Cheerleader alias pemandu sorak, kerap kali muncul di acara-acara pentas seni sampai olahraga. Tujuannya, tentu saja membuat acara tersebut semakin meriah dengan teriakan dan yel-yel penambah semangat.
Walaupun punya peranan penting, pemandu sorak tetap saja bukan bintang utamanya. Mereka yang biasanya diisi oleh belasan perempuan cantik nan seksi itu hanya selingan hitungan menit dari rangkaian acara. Tentu saja beda jadinya jika itu memang kompetisi khusus cheerleader.
Istilah pemandu sorak itu kemudian diadopsi oleh musisi rock kawakan Indonesia Eet Sjahranie. Tujuannya, untuk menggambarkan musisi-musisi nasional lain yang begitu cepat bangga dengan prestasi berbalut embel-embel internasional. Termasuk juga tidak adilnya perlakuan yang diterima musisi nasional dan bintang tamu internasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian bertambah parah karena kita sudah cukup senang dengan status itu. Kita berbangga menjadi pembuka band luar negeri di tanah sendiri. Padahal band luar negeri itu dapat porsi yang jauh lebih besar. Sekarang mungkin tidak terasa, tapi apa jadinya nanti kalau semua panggung di Indonesia, termasuk cafe-cafe tempat biasa nongkrong, yang tampil band luar. Mau main band di mana?" sambungnya serius.
"Gue bukan anti band barat, gue mengagumi dan mempelajari banyak hal dari mereka. Tapi harus berimbang. Jangan sampai musisi nasional cuma dikasih kesempatan untuk nonton doang," tegasnya lagi sekaligus mengakhiri wawancaranya bersama detikHOT selama kurang lebih 1,5 jam.
(mif/nu2)