Maraknya situs dan aplikasi streaming musik digital yang dapat digunakan untuk mendengarkan lagu juga menjadi salah satu hal yang membuat beberapa orang lebih memilih untuk tidak membeli rilisan fisik.
"Semenjak ada Spotify, dengerinnya di Spotify doang sama YouTube saja cukup," ujar salah seorang pegawai swasta di salah satu situs travel berbasis daring, Finda Mustika (23).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Meski kini beberapa orang lebih memilih mendengarkan musik via streaming, namun lain halnya dengan apa yang dikatakan oleh Project Manager Demajors, Anthono Oktoriand. Dalam sebuah wawancara dengan detikHOT di awal tahun 2016 lalu, ia meyakini bahwa industri rilisan fisik tak pernah mati.
"Rilisan fisik itu kayak punya experience lain. Ada rasa lain jadi nggak akan pernah mati," ungkapnya kala itu. Ia pun menambahkan bahwa bagi beberapa orang, mereka mengumpulkan rilisan fisik sebagai collectable item.
"Banyak yang beli vinyl tapi mereka nggak punya player-nya tapi mereka beli. Ada juga yang beli album Efek Rumah Kaca di itunes tapi mereka juga punya CD-nya. Karena menurutnya ada experience lagi yang bisa didapatkan dengan menyentuh fisik dari sebuah album," tambahnya.
Selain itu, vokalis group band D' MASIV, Rian, juga pernah menuturkan, membeli rilisan fisik dapat membuat pendengar lebih mengenal sang musisi. "Karena di dalam rilisan fisik kan ada credit-nya, siapa aja yang terlibat dalam album itu, yang terlibat dalam pembuatan musiknya, thanks to-nya buat siapa," ujarnya seperti yang pernah diberikan di detikHOT.
Adanya "perintilan" yang tak bisa didapatkan saat membeli album, misalnya artwork dan kata-kata yang dituliskan sang musisi, bagi Rian menjadi alasan kuat mengapa rilisan fisik tetaplah penting.
Faktanya, masih seberapa banyak peminat dari rilisan fisik? Apa pandangan pendengar mengenai rilisan fisik? Simak laporan berikutnya sepanjang hari ini di detikHOT!
(srs/mmu)