Baru-baru ini Eka Kurniawan diumumkan sebagai pemenang dari penghargaan 'FT/OppenheimerFunds Emerging Voices' kategori fiksi serta mengalahkan dua penulis Tiongkok lainnya yang masuk dalam daftar pendek atau shorlist pada Agustus lalu. Penganugerahaan baru saja diumumkan di gedung perpustakaan publik di New York, pada 26 September, waktu setempat.
Karya Eka dianggap mampu menyuarkan suara-suara kreatif di panggung global. Lewat 'Man Tiger' atau 'Lelaki Harimau', Eka meraih penghargaannya. Dia pun mengalahkan rivalnya penulis asal Tiongkok, Yua Hua, dengan novel 'The Seventh Day' (Pantheon Books). Serta Yan lianke dengan judul buku 'The Four Books' (Chatt & Windus).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditemui belum lama ini, Eka tidak tahu jika karya-karyanya menjadi mendunia dan diterjemahkan ke puluhan bahasa. Namun kalau ditanya siapa sosok yang berperan dalam karier kepenulisannya, maka dia adalah Benedict Anderson (alm).
"Saya mulai bertemu dengan Ben tahun 2008. Sebenarnya sejak larangan Ben masuk ke Indonesia-nya dihapus dari 1999, dia sering ke Indonesia setiap tahun tapi saya baru ketemu di tahun itu pas salah satu asistennya di Cornell meng-email saya," ujarnya.
Saat itu, Ben menyarankan Eka untuk segera menerjemahkan novelnya ke dalam bahasa lainnya. Minimal, bahasa Inggris dan Prancis.
"Setelah pertemuan pertama, saran itu begitu saja menguap. Saya juga hidup seperti biasanya. Sampai akhirnya Verso Books ingin menterjemahkan buku saya," ujarnya.
Dari situ, pintu penerjemahan karya-karyanya terbuka lebar hingga mengantarkan 'Cantik itu Luka', novel pertamanya, ke dalam 25 bahasa. Disusul kemudian, 'Lelaki Harimau' ke dalam bahasa Inggris, Italia, Korea, Jerman, dan Prancis. Nama Eka pun masuk dalam jajaran sastrawan dunia.
Di tahun 2015, Jurnal Foreign Policy menobatkannya sebagai salah satu dari 100 pemikir paling berpengaruh di dunia, karena berhasil menegaskan posisi Indonesia di peta kesusastraan global. (tia/dar)