Ibu menjalani hari dengan rutinitas yang sebagian besar selalu sama dengan hari sebelumnya. Hal yang membedakan mungkin ketika harus keluar rumah untuk belanja di Indomaret, sekalian ambil uang di ATM, dan bila sedang murah hati membeli kudapan dari warung pinggir jalan.
Kesannya Ibu di rumah melulu, namun tak pernah kulihat Ibu bersantai di siang hari dengan nyaman. Selalu ada saja yang beliau kerjakan. Kalau tidak berkebun dan dijatuhi semut dari pohon mangga di dasternya, Ibu mengepel teras yang tak lama lagi akan kotor oleh debu jalanan, atau tidur-tidur ayam di depan TV lalu terbangun tiba-tiba dan beranjak ke jemuran saat langit berubah abu-abu.
Aku selalu menyamakan ibuku dengan semut yang tak berhenti bergerak di sekeliling rumah. Semut yang selalu menghubungkan dirinya dengan segala tugas sebagai bagian dari sebuah kelompok.
Bukannya aku tak membantu pekerjaan rumah sama sekali. Tapi Ibu memang mengerahkan segala waktu dan tenaga untuk mengurusi rumah, dari pinggir jalan hingga ke bagian belakang tempat mencuci dan menjemur pakaian.
Di depan pagar ada sedikit wilayah berumput yang Ibu tanami bambu-bambuan. Di balik pagar besi putih, taman bunga Ibu membuat pelintas menoleh dan mengagumi. Apalagi bila pohon mangga manalagi itu sedang berbuah. Karena terletak di jalan masuk kompleks, debu yang dibawa kendaraan membuat rumah ini lebih cepat kotor dan suasananya tak pernah hening-kecuali lewat tengah malam. Itu sebabnya menurutku tak ada gunanya sering-sering mengepel teras.
Tempat tinggal ini tak bisa dibilang besar; cukup untuk empat penghuni yang tidur terbagi di dua kamar saja. Semakin tua usia, bertambah pula keinginan dan kebutuhan, maka jumlah barang turut mengikuti. Ibu selalu tahu bagaimana menyimpan dan menyusun mereka supaya menghindari kesan sumpek sehingga membuatku kagum.
Suatu subuh kami dikejutkan oleh kedatangan air yang masuk rumah tiba-tiba. Katanya saluran air dekat rumah bocor sehingga tak sanggup menampung air hujan yang turun deras dari malam. Ibuku yang terjaga lebih dulu sudah berkeliling rumah, demi menyelamatkan barang-barang yang tertangkap mata atau diingatnya.
Seharian itu kami membersihkan rumah dari lumpur supaya tidak bau. Namun, bukan hanya beberapa barang bagus yang terpaksa mesti dibuang, banjir itu membawa pasukan semut naik ke atas tanah dan menjarah tempat tinggal manusia. Di setiap ruangan ada semut-termasuk di kamar mandi. Setiap makanan dicicip semut.
Barisan semut yang berjalan di sisi karpet menggigiti badan kami. Ayah menganggap kehadiran semut-semut itu sebagai pertanda ketidakbecusan Ibu membersihkan rumah. "Banyak semut di rumahku. Gara-gara kamu. Malas bersih-bersih," begitu nyanyinya.
Ibu tak terima dikatai malas bersih-bersih. Nyatanya, Ibu selalu membawa sapu dan serok ke tempat kumpulan semut berada, disapunya mereka kemudian dibuang di halaman seolah berkata,
"Kembalilah ke dalam tanah." Tetapi itu semua tak begitu berdampak. Ayah masih sering mengomel, dan muncullah gagasan pembasmian besar-besaran di akhir pekan nanti dengan melibatkan bahan kimia.
"Ganyang mereka hingga ke ratu-ratunya! Hancurkan sarangnya!" kata Ayah. Ibuku makin ketar-ketir mendengarnya. Dia tak ingin semut-semut yang terpaksa mengungsi ke permukaan karena banjir itu dihabisi. Toh mereka tak membawa penyakit seperti tikus dan kecoak. Ah, bagaimana ini? Ibu bingung hendak diapakan botol-botol berisi bahan kimia yang telah dibeli suaminya itu. Mau disembunyikan tak mungkin.
Ibu makin gelisah meski sedang duduk, menyebabkannya terus menyapu semut lebih sering, terutama ketika Ayah sedang di rumah. Aku sampai lelah melihatnya.
Tak ada salahnya berharap Ayah yang keras kepala berubah pikiran. Ibu menganggap hati manusia itu tak pernah tetap dan kadang spontan. Keburukan dan kebaikan secara bergantian membalik keadaan. Membunuh makhluk-Nya yang hanya ingin bertahan hidup itu buruk, bukan? Cuma Tuhan yang mampu melunakkan hati manusia.
Maka Ibu menambah daftar doanya: meminta dengan sungguh-sungguh pada yang Mahakuasa supaya menuntun bangsa semut ke jalan yang benar, menuju rumah mereka yang sebenarnya di dalam tanah. Posisi doa ini bolak-balik saja dengan minta dijauhkan dari wabah.
Ibu tidak mau hari Minggu nanti semut yang berada di rumahnya jadi punah. Ibu takut jika membiarkan makhluk yang disebut dalam kitab suci itu dibunuh. Bisa-bisa keluarganya justru akan kena musibah sebagai hadiah.
"Kamu ingat kejadian tiga tahun lalu?" pancing Ibu ketika aku menyinggung apa hubungan niat Ayah membasmi semut dan musibah yang menanti.
"Ayahmu mengebut setelah marah-marah ke orang yang menyerempet mobilnya, di pertengahan jalan dari kota sebelah. Ibu sudah memperingati supaya hati-hati karena kadang ada hewan liar melintas. Nggak lama kemudian Ayah menabrak kucing hutan dan ditinggal begitu saja," kenangnya.
Ibu memang penyayang binatang. Saat aku kecil dulu, Ibu kujuluki Putri Salju karena sepertinya binatang pun menyukainya. Buktinya semut-semut di taman selalu ingin ikut Ibu ke dalam rumah dengan menggelayuti dasternya. Tak heran wajah Ibu sedih bukan main ketika tersadar ganjalan yang terasa di ban mobil itu mungkin saja disebabkan oleh kepala kucing hutan.
"Biar saja! Paling sudah mati," sahut Ayah ketus mendengar Ibu memohon untuk berhenti sejenak.
"Kalau masih hidup tapi sekarat, gimana? Siapa tahu bisa diselamatkan."
Ayah makin menambah laju kendaraan dengan mencureng ke depan dan tangan menggenggam setang erat. "Ngaco. Memang kau dokter hewan? Kau bisa menyelamatkan hewan yang celaka? Di sini wilayah hutan. Tak ada dokter hewan. Mobil lecet, kok, malah memikirkan kucing bodoh yang mati karena menyeberang nggak lihat-lihat!"
"Kalau memang mati, bisa kita kuburkan." Ibu merasa bertanggung jawab sampai terus-menerus membantah Ayah. Tak peduli pada wajah suaminya yang semakin merah padam dan nada bicaranya yang meninggi. Namun keinginan Ibu tak pernah terwujud sebab Ayah yang memegang kemudi dan kendali.
"Lalu kalian bertiga terkena cacar karena tertular dari adikmu. Padahal biasanya anak kecil yang kena cacar," lanjutnya bercerita. Memang waktu itu aku, adik, dan Ayah sakit cacar. Aku kira aku takkan pernah terkena penyakit itu, sebab saat kecil dulu kulihat teman-temanku absen satu per satu dari sekolah karenanya, sedangkan aku selalu baik-baik saja.
"Mana bisa Ibu ambil kesimpulan begitu," ujarku. "Itu karena sudah waktunya kena penyakit."
Ibu rupanya masih punya cerita lain. Kali ini tentang mantan tetangga kami yang sudah pindah ke kompleks lebih bagus berisi rumah-rumah gedong. Kepala keluarga itu suka meminta bayaran pada orang-orang yang hendak mengurus sertifikat tanah di kantornya. Semakin besar jumlah uang, semakin cepat prosesnya.
Bukan hanya itu kebiasaan buruknya. Dia juga gemar berburu lalu mengawetkan tubuh hewan-hewan tangkapannya di ruang tamunya. Katanya bisa membantu menakut-nakuti maling jika ada. Bertahun-tahun sepertinya makmur saja hidup mereka. Ternyata Ibu mendapat kabar, anak lelaki keluarga itu terlibat kecelakaan motor hingga cacat.
"Motor itu dibeli pakai uang siapa? Uang ayahnya yang tidak halal itu. Anaknya yang jadi korban," imbuh Ibu. "Kita semua ini terhubung, Nak. Kesalahan orangtua bisa jadi anaknya yang menanggung."
Terhubung. Ibu punya pemikiran seperti itu. Layaknya sifat semut yang tak akan bisa hidup sendiri, selalu berkaitan dengan satu sama lain dalam segala lini kehidupannya, dan fokus pada tugas supaya semuanya berjalan lancar. Makanya Ibu selalu tak berani berbicara macam-macam tentang anak orang yang jadi gunjingan warga. Takut kalau-kalau anaknya jadi bahan gosip orang lain.
Ibu tak akan membicarakan lelaki pilihan temanku, sebab Ibu tak tahu pasti seperti apa nanti menantunya. Ibu juga tidak pernah menolak mahasiswa yang datang ke rumah untuk melakukan survei atau observasi, supaya anak-anaknya diberikan kemudahan dalam segala urusan dunia. Maka dari itu Ibu paling tidak suka ketika dilihatnya Ayah hilang kendali lalu memaki atau memarahi orang lain meski untuk hal sederhana.
"Nanti kalau anakmu yang diperlakukan seperti itu bagaimana?" begitu Ibu selalu berkata, yang kemudian dibalas cibiran Ayah.
Memang kadang aku dimarahi oleh bosku, tapi aku tak pernah mengaitkannya dengan sikap Ayah karena aku memang teledor.
Kuperhatikan punggung Ibu yang bergerak-gerak, tangannya memegang sapu dan serok, berusaha jadi penggembala semut. Sebentar lagi Ayah pulang kerja. Penampakan barisan semut akan menyulut keributan yang sekarang hampir tiap hari terjadi. Bukannya menyerah, Ibu malah makin sering menyapu dan berdoa dengan penuh penghayatan. Lebih khusyuk daripada minta diberi kesehatan.
Kalau orang melihat wajahnya ketika berdoa, bisa-bisa disangka Ibu sedang terkena beban berat atau memohon ampunan setelah berbuat dosa besar. Semoga besok suamiku lupa, atau malah jadi kasihan terhadap makhluk kecil nan rapuh itu, atau tiba-tiba malam ini mereka kembali masuk ke tanah sebab tahu sehari lagi akan ada pembinasaan. "Kembalilah!" pinta Ibu berulang-ulang.
Ayah kembali ke rumah dengan mendung yang menggantung di matanya. Setengah jam kemudian, Ayah sudah mengepak ransel layaknya hendak pergi ke luar kota selama beberapa hari. Ibu diam saja. Aku jelas kebingungan. Di masa pandemi, siapa yang mau ditugaskan ke luar kota seperti ini? Belum lagi kota yang biasa ayahku kunjungi untuk urusan pekerjaan itu termasuk zona merah.
Belum sempat aku bertanya ini itu, Ayah berkata dengan sendu, "Hasil tesnya sudah keluar. Ayah positif." Ayah lalu pergi ke sebuah penginapan yang disewa perusahaan tempatnya bekerja, karena di rumah kami tak ada kamar ketiga yang bisa dijadikan tempat isolasi.
Keesokan harinya, Ibu menjalani rutinitas yang sebagian besar selalu sama dengan kemarin. Hanya saja kali ini, sapu dan serok tidak dipakai sesering sebelumnya. Tidak ada yang mengomeli Ibu untuk menyingkirkan pasukan semut-semut yang tersebar di berbagai ruangan itu. Dibiarkannya saja mereka membentuk barisan yang tak pernah lurus sempurna.
Ibu melenggang ke taman bunganya yang kini semerbak melati. Lama sekali rasanya beliau tak memiliki waktu untuk menikmati aktivitas berkebun atau sekadar mengamati. Oh, betapa leganya di Minggu pagi!
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
Simak Video "Video: Reaksi Nikita Mirzani Setelah Eksepsi Kasus Pemerasan Ditolak Jaksa"
(mmu/mmu)