"Di puisi Tak Ada New York, bercerita relasi dunia ketiga dan dunia pertama, terang sekali. Makanya judulnya Tak Ada New York Hari Ini kayak meniadakan pusat dunia," kata Aan.
Berikut wawancara Andi Saputra dengan Aan Mansyur di sela-sela Frankfurt Book Fair (FBF) 2016 yang digelar di Frankfurt Messe, Jerman pada 17-22 Oktober 2016:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sering kali orang luar membaca sastra Indonesia sangat sempit, padahal di Indonesia sangat variatif sangat beragam. Misalnya saya yang di Makassar yang budayanya sangat beragam. Cara apa yang mau dikatakan juga sangat berbeda, persoalan yang saya hadapi mungkin ada yang dihadapi Eka Kurniawan (penulis novel 'Lelaki Harimau') tapi ada hal yang sangat unik yang tentu saja sangat khas di kota saya tinggal, budaya saya. Budaya yang sangat feodal, maskulin, itu berbeda dengan apa yang bahasa yang saya gunakan, cara bertutur yang saya pllih.
Misalnya saya memilih dalam bahasa yang seperti ini, karena saya berada di budaya yang stereotip, yang sangat laki-laki. Saya memilih cara-cara itu, sekaligus menolak narasi tunggal yang menimbulkan sterotip yang sangat berbahaya, kita yang tinggal di budaya tahu dan menerima itu, seolah-olah kita seperti itu.
Sastra harusnya berkolaborasi dengan yang lain?
Ya, saya sendiri sangat menyadari anak muda yang saya lihat di tempatku, ada masa ketika saya memasuki penulisan sastra ini apa yang saya lakukan ini sebagai pilihan yang aneh, dianggap sebagai pilihan orang tua, pilihan orang tertentu. Tapi menurutku itu penting tetap dilakukan.
Makanya harus mempunyai strategi-strategi. Buku-buku saya akan selalu berkolaborasi. Persoalannya kita mudah terkotak-kotak.
Persoalannya bukan tidak punya sesuatu, tetapi tidak punya ide melakukan hal kecil bersama-sama, sebetulnya sastra menjadi ruang untuk bekerja bersama-sama. Itu contoh kecil yang bisa saya lakukan.
Kedua, karena puisi adalah sesuatu yang tidak dirayakan seperti novel, anak muda lebih suka nonton film, maka perlu memperluas audiensi puisi. Makanya saat ditawari Mira Lesmana, maka ini tempat saya untuk memperluas audiensi puisi. Mereka melihat kekuatan fim itu adalah puisi maka akan dicari puisi itu.
Dan buku saya misalnya, memang ini bisa menjadi semacam pintu baru mencari puisi-puisi baru di Indonesia. Banyak puisi lama yang dicetak ulang. Sapardji. Tukul, Subagyo.
Sekarang oprang melihat tiba-tiba ada sterorip yang berubah, seorang guru berpikir saya setua Sapardji.
Orang muda jadi tidak menyukai. Bagi saya, orang-orang seperti saya mengusahakan puisi sebagai jalan untuk memperluas audiens.
Di daerah tumbuh semangat primordialisme berlebihan,itu sangat berbahaya. Makanya saya bekerja dengan visual artis di Jakarta. Anak muda tidak perlu lagi membawa semangat primordialisme.
Puisi Anda terlalu gelap dan orang putus asa?
Itu tidak benar-benar, kemarin saya membuat buku puisi tentang keresahan orang-orang kota di mana dunia tinggal.
Di puisi 'Tak Ada New York', bercerita relasi dunia ketiga dan dunia pertama, terang sekali. Makanya judulnya 'Tak Ada New York Hari Ini', kayak meniadakan pusat kekuasaan dunia.
Dan itu bercerita, kita itu tinggal di negara ketiga, orang di tokoh pertama tinggal di New York tetapi sebenarnya tidak tinggal di situ, di Indonesia. Itu mewakili Rangga.
Rangga itu metafora untuk membicarakan banyak hal, kebetulan dia tinggal di New York, di mana di bayangan kita New York itu pusat dunia.
Membangun lapisan-lapisam relasi kuasa antara dunia pertama dan dunia ketiga, antara politik bahasa sebagi orang ketiga bahasa, di mana-mana memakai bahasa asing.
Diminta Mira Lesmana?
Jelas banget untuk memperkuat kepentingan film. Tapi bagi saya itu memperluas audiens, ada kesamaan ide, tapi yang dilapisan pertama untuk kekuatan film, tetapi di lapisan selanjutnya bisa lebih luas, di bawah kita menata satu hal, di lapisan lainya macam-macam.
Bagaimana awal pembicaraan dengan mereka?
Tawaran awalnya membuat sebuah puisi untuk sebuah film, saya bilang nggak mau begitu. Saya mau bikin satu buku yang terinsipirasi dari 14 tahun ini. Bisa bicara sosio politik, bicara sosio bahasa, soal kekuasaan dan tentu saja soal cinta karena itu yang dibutuhkan di film itu.
Selama ini kita saling terkotak-kotak, semakin lama semakin tidak cair, berkolaborasi apa yang paling mudah kita lakukan. Nggak usah sastra dengan film, sastra dengan sastra saja bisa berantam. Umumnya kayak gitu. Itu saya kira penting. Apa kata-kata bahasa punya kekuatan. Saya harus membuktikan diri saya ini kata-kata bisa dengan mengujinya diterima di semua model seni, bisa diterima berarti punya power
Rencana lebih jauh?
Sedang menggarap dengan musisi indie dan bekerja dengan penulis puisi negara lain, di FBF ini bertemu dengan penulis puisi Jerman. Saya akan mengenalkan sastra Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Saat ini banyak sekali puisi jadi alat propaganda politik, menurut Anda?
Saya kira puisi memang harus punya nuansa politis tapi saya kira kata-kata punya kekuatan menampung apa pun. Tapi kan pada saat bersamaan sebagai penyair kita miris bahasa dikuasai oleh dua kekuatan besar yaitu ekonomi dan politik praktis. Ketika kita keluar kita temui kata-kata iklan-iklan atau kampanye politik yang kadang memuakkan. Dan bagi saya di situ diuji bahasa seolah-olah dikuasai oleh kekuatan dominian politik dan ekonomi.
Sekarang era yang tepat menulis dan membaca puisi karena sekarang era yang serba cepat. Membutuhkan tempat-tempat berhenti, puisi ruang tepat karena bisa di mana saja, tidak terlalu panjang, mungkin itu salah satu alasan buku puisi laku. Seperti sedang menunggu bus, duduk di bus, turun lagi.
Itu susah membaca novel yang harus runut dan waktu panjang. Puisi setidaknya bisa menjadi tempat berhenti sejenak dari segala sesuatu yangh bergerak cepat dan untuk berpikir lebih dalam.
(asp/tia)