Penulis Perempuan Indonesia di Panggung Sastra Dunia

Penulis Perempuan Indonesia di Panggung Sastra Dunia

Tia Agnes - detikHot
Kamis, 17 Jan 2019 18:50 WIB
Foto: (Tia Agnes Astuti/detikHOT)
Jakarta - Kesuksesan Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015 membuat sastra Tanah Air makin populer. Termasuk para penulis perempuan yang dikenal di panggung dunia.

Novel terjemahan bahasa Inggris 'Nayla' karya Djenar Maesa Ayu baru saja diluncurkan Oktober 2018 di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Sedangkan buku kumpulan cerpen 'Larutan Senja' yang diterjemahkan menjadi judul 'Potion of Twilight' lahir sebulan sebelum 'Nayla' di SOAS University of London pada 25 September 2018.

Dua penulis perempuan ini salah satu contoh yang karyanya mampu menyapa pembaca global. Karya sastra perempuan Indonesia pun sudah diterima oleh pembaca internasional karena sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penerjemahan ke bahasa Inggris adalah salah satu cara untuk mengenalkan penulis Indonesia. "Penerjemahan ke bahasa Inggris adalah satu-satunya cara untuk membuka pasar internasional," ujar Foreign Rights Manager Gramedia International, Wedha Stratesti Yudha usai diskusi 'Woman in Translation' di Kinokuniya Plaza Senayan, Kamis (17/1/2018).

Dia menambah, "Untuk berharap pembaca luar negeri sampai mereviewnya, mereka harus mengerti isinya. Kalau dengan bahasa Indonesia saja akan menjadi hambatan."

Selain dari sisi penerjemahan ke bahasa Inggris, cara lainnya untuk mempopulerkan penulis Indonesia adalah hadir di berbagai event pameran buku bergengsi taraf internasional.

"Tentu hadir di book fair membantu banget, sangat. Kalau nggak hadir nggak punya kesempatan bertemu pembeli rights. Kalau sudah bertemu dan paham wajahnya kan kayaknya mereka bisa berminat untuk membeli. Sebelumnya kita membuat katalog, flyer, dan memang mengajak penerbit luar ketemu itu gampang-gampang sulit," jelas Wedha.

Gramedia Pustaka Utama (GPU) dan Gramedia International hari ini menggelar diskusi 'Woman in Translation' serta menghadirkan dua penulis perempuan yang sudah dikenal di tingkat internasional. Menurut Wedha, karya-karya yang dihadirkan dua penulis ini terbilang 'seksi' hingga menarik minat pembaca global.

Ratih Kumala menceritakan pengalamannya saat peluncuran versi bahasa Inggris kumcer 'Larutan Senja' di London dan Leiden tahun lalu. Saat itu, ia pun harus menjelaskan tentang Indonesia khususnya sastra.

"Apalagi pembaca Inggris yang memiliki pengetahuan minim tentang sastra Indonesia, ketika saya ke sana membicarakan soal Indonesia secara general, saya juga memperkenalkan kalau Indonesia akan menjadi guest of honour di London Book Fair 2019, baru masuk ke buku saya," ujarnya.

'Larutan Senja', lanjut Ratih, isu yang ditulisnya terbilang masa-masa ia mengalami feminis radikal. "Salah satu cerpen 'Larutan Senja' itu sendiri saya menanalogikan dunia ini ada banyak penemu yang kecil. Tokoh aku adalah perempuan sebagai penemu kecil selalu dikalahkan oleh laki-laki," kata penulis 'Gadis Kretek'.

Djenar Maesa Ayu yang menerbitkan 'Nayla' 2005 lalu menuturkan tema perempuan yang dituliskannya merupakan sebuah keharusan untuk ditulis. "Saya bukan tertarik dengan isu perempuan tapi harus tertarik. Saya ibu dan juga eyang putri. Sejak kecil saya bukan orang yang senang bicara lisan, tapi lebih banyak tulis surat ke mereka karena itulah saya menganggap menulis adalah sebuah kepentingan," ucap penulis 'Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)'.

Dua buku karya Djenar dan Ratih di ajang London Book Fair 2019 juga akan menjadi fokus perhatian untuk dipromosikan oleh penerbit GPU. Menurut data Komite Buku Nasional (KBN) buku-buku genre fiksi menduduki 28,3 % di total penjualan hak cipta terjemahan buku karya penulis Indonesia di dunia.

Diikuti oleh 32,1 % buku anak, 13 % buku keagamaan, 10 % buku nonfiksi, 3 % buku puisi, dan 2,8 % buku komik.

(tia/dal)

Hide Ads