Meski mengusung kisah klasik, namun 'Mahabarata' tetap kontekstual dan mampu menggaet generasi milenial. Hal tersebut diungkapkan sutradara sekaligus pendiri Teater Koma, Nano Riantiarno.
"Ini cerita penting dan erat dengan generasi milenial. Apa yang saya berikan ini untuk masyarakat muda, penting untuk melihat bagaimana Semar jadi raja dan Togog yang menghamba pada raksasa penyebar kejahatan," ujarnya.
Kisah 'Mahabarata' diakuinya memang berasal dari India namun juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Namun sebelum adanya 'Mahabarata', karakter Togog, Semar, Gareng, Petruk, dan lain-lain sudah ada.
![]() |
"Pertunjukan ini harus dilihat sebagai perkembangan milenial, kalau kita lihat dari kostum kan tidak seperti wayang tradisi. Harus dilihat sebagai pembelajaran lagi, kalau ini penting," ungkap Nano.
Slamet Rahardjo pun menambahkan, dari cerita 'Mahabarata' tanpa terasa Nano Riantiarno membawa kepada keyakinan teknologi hanya alat bagi manusia. Menurutnya, 'Mahabarata' adalah wayang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(tia/nu2)