Mari kita simak langsung penuturan Nadine yang dituangkan dalam blog pribadinya!
Apa yang membuat Kota Fakfak, Papua Barat begitu spesial? Dari namanya, memang sangat unik dan berani, lalu seperti apa Fakfak itu?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tampak dari atas pesawat awan putih, langit biru muda, daratan hijau dibingkai pasir putih, dan laut degradasi biru tua. Dengan langkah panjang, 3 petualang ACI detikcom langsung berpose di sekitar papan
'Bandar Udara Torea Fakfak'. Semua lupa kalau matahari sangat terik.
Wouuu, pukul 12 teng! Bagasi sudah datang, waktunya mencari mobil sewaan. Memang tarif Indonesia bagian timur rata-rata cukup mahal. Setelah terjadi tawar-menawar, akhirnya Rp 100 ribu per jam. Kita belum
tahu akan menginap di mana.
Sambil mencari tempat, driver Ibons sekaligus tourguide lokal bercerita, baru-baru ini ada putri duyung terdampar di Tomega. Menarik sekali, tapi sulit untuk dipercaya. Tapi Akhirnya Si Ibons memamerkan hasil rekaman dari handphone merahnya dan dengan lantang, "Aku bluetooth yah… Boleh… Boleh…!"
'Kokas Mini Hotel' menjadi pilihan ketiga kita. Ada 2 tipe kamar, dengan kipas angin 125 ribu dan dengan AC 165 ribu. Lumayan nyaman dan bersih, AC-nya pun cukup dingin. Pemandangan sejuk Kota Fakfak terlihat jelas dari balkon panjang pinggir hotel.
Tapi ada sedikit yang mengganggu, seketika terhenti mataku pada satu arah. Pembangunan dermaga besar di tepi pantai kota. Debu berterbangan saat truk bolak-balik mengambil pasir. Terlintas pertanyaan di benakku, "Akankah hilang kemurnian kota Fakfak ini demi pembangunan senderan kapal ini?"
Sejujurnya, saya sangat suka akan tata kota Fakfak. Mudah-mudahkan bisa dipertahankan dan dikembangkan.
Jam 14.00, perut seperti lonceng yang berdenting. Dengan Rp 100 ribu untuk 5 orang, warteg terenak di dekat hotel membuat kita makan selahap-lahapnya. Sambil menunggu teman selesai makan, terpotret di
kameraku segerombolan anak SMA seragam hijau putih menggoda teman perempuannya untuk pulang bersama. Aku tertawa dalam hati melihat momen itu. Teringat zaman SMP, gerak-gerik seperti itu akualami juga.
Setelah kenyang melahap masakan warteg, objek wisata pertama yang kami kunjungi adalah air terjun Maredred. Jiwa bertualang dimulai, antusias dan penasaran terlihat dari cerewetnya kita. Stop! Di tengah perjalanan yang sudah 1 jam, ada warga setempat sedang asyik membuat kole-kole (kata lain dari sampan panjang). Memberitahukan bahwa sedang ada pelebaran jalan, sehingga sementara ditutup. Bisa saja
ke air terjun tersebut, dengan jalan kaki plus menginap di hutan hanya butuh 2 hari. Ya ampun, tidak mungkinlah.
Okay, mari kita lanjut ke tujuan selanjutnya.
Tiga pantai pasir putih, menjadi unik ketika kebebasan tersorot dari kegembiraan anak Papua yang sedang bermain pantai dan berlarian di antara buah pala yang sedang dijemur. Terlebih lagi, antusias tinggi
mengajak kita melihat ular di antara tumpukan batu yang berlapis. Tim Papua Baratku, Riri dan Dadang tidak ada hentinya mengganggu mereka dengan menyuruh bergaya genit di depan kamera.
Letih sudah, saya mau duduk. Tapi kata ayah, harus bayar Rp 20 ribu per-orang untuk bisa berteduh duduk di bangku santai. Hahaha…alhasil, duduk di pasir saja ah!
Perjalanan ini memang menyenangkan ketika keceriaan kita bagi bersama. Menjadi lebih berarti, melewati pengalaman tak terduga datang. Nikmatilah perbedaan di dunia....
(ebi/mmu)