"Saya ingat sekali di tahun 1990-an sulit sekali dapat akses buku. Pasca konflik, buku jadi media anak-anak bertemu, sebagai jembatan perdamaian," ungkap Lian usai sesi inspiratif di Festival Literasi Indonesia, di halaman kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Kamis (20/10/2016).
Lewat buku, Lian mengajarkan kepada anak-anak bahwa dunia itu luas sekali, penuh kreativitas, dan terdapat beragam orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu aktivitas literasi yang dilakukannya adalah program 'buku berbicara'. Dalam satu forum, mereka menggambar wajahnya sendiri lalu menceritakan tentang identitas asli. Kemudian, menukar 'buku berbicara' tersebut kepada orang lain yang ada di sampingnya. Aktivitas tersebut dijalani Lian di desa Sintuwulemba, kecamatan Lage, Poso, yang dikenal dengan peristiwa pembantaian massal 220 orang di dalam sebuah masjid.
"Membaca dan menulis menjadi terapi bagi mereka pasca konflik. Ketika terjadi proses menulis, tidak ada agama yang berbicara. Narasi ini akan dikumpulkan bersama-sama dan pastinya membangun narasi yang berbeda, dalam konteks Poso saat ini," katanya.
Saat ini, Lian bersama ibu-ibu Poso tengah menggarap sebuah proyek literasi atau buku tentang cerita-cerita yang tidak pernah muncul di media massa arus utama. Tentang sejarah desanya, apa yang terjadi pasca konflik, resep masakan, serta bagaimana perkembangan Poso masa kini.
"Narasi Poso sekarang diharapkan akan menyeimbangkan pemberitaan di masa lampau dan membuat Poso cukup dipercaya lagi oleh publik," pungkas Lian.
(tia/wes)