Di New York, di red carpet yang sibuk dengan teriakan orang-orang dan dengung blitz kamera, Dee Dee Allen (Meryl Streep) berjalan dengan senyum lebar dan tangan yang terus berkibar. Sebentar lagi tangannya akan kelelahan dan senyumnya akan memudar.
Pertunjukan teater yang ia mainkan dengan Barry Glickman (James Corden) yang berjudul Eleanor: The Eleanor Roosevelt Musical segera dibuka. Dan dia menemukan kenyataan bahwa kritikus membenci musikalnya. Dalam adegan yang lumayan kocak, Dee Dee Allen dan Barry Glickman langsung kebingungan bagaimana cara mereka survive dari kritik pedas tersebut.
Mereka berdua kemudian mencari pencerahan ke Trent Oliver (langganan Ryan Murphy, Andrew Rannells) dan Angie Dickinson (Nicole Kidman), seorang chorus girl yang katanya tidak akan pernah menjadi pemeran utama musikal Chicago. Dickinson membaca di Twitter bahwa seorang gadis di Indiana tidak bisa membawa pacar perempuannya ke prom. Mereka semua yang merupakan orang-orang liberal langsung berteriak tidak terima dengan kenyataan ini. Mereka pun langsung berangkat ke Indiana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Indiana, Mrs. Greene (Kerry Eashington) yang bertugas sebagai kepala PTA (Parent-Teacher Association) sudah ngotot dengan keputusan ini. Lebih baik prom dibatalkan kalau memang ada siswa yang berani-beraninya menunjukkan bahwa dia anggota LGBT. Yang dia tidak sadari, kepala sekolah Tom Hawkins (Keegan-Michael Key) mendukung si siswi Emma Nolan (Jo Ellen Pellman) untuk membawa siapapun ke prom karena orientasi seksual bukanlah konsumsi publik.
Kehebohan ini menjadi semakin panas ketika akhirnya geng Broadway sampai di Indiana. Tentu saja mencurigakan sekali orang-orang seni ini ujug ujug tiba-tiba ada di kota kecil. Apa tujuan mereka? Apa mereka memang semulia itu untuk mendukung kesetaraan gender dan cinta kepada sesama? Atau mereka mempunyai maksud dan tujuan lain?
![]() |
Ditulis oleh Chad Beguelin dan Bob Martin, The Prom adalah sebuah adaptasi musikal Broadway berjudul sama yang terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi pada tahun 2010 di Fulton, Mississippi. The Prom kebetulan adalah film kedua yang Ryan Murphy persembahkan untuk Netflix setelah The Boys In The Band yang rilis beberapa bulan lalu. Kesamaan diantara keduanya tentu saja: talenta-talenta gemilang yang ada di depan dan di belakang layar. Dalam The Prom, Murphy berhasil mengajak nama-nama dari Meryl Streep, Nicole Kidman, Tracey Ullman sampai pendatang baru Jo Ellen Pellman dan Ariana DeBose untuk proyek musikal ini.
Sebagai sebuah tontonan, The Prom lumayan menghibur. Kisahnya gampang diikuti. Dan semua drama yang terjadi di film ini, baik dari karakter utama sampai pemeran pembantu, semuanya diperas sampai titik penghabisan. Semua karakter mendapatkan kesempatan untuk bernyanyi dan menunjukkan kemampuannya. Dari Meryl Streep sampai Keegan-Michael Key mendapatkan jatah untuk unjuk gigi.
Sinematografer Matthew Libatique menterjemahkan kemeriahan ceritanya dengan gerak kamera yang tidak pernah berhenti. Kamera Libatique selalu bergerak mengikuti gerak para karakternya yang tidak bisa anteng. Untuk menambahkan kementerengan itu semua, Murphy menggambar The Prom dengan warna-warna yang sungguh mencolok mata. Nuansanya seperti film disko 80'an ketemu dengan video klip Kylie Minogue. Sungguh ramai sekali.
Para aktor-aktor legendaris ini memang bisa diandalkan untuk membuat The Prom menjadi enak untuk dinikmati. Yang kurang mungkin hanya James Corden yang agak maksa. Yang sayangnya kebagian jatah drama yang lumayan serius. Selain itu, semuanya lumayan asyik. Meryl Streep ya tetap Streep. Seorang jagoan yang bisa memerankan apa saja. Disini dia agak lebih bersenang-senang karena menjadi karakter yang sungguh narsis.
Nicole Kidman, Keegan-Michael Key dan tentu saja Andrew Rannells selalu bisa diandalkan untuk membantu The Prom menjadi lebih bermartabat. Pendatang baru Jo Ellen Pellman dan Ariana DeBose secara mengejutkan menunjukkan bahwa mereka tidak kaget bersanding dengan aktor-aktor kelas utama Hollywood.
Sayangnya The Prom keteteran di editing. Kalau menonton sebuah musikal membuat penonton bosan, itu adalah tanda bahwa musikal tersebut kurang berhasil. Dan ada lebih dari satu momen dalam film ini yang membuat saya menguap lebar. Banyak sekali momen yang terpaksa dipotong karena Murphy ingin mengamplifikasi lelucon yang sebenarnya biasa saja.
Secara presentasi, The Prom terasa kurang megah dibandingkan dengan musikal yang lain. Kalau bukan Libatique yang memegang kamera, The Prom mungkin akan kelihatan seperti Glee versi agak mahalan dikit. The Prom memang tidak sempurna tapi setidaknya ia mengundang penonton untuk bersenang-senang dan berpesta.
The Prom dapat disaksikan di Netflix
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(nu2/nu2)