Seto Mulyadi Sebelum Jadi Kakak, Menggembel dan Pembantu Rumah Tangga

Hot Questions

Seto Mulyadi Sebelum Jadi Kakak, Menggembel dan Pembantu Rumah Tangga

M. Iqbal Fazarullah Harahap - detikHot
Kamis, 22 Sep 2022 11:16 WIB
Jakarta -

Setiap orang punya cerita yang menjadi perjalanan dan jembatan menuju versi dirinya yang lebih baik di kemudian hari. Seto Mulyadi juga punya cerita tersebut, sebelum dirinya ditasbihkan sebagai Kak Seto, sang psikolog dan pemerhati anak-anak Indonesia lebih dari 50 tahun terakhir.

Seto kecil lahir di Klaten, Jawa Tengah, memiliki saudara kembar bernama Tresno. Salah satu perbedaan paling signifikan antara keduanya, adalah warna kulit.

"Kalau dalam bahasa Jawa, kan Seto itu putih, Kresno itu hitam. Nama itu diberikan sama dokter yang bantu melahirkan karena dia nggak nyangka bakal kembar. Ya sudah, karena agak putih, saya dinamai Seto, yang satu lagi Tresno. Namanya hanya empat huruf itu aja, kemudian ditambahakan nama bapak saya, Mulyadi, jadi Seto Mulyadi," papar Kak Seto saat berbincang dengan detikHOT di rumahnya, di Kawasan Cirendeu, Jakarta Selatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kak Seto mengklaim dia melewat masa kecil yang indah dan membahagiakan. Kenakalan khas anak-anak dan keistimewaan sebagai anak kembar dilewati dengan sukacita. Ayahnya seorang direktur di perusahaan perkebunan milik negara bidang tembakau. Kakeknya, mendapatkan penghargaan oleh Bung Karno, Presiden Indonesia saat itu.

Kak SetoKak Seto Foto: Andhika Prasetia/detikHOT

"Eyang dapat penghargaan sebagai penemu bibit unggul. Jadi saya ketemu Bung Karno umur 7 tahun. Jadi, dari seluruh presiden Indonesia yang pernah ada, yang nggak panggil 'kak' cuma Bung Karno doang, karena waktu itu saya masih kecil," kenang pria kelahiran Agustus 1951 itu sembari tertawa.

ADVERTISEMENT

Sayangnya, masa kanak-kanak yang indah itu diambil alih saat orangtuanya meninggal dunia dan perekonomian keluarga mereka merosot jauh. Seto dan Tresno dititipkan kepada keluarga di Surabaya untuk melanjutkan pendidikan.

"Kemudian sejak orangtua wafat, ekonomi jatuh, akhirnya pindah ke Surabaya. Tinggal dengan tante. Masa remaja saya di Surabaya seperti gelandangan, waktu itu sekolah saya di Surabaya termasuk jadi salah satu sekolah katolik terbaik di Indonesia. Bayarnya kira-kira yang lain Rp800, saya dan kembaran saya bisa dapat di Rp100 karena kami bilang kami tidak mampu. Masih ingat betul, waktu itu cuma dua orang yang diizinkan pakai celana pendek karena nggak mampu beli celana panjang."

Lulus SMA, Seto mengadu nasib ke Ibukota, Jakarta. Sama seperti semua orang, Jakarta adalah hutan beton tempat banyak orang menggantungkan mimpi. Lika-liku kehidupan sebagai perantau yang tidak memiliki uang adalah fase hidupnya di awal tahun 70 itu.

Kak SetoKak Seto Foto: Andhika Prasetia/detikHOT

"Saya kan anak kembar, dan anak kembar selalu berkompetisi. Dulu saya SMA jadi ketua kelas akhirnya supaya dia bisa jadi ketua kelas, dia pindah kelas. Kelas 2 saya terpilih jadi ketua OSIS, kalau pindah sekolah ribet, jadi kita kompak, saya jadi ketua terus dia sekertaris. Setelah itu dari dulu selalu cita-cita jadi militer, polisi atau dokter. Kita nggak bisa daftar militer atau polisi karena pakai kacamata, jadi pilih dokter."

"Ujian masuk Fakultas Kedokteran UNAIR dia diterima, saya nggak. Saya down sekali, akhirnya coba ke UGM, UNDIP dan UI, semuanya gagal. Putus asa karena saya malu, saya minggat ke Jakarta. Namanya nggak punya saudara jadi deh tujuh bulan ngerasain jadi gelandangan.

"Tinggal di Blok M, sempat tidur di tempat sampah. Sempat dikasih pisau sama preman dan gembel untuk beraksi, tapi saya pikir nggak deh. Waktu menggelandang saya nyambi bantu-batu cuci piring di warung makan, saya jadi office boy juga. Kemudian saya tanya-tanya di sekitaran Blok M ini ada nggak ibu-ibu yang butuh pembantu rumah tangga. Ternyata ada, di daerah Kebayoran, ditanya kamu bisa apa? Saya jawab, bisa semua; nyapu, ngepel, cuci baju. Terakhir ditanya bisa momong anak nggak. Saya jawab, bisa. ibu ini punya anak penyandang disabilitas, dia mengidap polio. Jadi, kemana-mana harus digendong."

Seto Mulyadi menjadi Kak Seto usai pertemuannya dengan Bu Kasur pada 1970. Menurut ingatan pria 71 tahun itu, Di Taman Situ Lembang, Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, 4 April 1970, jam 16.00 WIB, Kak Seto resmi lahir diiringi tepuk tangan ibu-ibu yang menemani anaknya belajar dan bermain dengan Bu Kasur. Sejak saat itu sampai 1975, Kak Seto dan Bu Kasur kemudian menjelma menjadi sosok yang mungkin saja paling diidolakan anak-anak saat itu.

Menyambi kuliah di Jurusan Psikologi UI mulai dari 1972, pada 1975, Kak Seto kemudian mendirikan tempat bermain anak-anak di Taman Ria Senayan bernama Istana Taman Kanak-kanak.

Kak SetoKak Seto Foto: Andhika Prasetia/detikHOT

"Kalo Bu Kasur membuat Kebun Anak-anak, saya bikin Istana Taman Kanak-kanak Karena saya anggap anak-anak seperti ratu dan raja. Saya bangun istana supaya anak-anak bisa berkreasi, bergembira dan tidak penuh tekanan. Salah satu murid saya waktu itu ketika ketemu saat dewasa terjadi beliau jadi istri kepala BKKBN," ceritanya.

"Saat saya kuliah itu saya masih jadi pembantu rumah tangga. Sampai di rumah ada surat dari TVRI diminta jadi pengasuh Aneka Ria Taman Kanak-kanak yang kemudian populer sama Kak Henny Purwonegoro," sambungnya lagi.

Kak SetoKak Seto Foto: Andhika Prasetia/detikHOT

Memasuki era baru di tahun 90, Kak Seto diminta untuk mengisi program miliknya sendiri di stasiun televisi TPI. Di situ lah, dia mendongengkan Si Komo yang populer sampai hari ini.

Setelah Kak Seto lahir secara resmi, the rest is history. Dirinya dikenal baik sebagai psikolog anak, pemilik sekolah, pemilik Yayasan Mutiara Indonesia, Yayasan Nakula Sadewa, Ketua Umum Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dan banyak penghargaan lainnya. Namanya bahkan terus dikenal sampai hari ini jika bicara soal kejadian-kejadian yang melukai anak Indonesia.


Hide Ads