'Parachutes', Tonggak Sejarah Coldplay

Jakarta - Muncul sebagai grup band asal Inggris, Coldplay sepertinya berada di belakang beberapa seniornya. Sebut saja Blur dan Oasis yang disebut-sebut sebagai dewa musik asal Inggris di era 90-an.

Namun, Coldplay sendiri akhirnya bisa keluar dari bayang-bayang mereka dan muncul dengan warna sendiri. Pelatuk kesuksesan itu ditarik saat mereka merilis album perdana, 'Parachutes' pada 2000.

Melahirkan beberapa hits seperti 'Shiver', 'Don't Panic', 'Trouble' hingga 'Yellow' album tersebut bisa dibilang menjadi tonggak sejarah awal grup band yang lahir berawal dari pertemanan Chris Martin dan sang gitaris Jonny Buckland itu.

Berbagai pujian pun mengalir deras dari mulut para pengamat musik dunia. Pujian tersebut pun dibarengi dengan banyaknya raihan didapat oleh album tersebut.

"Ini karya terbaik yang terlahir dari jiwa muda para personelnya," ucap salah satu pengamat musik ternama, Michael Hubbard beberapa saat setelah album tersebut dirilis.

Lewat 'Parachutes', Chris Martin Cs juga akhirnya untuk pertama kalinya bisa menggenggam Grammy Awards. Album tersebut didaulat menjadi 'Best Alternative Music Album' di Grammy Awards 2002.

Tak hanya itu 'Parachutes' juga mendapatkan penghargaan sebagai 'Best British Album' di BRIT Awards 2001. Tentunya kedua penghargaan bergengsi itu seperti menjadi loncatan sejarah untuk Coldplay.

'Parachutes' sendiri sempat merajai beberapa tangga lagu dunia dan juga sukses terjual hingga 2,4 juta kopi di seluruh dunia. Pencapaian tersebut tentunya bukan perkara mudah untuk Coldplay saat itu masih menyandang sebagai grup band baru.

Pencapaian 'Parachutes' sendiri seperti ditutup dengan dedikasi tinggi kepada sang drumer Will Champion. Saat proses penggarapan album tersebut Will harus kehilangan ibunda tercintanya.

Hingga pada akhirnya 'Parachutes' dipersembahkan untuk mendiang ibunda Will. Tentunya hal itu menjadi perpaduan manis antara prestasi dan persahabatan mereka.

(fk/mmu)