Sejarah itu seperti spiral: ia selalu berulang tapi selalu maju ke depan. Agora, karya terbaru Alejandro Amenabar ('The Others' dan 'Sea Inside') membuktikan hal itu: fenomena kekerasan atas nama agama, otoritarian dan totalitarian yang berlaku, dan akhirnya hancurnya ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
Kisahnya berfokus pada Hypatia (dimainkan dengan cemerlang oleh Rachel Weisz, yang sudah dibayangkan oleh sutradaranya semenjak pengembangan skenario), filsuf perempuan pertama dalam sejarah yang mengajarkan filsafat, matematika, dan astronomi di Alexandria, saat Mesir di bawah imperium Romawi. Dia punya kecintaan luar biasa kepada filsafat, ilmu pengetahuan, dan persamaan hak. Muridnya semuanya pria dan kelak, beberapa punya jabatan penting.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka, cara berpikir terbuka, toleran, dan koeksis tertutup sudah. Tidak ada lagi semangat saling menghargai dan menghormati keyakinan lain. Dan bagi yang sudah berselancar di internet, akan mengetahui bahwa Hypatia akan berakhir tragis.
Dalam soal "pemilik kebenaran" yang memaksakan kebenarannya sendiri, kita bisa dengan mudah mengganti 'Kristen' dengan ideologi lainnya, apapun itu : Islam, Yahudi, Zionisme, Komunisme, Fasisme. Segala yang totaliter dan otoriter, dan segala ideologi yang puber, dari yang paling kiri, paling kanan, bahkan paling tengah! Kita juga bisa mengganti konteksnya dengan masa kini, atau zaman kapan pun.
Perbedaan antar karakter pun begitu tajam. Hypatia begitu cinta dengan ilmu pengetahuan; kaum Kristiani membakari buku-buku 'kafir'; hal yang kita juga lihat di 'Dances with Wolves' atau 'Destiny' (sebuah film Mesir tentang Ibnu Rusyd). Dan tentu saja, fakta bahwa dia wanita di jiwa zaman yang percaya bahwa perempuan hanyalah separuh pria, sangat menyulitkannya.
Selama nyaris 130 menit, Amenabar mampu membuat dunia reka-percaya Mesir di Abad ke-4 SM dengan cukup meyakinkan. Tentu saja, film ini dibumbui oleh kisah asmara segitiga, antara Hypatia dengan seorang muridnya yang bangsawan (Orestes) dan budaknya (Davus). Dan mari kita kembali ke masa itu, dan menerima kenaifan apa pun yang sangat modern kala itu, misalnya kepercayaan bahwa bumi adalah pusat galaksi.
(iy/iy)