Surat-Surat Agus

Cerita Pendek

Surat-Surat Agus

Ricardo Marbun - detikHot
Jumat, 15 Des 2023 17:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Apa rasanya kehilangan? Setelah kepergian Moses anak sulungku, aku tidak mengerti seperti apa rasanya kehilangan. Bisa saja saat itu aku belum ada waktu untuk memikirkan rasa itu. Sebab, pikiranku dijejali banyak hal untuk memberangkatkan Moses ke rumah terakhirnya. Air mataku mengalir ke jantung, sesak, sulit untuk bernapas.

Aku masih tidak percaya, Moses sejangkung dan seatletis itu membujur kaku di ranjang rumah sakit. Hanya tiga bulan sejak ia pulang dari Bali, waktu itu aku terkejut Moses muncul tiba-tiba. Wajahnya seputih kapas, bibirnya pucat tak ubahnya tepung. Matanya redup memohon pertolongan. Naluriku berkata, Moses membutuhkanku.

Tiga adiknya ikut membantu jalannya pemakaman. Rio paling sibuk mengutus surat-surat. Visca, putri bungsuku, pulang menyiapkan rumah sebelum kami membawa Moses dari rumah sakit. Anya tak pernah jauh dari sampingku. Anya tak kenal lelah memberi kekuatan yang sangat kubutuhkan. Andai saja papanya masih ada, tentu aku tak serapuh saat ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kakak, adik, dan para iparku datang satu per satu. Mereka ikut memberiku kekuatan. Air mataku mengalir ke jantung. Moses, Mama akan mengantarmu dengan baik, janjiku.

Apa rasanya kehilangan? Saat hati teriris pilu. Saat palung dada berisi hampa. Saat air mata mengalir sesuai jalannya. Dua papan pipiku basah. Tangisku pecah sejadinya. Semua itu terjadi, ketika satu per satu ketiga anakku kembali ke rumah masing-masing. Ketika, kakak, adik, dan para ipar pamit pulang.

ADVERTISEMENT

Dua minggu sejak kepergian Moses, aku kembali di rumah, sendirian. Aku menyadari, mereka harus melanjutkan hidup, aku tidak mungkin menahannya. Aku memberi kenyakinan, di rumah aku akan baik-baik saja. Di rumah ada Sumi dan Pak Nimo yang menemani.

Nyatanya, di ruang tengah, aku tak kuasa bahwa rasa kehilangan itu pelan-pelang mengigit kekuatanku. Moses! Jeritku tertahan.

Akhirnya aku memberanikan diri membuka kamar Moses. Di rumah ini, tiap anak memiliki kamar masing-masing. Aturan tidak tertulis, siapa pun tidak boleh lancang masuk tanpa seizin empunya. Aku membuka kamar Moses. Cukup lama kamar itu terkunci. Sudah waktunya kamar itu dibersihkan.

Aku membuka kamar itu bersama Sumi. Udara pengap menyergap. Bau langu. Sumi menyalakan lampu. Terhampar kamar Moses tertata rapi. Aku tak memiliki kekuatan untuk melangkah. Sumi lebih dulu masuk ke dalam. Suara Sumi memecah keheningan di dalam kamar.

"Seprai diganti, Bu?" tanya Sumi nyaring.

"Ganti saja, Sum. Taplak meja, tutup kursi, gorden jendela juga. Kamar Mas Moses kamu bersihkan ya," jawabku sembari melangkah. Belum ada keinginan untuk berlama lama di kamar Moses.

Aku keluar meninggalkan Sumi. Aku berlari ke kamarku sendiri. Menangis sejadi jadinya di sana. Di samping tempat tidur beragam berkas penting milik Moses telah diserahkan padaku. Moses memberikan segalanya. Mengingat itu rasa kehilangan itu kian membuncah. Moses, anakku.

Tangisku kembali pecah. Moses tidak pernah membebani. Biaya rumah sakit ditanggung asuransi. Segala harta miliknya diserahkan padaku. Termasuk pesangon sebagai doses senior di Udayana. Semuanya Moses titipkan padaku, mamanya.

Ketukan di pintu mengembalikan kesadaranku. Aku menduga itu Sumi. Pasti dia ingin memberikan laporan hasil pekerjaannya. Pelan aku membuka pintu, Sumi tegak di depanku. Tanpa suara tangannya mengulurkan sebendel surat terikat tali goni.

"Saya menemukan ini di bawah ranjang, Bu. Saya tidak berani membuangnya, takut ada yang penting. Saya serahkan ibu saja," ujar Sumi lugu. Aku tercengang namun tanganku terangkat menerimanya. Kulit tangan Sumi terasa dingin.

Aku menutup pintu kamar setelah Sumi beranjak. Perlahan aku duduk di pinggir ranjang. Tumpukan surat itu tiba-tiba menggedor permukaan dadaku. Tergesa aku menarik ikatan tali goni. Surat-surat itu menjawab tabir segala ketakutanku selama ini.

"Untuk apa, Ma! Untuk apa?"protes Anya.

"Pokoknya Mama harus ke Ubud! Sendiri atau berdua dengan kamu!" sahutku tegas.

Anya menarik napas. Aku menduga dia sedang berpikir untuk mengurungkan niatku.

"Kita sama sekali tidak tahu dia. Mendengar namanya pun kita tidak pernah. Mas Moses bahkan tidak menunjukkan gelagat aneh. Anya rasa tidak perlu Mama ke Ubud. Kecuali Mas Moses menyinggung nama itu saat kritis. Nyatanya Mas Moses diam." Anya menatapku.

"Mama kenal Mas-mu. Surat-surat itu menjadikan semuanya jelas. Mas-mu memilih diam, semua itu karena Mama. Mama harus ke Ubud. Tolong, Anya!" Aku menatap tegas putriku. Sebaliknya, Anya membuang pandang. Aku tahu, kebingungan melanda dirinya.

Burung besi akhirnya membawaku mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Anya ikut bersamaku. Teman Anya menjemput kami. Tidak terlalu sukar, Ubud kini terhampar di depanku. Berdasar amplop balasan surat surat itu, alamat itu kami temukan, setelah dua jam berputar putar membelah jalan jalan kecil.

Sebuah pintu kayu berwarna tanah mengingatkanku pada selembar foto yang terselip dalam surat-surat itu. Aku bergetar menahan rasa. Tidak salah lagi, tujuan kami kini ada di hadapan. Tanganku urung terangkat sebab pintu kayu itu tiba-tiba terbuka. Seorang bocah menyembul menahan gerak kakinya. Bocah itu terengah menatap kami dengan bingung.

"Putu, tunggu Putu! Bape takut nanti kamu jatuh." Seorang pria dewasa muncul di belakang bocah itu.

Aku memandangnya sayu. Wajah itu tidak asing. Tidak jauh berbeda dari foto-foto yang terselip dalam surat-surat itu. Aku memandangnya lebih lekat. Tidak salah lagi, orang ini pasti Agus.

"Mama!" Pria itu tercengang. Lembut ia menarik bocah itu untuk melebarkan pintu untuk kami. "Mari masuk, Ma?" Aku dan Anya bertukar pandang.

Rumah khas Bali penuh ornamen kayu. Panas menyengat berubah sejuk di dalam rumah. Pohon-pohon kaktus tumbuh di tiap tiap sudut halaman. Kolam kecil ditingkahi suara gemericik air menambah lengkap kenyamanan rumah kecil itu. Aroma dupa memberi suasana magis.

Sketsa lukisan memenuhi rumah itu. Satu lukisan orang tersenyum tergantung di ruang tengah. Mataku berkaca-kaca. Tidak salah. Tempat ini adalah rumah sesungguhnya untuk Moses.

Moses terlukis jelas di rumah ini. Di dinding. Di atas meja. Di dalam lemari kaca. Terlebih di satu kamar utama, Moses benar-benar ada di sana. Tentu bersama pria ini.

"Apa kamu tahu ten...."

Pria itu mengangguk. "Tahu, Ma." Perlahan pria itu terisak.

"Mengapa kamu tidak menyusul?" desahku berat.

"Pintu keberangkatan Ngurai Rai adalah batas terakhirku, Ma. Mas Moses mengajariku mencintai karena hati. Melafalkan rindu melalui malam. Melabuhkan lelah dengan doa. Mas Moses mengajariku untuk tidak menuntut lebih. Saya patuh , Ma. Saya patuh." Tangis pria itu pecah. Aku terenyuh melihatnya terduduk di pinggir ranjang.

Aku menangkup bibir dengan tangan. Moses patuh terhadap permintaanku. Aku ibunya. Aku tahu satu per satu tindak tanduk keempat anakku. Termasuk keanehan anak sulungku. Aku menyadari, Moses memilih jalan berbeda. Pandangan-pandanganku membangun pengertian sendiri padanya. Moses patuh terhadap semua pandanganku. Sepatuh pria ini terhadap dirinya. Surat-surat balasan Agus yang kubaca kemarin adalah potret cinta tulus mereka dari telunjuk orang-orang. Termasuk telunjukku.

Aku membiarkan pria itu menumpahkan tangisnya.

"Mas Moses pamit dengan baik. Mungkin dia tahu waktunya. Mas Moses ingin segalanya sempurna sesuai keinginan Mama. Penuh berat hati saya melepasnya. Mas Moses mengajari sebentuk cinta juga kebaikan bersama," lanjut pria itu sesak. Desir angin membawa bau cendana.

"Terima kasih, sudah menjadi bagian dari anakku. Terima kasih," suaraku bergetar memandang pria itu.

Tiap sudut rumah itu aku kelilingi. Rumah itu benar-benar sangkar milik Moses dan pria itu. Bahkan pria itu memperlihatkan lemari kayu di mana terdapat pakaian Moses bercampur dengan pakaian pria itu. Lalu, bocah tadi adalah impian masa depan mereka. Moses menutup rapi semuanya. Moses menepati janji atas segala pandangan-pandanganku terhadap pilihannya. Andai saja waktu, ah! Aku tidak ingin mengusik ketenangan putra sulungku. Aku merasa di rumah ini Moses ada bersama kami.

Di pintu keberangkatan Ngurah Rai, aku memeluknya. Pelukan tulus seorang ibu. Pria itu mendekapku penuh isak tangis. Tak lupa aku mengembalikan surat-surat itu.

"Batasmu tidak lagi sampai di garis ini, Agus. Setiap waktu, datanglah untuk menemui Mas-mu. Pintu rumah Mama terbuka untukmu," ujarku lembut.

Agus mengangguk berulang kali. Suaranya enyah tertutup tangis. Sampai jauh aku melambaikan tangan padanya. Aku bahagia melakukan sesuatu untuk anakku, Moses.

Apa rasanya kehilangan? Coba tanyakan pada Agus.

Ricardo Marbun tinggal di Surabaya, penikmat fiksi




(mmu/mmu)

Hide Ads