Jakarta -
Sastrawan yang juga dikenal sebagai wartawan, Akhmad Sekhu masih terus melanjutkan kariernya dalam menulis karya sastra. Ia telah melahirkan beberapa karya, mulai dari cerpen hingga puisi, yang dimuat di berbagai media massa. Beberapa cerpen yang dihasilkannya, antara lain Lelaki Jempolan, Sujud Terlama di Dunia, Kotokowok, Teror Dodol, Sedekat Mei Juni, dan lain-lain.
"Saya serius nulis karya sastra sejak tahun 1994 saat mulai kuliah di Yogyakarta jadi sudah sekitar 28 tahun, " kata Akhmad Sekhu dalam keterangan tertulis, Rabu (11/05/2022).
Lebih lanjut, lelaki kelahiran Tegal, 27 Mei 1971 ini menerangkan genre karya sastranya, yaitu puisi, cerpen, hingga novel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada mulanya saya menulis puisi, setelah itu esai, cerpen, dan novel," imbuh Sekhu.
Sekhu sudah menganggap dunia sastra sebagai hal yang mendarah daging dalam hidupnya. Hal tersebut dibuktikan dengan pemilihan nama yang diberikan untuk kedua anaknya, yaitu Fahri Puitisandi Arsyi, dan Gibran Noveliandra Syahbana. Kedua anak hasil pernikahannya dengan Wanti Asmariyani mengandung unsur sastra yang kuat.
Menurut Sekhu, puisi merupakan karya sastra yang menjadi keistimewaan tersendiri. Lewat puisi, ia bisa bertemu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Bahkan, buku puisi keduanya yang berjudul Cakrawala Menjelang mendapat kata sambutan khusus dari orang nomor satu di Jogja tersebut.
"Karena puisi, saya bisa bertemu dengan orang nomer satu di Jogja, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang secara khusus mengundang saya untuk bicara empat mata. Sebuah kehormatan bagi saya mendapat sambutan khusus dari beliau," ungkapnya mantap.
"Jika kita baca puisinya, terasakan betapa sarat akan teks ilahi dan tekstur alami. Mungkin berakar dari desa kelahirannya di Jatibogor, Suradadi, Tegal-yang dipenuhi oleh budaya pesisiran yang islami. Sebagai penyair, Akhmad Sekhu adalah seorang otodidak, jika dilihat dari latar pendidikannya," demikian kutipan kata sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam buku berjudul Cakrawala Menjelang milik Sekhu.
Tidak hanya Sri Sultan Hamengku Buwono X, buku puisi pertama Sekhu yang berjudul Penyeberangan ke Masa Depan juga diberi kata pengantar oleh Piek Adijanto Soeprijadi, seorang Guru SMA Negeri 1 Tegal yang juga termasuk tokoh sastrawan Angkatan 66.
Sekhu menyampaikan ia sedang mempersiapkan buku puisi ketiganya yang berjudul Memo Kemanusiaan yang mendapat sambutan dari berbagai kalangan. Sambutan itu datang dari wartawan dan budayawan Bens Leo (alm), artis Cinta Laura Kiehl, dan artis senior Titiek Puspa.
"Perihal Memo Kemanusiaan karya Bro Akhmad Sekhu. Salah satu karakter kuat buku karya jurnalis, apa saja bentuknya. Biografi orang lain, biografi personal, esai, atau kumpulan puisi, atau novel sekalipun, selalu terlihat ada jejak jurnalisme. Juga karya Bro Akhmad Sekhu, jurnalis yang aktif menulis buku," tulis Bens Leo (alm).
"Setelah membaca puisi dalam buku Memo Kemanusiaan karya Akhmad Sekhu ini, aku jadi mengerti lebih dalam mengenai dunia seni yang tidak hanya melulu hingar bingar musik, lagu dan tari tarian yang indah, akan tetapi ada juga puisi yang isinya sangat bermakna dan langsung menusuk dada. Sungguh indah puisi-puisi di buku ini, juga penuh arti dan sangat mendidik," tulis Cinta Laura Kiehl.
"Saya mengapresiasi dan menyambut baik, penerbitan buku Memo Kemanusiaan karya Akhmad Sekhu ini. Banyak sekali tema di dalamnya, mulai tema Pandemi Covid-19 mengenai tenaga kesehatan sang pejuang kemanusiaan, hikmah dari pandemi, kita harus selalu cuci tangan, berjemur, hingga kita harus vaksin, sampai puisi menyinggung korupsi di tengah bansos pandemi yang sangat memilukan, kok tega sekali korupsi di tengah penderitaan masyarakat. Kemudian, tentang situasi negeri yang masih terbelah, juga masih derasnya urbanisasi, dunia perfilman, puisi-puisi religi tentang Ramadhan, puisi-puisi hujan, ibu, pernikahan, hingga tentang keluarga. Teruslah semangat berkarya! Tetaplah menulis puisi penuh dengan kejujuran dan ketulusan. Bangunlah kesadaran, ingatkan manusia yang lupa pada kemanusiaannya," imbuh Titiek Puspa.
Puisi-puisi karya Akhmad Sekhu
1. Sajak Selebritas
Inilah dia yang selalu bergaya di depan kamera
Sedikit terbuka yang orang suka di antara debat hujat
dan gegap puja dengan persepsi liar menelanjangi
Yang akan selalu menjurus ke arah kontroversi
Seperti tidak ada cap lain, selain hanya penuh sensasi
Padahal dia hanya sekedar jalani profesi secara profesional
Serta tanggung jawab sesuai dengan perjanjian kontrak
Sama seperti pekerjaan-pekerjaan lain untuk mengganjal perut
Meski yang dilakukannya bersentuhan dengan perasaan
Betapa dia tetap berprinsip memegang konsekuensi
Inilah dia yang sudah pasrah apa adanya dengan dada terbelah
Penghayatan total sebuah peran di antara decak kagum
Dan desah mesum dengan fantasi tinggi mengembara
Yang selalu tepat menuju ke arah bernama nafsu syahwat
Seperti tidak ada kata lain, selain hanya sungguh seksi
Menteng, Jakarta Pusat, 2020
2. Paradoks Peran
Kau melakukan serangkaian adegan
Yang sebenarnya itu bukan dirimu.
"Ini demi peran, " bisikmu pelan
Begitu tenang tapi pasti kau lucuti
Keraguan seperti tanggalkan pakaian
Banyak penggemar bergetar menunggumu
Dengan sangat sabar di balik gemerlap layar
Perasaan tak karuan, betapa mereka benar-benar
Ingin tahu lika-liku hidupmu. Juga lekak-lekuk
Tubuhmu, bahkan keseluruhan dirimu utuh
Sutradara tampak hanya tahu sebatas adegan
Karena hanya ingin shooting cepat diselesaikan
Sedangkan wajah produser selalu saja was-was
Kalau jalannya shooting tak sesuai dengan jadwal
Deretan angka rupiah akan semakin membengkak
Lawan main sebenarnya sangat grogi menghadapimu
Diam-diam berharap dapatkan cintamu di lokasi shooting
Tapi ada yang begitu sangat dekat dengan dirimu
Dalam keutuhan dirimu penuh, lahir maupun batin
Hati nuranimu sendiri yang sangat setia menjagamu
Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, 2020
3. Pelajaran untuk Selalu Cuci Tangan
Tak biasanya kita selalu cuci tangan, apalagi malam hari
Tapi ini harus kita lakukan demi untuk memerangi corona
Virus yang super lembut itu tak bisa kita hadapi terang-terangan
Tubuh bersihlah yang mampu membuat corona luluh melemah
Corona membuat kita sesama saudara saling curiga, bahkan perang
Urat syaraf yang membuat tensi kita naik tinggi hingga kram otak
Antar kita juga dipaksa harus jaga jarak, meski kita sudah akrab
Bahkan kita harus selalu pakai masker, sampai kita jadi susah nafas
Tak ada lagi udara bersih, yang ada kematian mengancam diam-diam
Masa darurat ditetapkan, seluruh warga dunia tak berdaya apa-apa
Sungguh semua aktifitas dibuat lumpuh tak ada yang bisa dilakukan
Tak biasanya kita selalu cuci tangan, apalagi malam hari
Sudah tak bisa dibiarkan kematian makin mengancam diam-diam
Jalan satu-satunya kita memang harus melawan corona
Dengan kita selalu membersihkan diri dari kotoran hakiki
Tempat ibadah kini sudah tak lagi jadi tempat doa-doa dipanjatkan
Pusat keramaian ditutup, berbagai kegiatan ditiadakan, sekolah diliburkan
Semua orang harus mau mengurung diri dipaksa untuk betah di rumah
Betapa kita semua dibuat begitu sangat ketar-ketir penuh kekhawatiran
Tak ada lagi kenyamanan, kematian benar-benar mengancam diam-diam
Mari kita seluruh warga dunia untuk selalu cuci tangan setiap waktu
Saatnya bersatu membersihkan diri kita untuk bersama melawan corona
Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, 20 Maret 2020
Akhmad Sekhu banyak berkarya sastra, antara lain buku puisi tunggalnya Penyeberangan ke Masa Depan (1997), Cakrawala Menjelang (2000), Memo Kemanusiaan (manuskrip). Selain itu, ada pula novelnya, antara lain Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), Pocinta (2021). Sekhu juga menyiapkan kumpulan cerpen siap terbit berjudul Semangat Orang-Orang Jempolan.
Adapun, puisi, cerpen, dan artikelnya dimuat di banyak buku antologi bersama, di antaranya Cerita dari Hutan Bakau (1994), Serayu (1995), Fasisme (1996), Mangkubumen (1996), Zamrud Khatulistiwa (1997), Tamansari (1998), Jentera Terkasa (1998), Gendewa (1999), Embun Tajalli (2000), Jakarta dalam Puisi Mutakhir (2001), Nyanyian Integrasi Bangsa (2001), Malam Bulan (2002), Nuansa Tatawarna Batin (2002), Aceh dalam Puisi (2003), Bisikan Kata Teriakan Kota (2003), Maha Duka Aceh (2005), Bumi Ini adalah Kita Jua (2005).
Komunitas Sastra Indonesia: Sebuah Perjalanan (2008), Antologi Seratus Puisi Bangkitlah Raga Negeriku! Bangkitlah Jiwa Bangsaku! (Seratus Tahun Budi Utomo 1908-2008, diterbitkan Departemen Komunikasi dan Informatika RI, 2008), Murai dan Orang Gila (2010), Antologi Puisi dan Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit (2010), Kabupaten Tegal; Mimpi, Perspektif, dan Harapan (2010), Antologi Puisi Penulis Lepas (2011), Negeri Cincin Api (2011), Equator (antologi 3 bahasa; Indonesia, Inggris, Jerman, setebal 1230 halaman, 2011), Antologi Puisi Religi "Kosong = Ada" (2012), Ensiklopedi Gubernur Jakarta: dari Masa ke Masa (2012), Buku cerita anak-anak "Hantu Siul dan 14 Cerita Keren Lainnya" (2014), Memo untuk Presiden (2014),
Puisi Menolak Korupsi 4: Ensiklopegila Koruptor (2015), Antologi Puisi 'Syair Persahabatan Dua Bangsa' 100 Penyair Indonesia-Malaysia (2015), Membaca Kartini: Memaknai Emansipasi dan Kesetaraan Gender (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak (2016), Ziarah Sunyi (2017), Hikayat Secangkir Robusta (2017), Buku Antologi Puisi Kemanusiaan dan Anti Kekerasan "Jejak Air Mata: Dari Sittwe ke Kuala Langsa" (2017), Kumpulan Puisi Wartawan Indonesia "Pesona Ranah Bundo" (2018) memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2018, Dari Negeri Poci 9: Pesisiran.(2019), Merenda Kata, Mendulang Makna; Proses Kreatif Sastrawan Jawa Tengah (2019), Pandemi Puisi (2020), Peradaban Baru Corona: 99 Puisi Wartawan-Penyair Indonesia (2020). Dari Negeri Poci 10: Rantau (2020), Kartini Menurut Saya (2021), Corona Pasti Berlalu; Mencatat Covid-19: Tragedi, dan Harapan Setelah Itu (2021), Antologi Puisi 114 Penyair Indonesia "Kebaya Bordir untuk Umayah" (2021), Dari Negeri Poci 11: Khatulistiwa (2021), Antologi Puisi 115 Penyair Indonesia "Seribu Tahun Lagi" (2021), Antologi Puisi Penyair Nusantara "Jakarta dan Betawi" (2021), Puisi Menolak Korupsi 8; "Korupsi di Korona" (94 Penyair Indonesia) (2021), Para Penyintas Makna (2021), Lima Titik Nol; Masyarakat Cerdas dalam Puisi (2022).
Catatan tentang kesastrawanannya masuk dalam Bibliografi Sastra Indonesia (2000), Leksikon Susastra Indonesia (2001), Buku Pintar Sastra Indonesia (2001), Leksikon Sastra Jakarta (2003), Ensiklopedi Sastra Indonesia (2004), Gerbong Sastrawan Tegal (2010), Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017), dan lain-lain.