Dia adalah Wijiyanto Notomiharjo (Susilo Badar), tukang kayu yang sedang bergegas ke klinik persalinan menyambut kelahiran anak pertamanya. Adegan itu merupakan pembuka film arahan sutradara Azhar Kinoi Lubis, 'Jokowi'.
Film dibuka dengan dramatis, menggambarkan perjuangan Notomiharjo yang cukup kesulitan dalam perjalanannya ke klinik. Ketika melewati sebuah pasar, ia melihat penggusuran yang sedang terjadi. Barang-barang dagangan dihancurkan, dan para pedagang yang kebanyakan berusia tua diusir dengan kasar. Bahkan Notomiharjo hampir diciduk oleh petugas karena disangka pedagang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian cerita film banyak bergulir mengenai kesusahan yang dialami keluarga kecil itu. Mulai dari hidup berpindah-pindah karena tidak sanggup membayar kontrakan, hingga digusur ketika tinggal di pinggiran kali.
Adegan demi adegan dibuat dengan dramatis diiringi musik yang menyayat hati. Namun, porsinya yang terlalu banyak membuat film itu seolah-olah mengajak penonton untuk bersedih dan iba.
Jokowi kecil yang ditanamkan budi pekerti lewat tokoh pewayangan yang diceritakan kakeknya, tumbuh sebagai anak yang penurut, suka membantu, dan jujur. Namun ia sempat tak tahan juga hidup kesusahan dan harus berpindah-pindah.
Cerita film kemudian bergulir ketika Jokowi duduk di bangku SMA. Teuku Rifnu Wikana muncul dengan rambut yang memanjang dibalut seragam putih abu-abu. Dari sini, alur cerita terasa lebih segar.
Diceritakan bagaimana Jokowi yang selalu juara kelas mulai menggemari musik rock dengan Led Zeppelin sebagai idolanya. Jokowi yang pemalu dan hanya bermodal sepeda harus bersaing dengan pria necis untuk merebut hati gadis pujaan hatinya, Iriana (Prisia Nasution).
Banyak pelajaran budi pekerti yang ditanamkan pada Jokowi dari ayahnya sedari kecil hingga dewasa yang bisa diambil. Tokoh Jokowi dewasa, dimainkan dengan baik oleh Rifnu, baik dari pembawaan karakter hingga gesture saat tertawa dan berbicara.
Akting Susilo Badar juga harusnya lebih bisa dinikmati bila dalam skenario Joko Nugroho dan Azhar Kinoi Lubis ia tidak terlalu banyak menonjolkan sisi dramatis seperti di awal film. Namun cara mereka cukup jitu untuk menghindari ranah politik, dan menutup cerita filmnya dengan asyik.
(ich/mmu)