Dengan memakai atasan kebaya berwarna merah dan kain batik bertumpal, Happy masih membacakan dialog dalam surat tersebut. Hingga tiga adegan di antara pembacaan pentas bertajuk 'Aku Adalah Perempuan (Monolog Para Perempuan)'.
Saat itu, ia menjadi karakter 'Kartini' dan menginterpretasikan sesuai versinya. 'Surat-Surat Kartini kepada Stella Hollander' dipilih Happy sebagai perwakilan dari pemikiran feminisme dan nasionalisme kaum wanita di era tersebut. Stella merupakan sahabat pena Kartini di Belanda dan saling berkirim surat antara periode 1899-1903.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Happy menjelaskan alasan pemilihan surat Kartini yang dibacakannya dan dipentaskan secara monolog olehnya kemarin. "Saya rasa surat-surat Kartini ini punya pemikiran yang melampaui batas dan relevansinya sangat kuat. Diambil kontekstualnya pun masih nyambung di masa sekarang," katanya usai pementasan.
Menurutnya, Kartini adalah simbol penolakan penjajahan Hindia Belanda, dan adat Jawa yang mengekangnya. "Kutipan-kutipan di Surat Kartini ini begitu menarik untuk ditelaah," jelasnya.
Karakter monolog 'Kartini' yang dibawakan Happy juga ingin memperlihatkan pemikiran sosok wanita. Serta dikolaborasikan dengan kisah ketujuh perempuan lainnya di atas panggung.
Para perempuan dalam pertunjukkan tersebut memperlihatkan bagaimana kisah mereka di antara kaum pria, kultur, agama, dan ruang publik.
"Apa yang ada di pikiran Kartini saat itu melampaui batas zaman dan ternyata pemikiran Kartini tetap ada," jelas sutradara film pendek 'Kamis ke 300'.
Debut monolog pertama Happy di panggung teater dimulai dari 'Nyai Ontosoroh' pada 2007 lalu. Kemudian 'Ronggeng Dukuh Paruk' tahun 2009 di Amsterdam, Bern Swiss dan Taman Ismail Marzuki. Pada 2011, ia juga mementaskan monolog 'Inggit' dan 'Roro Mendut'. Monolog Inggit sudah dipentaskan beberapa kali hingga tahun lalu.
(tia/utw)