film ini tak hanya di ruang-ruang sempit, seperti di dalam toilet atau di jok belakang mobil, melainkan dimana pun --di restauran, jalan raya, dalam KRL, klub malam, set lokasi syuting video porno. Pokoknya di mana saja semua tokoh film ini berada, nyawa mereka terancam setiap saat, darah dan mayat bergelimpangan tak terhitung jumlahnya. Dengan bujet produksi lebih dari $ 4,5 juta Gareth jelas bisa jauh lebih bersenang-senang.

Dengan promo yang besar-besaran, Gareth tahu betul bahwa filmnya kali ini bakal jauh lebih populer ketimbang pendahulunya, dan mungkin juga menarik penonton baru. Dan, penonton baru yang saya maksud adalah penonton di 50 negara di mana film ini diedarkan. Maka sentuhannya kali ini untuk 'Berandal' sangat cerdas, siapapun dapat menikmatinya sebagai sajian film yang berdiri sendiri. Film ini langsung memutuskan hubungannya dengan film pertamanya sejak di menit awal.

Banyak sekali karakter dalam 'Berandal' --beberapa di antaranya mudah sekali terlupakan, misalnya ketiga tokoh orang Jepang yang diperankan oleh aktor-aktor hebat Kazuki Kitamura ('Kill Bill', 'The Killers') sebagai Ryuichi, Ryuhei Matsuda ('Gohatto', 'Blue Spring') sebagai Keiichi, dan Kenichi Endo ('One Missed Call', 'Azumi') sebagai ketua geng Goto. Mereka adalah rival geng Bangun. Bukan tanpa sebab ketiga tokoh tadi memberi sedikit sekali kesan, dan bukan tanpa sebab pula Gareth membuatnya sedemikian rupa. Kita hanya melihat sedikit sekali penampilan dan peran mereka dalam konstelasi cerita kali ini, namun saya kira peran mereka bakal sangat penting dalam cerita lanjutan berikutnya. Cerita yang bakal terjadi tiga jam sebelum kisah dalam 'Berandal' ini berakhir. Menarik bukan?

Menarik pula bahwa Yayan Ruhian yang sebelumnya memerankan Maddog, si anjing gila yang mati digorok di akhir 'The Raid: Redemption', kini kembali beraksi dalam 'Berandal' namun dengan peran yang lain. Kali ini ia menjelma jadi Prakoso, pembunuh bayaran bertampang gembel, dan hebatnya ia diceritakan memiliki bekas istri yang cantik jelita. Sesungguhnya karakter Prakoso tak penting-penting amat, tapi menyaksikan Yayan Ruhian kembali beraksi menggebuki lawan-lawannya, dan melihat ia berdialog "mesra" dengan Marsha Timothy adalah pertunjukan yang bikin gregetan, dan tentu saja, sayang untuk dilewatkan.

Di antara yang paling memorable, tokoh Hammer Girl yang diperankan oleh Julie Estelle ('Rumah Dara') adalah juaranya. Cantik (asalkan kacamatanya tak terlepas), memikat, bersenjatakan dua buah palu, ia tak kenal ampun menghabisi lawan-lawannya, seperti versi jahat dari karakter The Bride dalam 'Kill Bill' rekaan Quentin Tarantino. Brutal. Mematikan. Pun begitu dengan Cecep Arif Rahman, pesilat dari Garut ini membuktikan bahwa ia bisa bertarung mati-matian lawan Iko Uwais segreget dan sebrutal Yayan Ruhian dalam 'The Raid: Redemption' dulu.

'Berandal' bukanlah sekadar soal film Indonesia yang membanggakan. 'Berandal' adalah romansa film aksi yang menyenangkan. Kita bisa melihatnya sebagai film aksi yang brutal, namun justru kebrutalan itu lahir dari rasa cinta yang dalam akan film-film aksi dari si pembuat film. Dalam ranah sinema Indonesia, Gareth Evans adalah Jake Sully dalam 'Avatar' karangan James Cameron; ia memang "bule", bukan "pribumi", namun kecintaannya akan film aksi dan hasratnya membuat film sudah seharusnya membuat sutradara-sutradara "asli Indonesia" terlecut untuk berkaya lebih baik lagi. Seharusnya sudah tak ada lagi film pocong, hantu blau, maupun film-film lain yang dikerjakan secara amatir, seperti apa yang diucapkan oleh Rama di akhir film, "Cukup!"

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia.

(ich/ich)

Hide Ads