Sejak tahun 2010, Stefano blusukan-blusukan ke kampung untuk memotret realitas yang ada di Indonesia. Jepretan humanis yang dihasilkannya bukan tanpa sebab.
"Saya selalu memotret apa yang saya suka. Saya suka melihat foto lanskap tapi tidak suka mengambil fotonya. Kalau humanity jelas saya suka cerita. Satu foto menceritakan banyak kisah di belakangnya," ujar Stefano di sesi talkshow 'Humanity and Photography' yang digelar Penerbit Mizan di Millenia Book Store, Jalan Cirendeu Raya Nomor 20, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Kamis (4/1/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Hampir 10 tahun saya memilih fotografi dan genre fotografi potrait dan humanity. Saya merasa sudah sangat dekat dengan orang Indonesia khususnya orang kampung. Kalau saya potret dan mereka tidak mau, menolaknya dengan ramah dan pakai senyuman," ujar Stefano bercerita.
Dia pun tidak marah kalau ada yang memanggilnya sebagai orang kampung. "Itu nggak masalah. Jiwa Indonesia itu bukan di bangunan tingkat berkantor atau rusun-rusun. Jiwa Indonesia ya di kampung."
Saat sesi talkshow, dia menjelaskan 12 foto kepada para pembacanya. Ke-12 hasil jepretan itu sebagian besar dipotretnya di Jakarta. Contohnya saat dia akan naik commuter line ketika berada di Stasiun Lenteng Agung.
"Pas baru masuk, saya lihat kok ada bapak yang lagi gendong anaknya. Jujur saya jarang melihat bapak dan anak, seringnya ibu-anak atau tentang anak-anak. Bentar-bentar dia cium anaknya, lalu tertawa. Lucu sekali, langsung saya potret," kenangnya.
Berbeda lagi dengan jepretan seorang anak perempuan berkerudung yang memakai seragam sekolah. Cerita Stefano anak tersebut tuna wicara dan lebih pendiam ketimbang anak lainnya di dalam kelas.
"Yang lainnya kan heboh ketemu bule dan senang dipotret. Ini kok diam saja, saya dekati, dia masih diam. Dekati lagi lalu kami menggambar bareng, kami berebut pensil warna. Baru saya berhasil memotretnya," tutup Stefano.
Buku fotografi 'Kampungku Indonesia' tersedia di toko buku dengan harga Rp 199 ribu.
(tia/srs)