Adalah Chosun Ilbo dan Dong-A Ilbo yang hingga kini masih bertahan dengan idealismenya dalam penulisan berita. Walaupun pembaca surat kabar sudah mulai berkurang, namun keduanya punya cara tersendiri untuk mempertahankan eksistensinya.
detikcom diajak untuk mengunjungi Chosun Ilbo dan Dong-A Ilbo pada Rabu (1/11) waktu setempat sebagai salah satu rangkaian acara Kwanhun-KPF (Korea Press Foundation) Press Fellowship 2017. Keduanya terletak berdekatan, sehingga para awak media yang tergabung dalam program tersebut diajak berjalan kaki dari kantor KPF yang terletak di jantung kota Seoul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Udara Seoul kala itu cukup dingin, yaitu mencapai 11 derajat celcius. Namun, lebih hangat dari hari-hari sebelumnya yang bisa mencapai 5 derajat celcius.
Setelah 10 menit berjalan, detikcom pun tiba di sebuah gedung yang terlihat cukup tua. Kami dipertemukan dengan salah satu perwakilan Chosun Ilbo yang mengajak awak media melihat proses pembuatan surat kabar hingga pendistribusiannya.
detikcom diajak melihat area basement, yang dipenuhi dengan mesin-mesin besar. Bau mesin cetak dan kertas-kertas koran pun sangat mendominasi saat berada di ruangan tersebut.
![]() |
Chosun Ilbo memiliki delapan mesin cetak yang diimpor dari Jepang pada 2003. Setidaknya 1,5 juta kopi surat kabar dicetak setiap harinya.
"Surat kabar memang mulai menurun, sehingga kami harus mengembangkan TV dan media online. Namun kami tidak ingin percaya hal itu (penurunan pembaca surat kabar). Yang harus dilakukan adalah menulis konten yang baik dan percayalah pada jurnalismu," ungkap Patrick Park, salah satu jurnalis untuk Chosun Ilbo.
Tak berbeda dengan Chosun Ilbo, Dong-A Ilbo pun kini sudah mulai mengembangkan diri melalui dunia broadcasting. Jurnalis surat kabar dan TV saling bersinergi untuk menciptakan konten berita terbaik.
Namun, ada sebuah cerita menarik dari Dong-A Ilbo dalam perjuangannya mempertahankan eksistensi. Kembali ke zaman kolonialisme Jepang, Dong-A Ilbo memberitakan soal Sohn Kee Chung, atlet lari pertama Korea yang mendapatkan medali emas di Olimpiade.
Namun kala itu, Sohn Kee Chung dipaksa untuk mengikuti lomba dengan membawa nama Jepang, dan menyematkan benderanya di bagian dada. Kala itu, Dong-A Ilbo dengan sengaja tak memperlihatkan bendera Jepang di dada Sohn Kee Chung pada foto di artikelnya.
![]() |
Sontak saja pihak Jepang murka, dan menahan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pemberitaan tersebut. Akibatnya, para jurnalis pemberitaan Sohn Kee Chung dipaksa untuk mengundurkan diri, dan Dong-A Ilbo pun harus menghentikan publikasi selama 10 bulan.
Namun insiden tersebut malah semakin membuat Dong-A Ilbo menjadi surat kabar yang paling diminati oleh masyarakat. Walaupun banyak media-media baru bermunculan, namun mereka tetap menjadi salah satu media massa terbesar dan paling berpengaruh di Korea Selatan. (dal/mah)