Cerita Pendek

Kereta Pelarian

Afifah Citra Pratama - detikHot
Sabtu, 11 Nov 2023 11:16 WIB
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Kereta ini berjalan dengan normal, kecepatan yang tak mampu dikejar kaki. Aku duduk termenung dengan kapas berdarah menyumpal hidung, kepalaku ricuh, telingaku berdengung. Dengan pandangan buram, kuperhatikan semua orang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Gerbong ini tampak tua, besi berkarat di tiang-tiangnya, kursi yang sama sekali tak ramah, berdebu, kusam, menyeramkan.

Di dalam sini sangat sepi, hanya suara adu besi rel kereta. Aku melupakan waktu, sudah berapa lama aku di sini?

Aku tarik kapas yang menyumbat napasku, hanya tersisa noda darah yang mengering. Sepertinya aku melewatkan sesuatu, tapi apa? Semakin keras aku berusaha mengingat, semakin kepalaku terasa berat. Sekali lagi, kulihat sekeliling.

Dari jendela tempatku bersandar, tampak hamparan rumput kering, lalu tak jauh di sana ada terowongan yang berlari mendekat. Tidak, kereta ini akan masuk ke sana.

Aku benci gelap! Seperti mulut yang terbuka, bersiap melahapku. Sial, kugenggam erat kapas ini, tanganku gemetar, berkeringat, aku mulai merasa sesak.

Lalu, gelap!

***

I can't stop the feeling! So just dance, dance, dance. I can't stop the feeling!

Ah! Aku membuka mata perlahan, beradaptasi dengan cahaya. Kasur single size tanpa tertutup seprai, meja dan setumpuk alat make up di seberang ruangan, lengkap dengan kaca cukup besar menempel di dinding. Rupanya, aku ada di kamarku. Bising lagu Can't Stop the Feeling yang kusetel sebagai alarm, segera kumatikan.

Sebentar, kurasa ada yang janggal. Aku bangkit menghadap cermin, di sana, bayanganku berantakan. Berat badan yang berlebihan membuat bentuk tubuhku tak secantik perempuan kebanyakan, lipatan lemak di paha, perut, ketiak, leher, tampak menjijikkan. Hidung tersumpal kapas -lagi, rambut kusut berantakan, kulit kusam, aku tak melihat kata cantik dapat tergambar dari diriku.

Setiap berkaca aku selalu merasa marah, entah pada siapa, kadang kepada takdir, kadang pada diri sendiri. Ya sudahlah, tak apa, kendalikan pikiranmu, Lusi! Kali ini aku berjalan menuju jendela, matahari tampak sudah meninggi. Ini hari apa? Aku harus kuliah!

Buru-buru aku berbalik membuka lemari dan bersiap. Hah! Aku terpaku. Di sana, diriku sedang tertidur. Aku melihat diriku sendiri. Apa ini mimpi? Apa yang terjadi, apa aku membelah diri?

Aku mendekatinya, kuperhatikan tiap geraknya. Ini, diriku. Kutatap wajahnya, matanya sembab, ekspresinya berubah-ubah, pasti dia bermimpi buruk --salah, maksudnya aku bermimpi buruk. Di sebelah bantal, handphone-ku berisik, notifikasi dari beberapa aplikasi. Kubaca sekilas, beberapa pesan grup membahas tugas kuliah. Lalu pesan lainnya yang paling kubenci, pesan tagihan dari aplikasi peminjaman online. Kulihat tanggal yang tertera di sana, 18 Desember 2022, artinya dua pekan yang lalu. Apa maksudnya? Apa aku tersesat oleh waktu?

Sial, kepalaku sakit. Aku terhuyung, ruangan ini berputar, pusing. Barang-barang beterbangan seperti tak pernah mengenal gravitasi. Semakin cepat berputar, sesak rasanya, ruangan ini menyempit, dan gelap.

Ragaku rasanya tersedot, lalu seperti ada sengatan listrik yang memaksaku untuk membuka mata. Ini bukan kamarku, berpindah tempat --juga waktu? Apa aku benar-benar mengalami mimpi panjang?

Aku lihat di sana, diriku yang lain sedang duduk berkumpul dengan teman-teman di salah satu kafe mewah yang sering aku datangi. Lusi di sana tak seceria teman yang lain, semburat matanya sedih memegang erat dompet dengan tangan kirinya di bawah meja. Aku ingat masa ini, saat aku terpaksa menggunakan selembar uang terakhir demi mengikuti ajakan berkumpul bersama temanku.

Katakan saja aku pengecut, aku tidak berani menolak. Karena bila menolak, sama saja dengan membuat jarak pertemanan, dan mereka akan menjauhiku. Aku yang tidak rupawan, tidak punya banyak teman, hanya mereka. Jika aku tidak mengikuti gaya hidup mereka, maka aku akan menjadi bahan gosip, bahkan sampai menjadi target perundungan teman yang lain.

Aku berjalan mendekat, kupandang lekat raut wajah diriku yang lain. Kesedihan terpancar dari matanya, semakin sakit hatiku saat melihatnya memalsukan tawa. Segelas minuman di atas meja dipandangi dengan nanar, pasti ia sibuk memikirkan makan apa esok hari. Masih hangat di ingatan, yang kupunya hanya selembar uang biru, dan kuhabiskan lebih dari setengahnya di sana.

Tak sanggup lagi aku menyaksikannya tersenyum palsu, dengan lembut aku berusaha menggapai bahunya, namun yang tersentuh hanya udara. Apa di mimpi ini aku bahkan tak diperbolehkan menyentuhnya? Diriku yang malang, tak ada yang pernah memelukku, menguatkanku, bahkan dalam mimpi.

Tidak. Barang-barang kembali beterbangan, kenapa? Apa karena perkataanku? Kepalaku kembali sakit, bising teriakan memaksaku menutup telinga, ruangan ini berputar, menyempit. Ini menyeramkan, aku terduduk di lantai, tanganku gemetar, kupeluk lututku kutenggelamkan wajahku di sana.

Aku bisa mendengar degup jantungku yang berlarian, dengan serius aku mengatur napas, aku harus tenang. Hingga perlahan, berisik teriakan tadi tak lagi terdengar, digantikan suara berat yang khas. Kuangkat kepalaku, ini ruang dosen, Pak Fathur. Dia duduk di kursinya, dan diriku yang lain berdiri tertunduk di seberang mejanya.

"Jika memang tidak ada biaya, lebih baik ambil cuti untuk semester ini, jangan terus-terusan menghubungi saya meminta kelonggaran. Semua mahasiswa harus membayar sesuai jadwal, tidak ada perpanjangan waktu," ucap pak Fatur kala itu, semakin membuat Lusi tertunduk semakin dalam.

Dengan dua lembar uang ungu di dompetku saat itu, bagaimana bisa aku membayar biaya kuliah. Mengucap terima kasih sebagai penutup percakapan, Lusi berjalan gontai keluar ruangan. Aku ikut berjalan di belakangnya. Di lorong, mahasiswa lain memandangku dengan kebencian, semakin hari tatapan mereka semakin tajam. Meski tak cantik, aku tak pantas diperlakukan begini. Aku selalu ramah pada semua orang, mengapa mereka tak bisa memperlakukanku dengan sama.

"Heh, udah jelek, miskin pula!" Di depan sana, jalan Lusi dihalang. Seorang perempuan cantik --kukenal bernama Nabila, berteriak tepat beberapa senti di depan wajah Lusi.

"Hidup kok modal pinjol, bikin malu nama kampus, tahu nggak?" disahuti teriakan tak kalah kencang oleh perempuan satunya, ia mendorong Lusi hingga menabrak dinding, tawa orang-orang di sana menyesakkan. Disusul banyak teriakan yang ditujukan padaku.

Aku di sana hanya menangis bersandar pada tembok, aku tak bisa melakukan apa-apa. Selain ikut menangis, beribu kata maaf kuucapkan untuk diriku sendiri.

Mengapa aku dihadapkan situasi ini? Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku sudah melakukan banyak cara agar tidak dipermalukan begini, tapi mengapa akhirnya sama saja. Dunia rasanya sangat tidak adil. Sekali lagi, wajah marah semua orang tampak memutariku, tawa dan teriakan menghina masuk berebut indra pendengarku. Terduduk di lantai, gemetaran kupeluk lututku. Mau dibawa ke mana lagi kali ini, aku semakin muak dengan dunia. Aku menangis meraung, aku tak mau lagi menyaksikan kenangan buruk.

Kulitku merasakan suhu yang berbeda, apakah aku telah kembali pada dunia nyata? Membuka mata perlahan, lampu kuning temaram di atap yang sangat kukenali, ini kamarku. Di sana aku masih melihat diriku duduk di lantai dengan penampilan yang sangat berantakan, mengapa mimpi ini sangat panjang. Kamarku berubah sangat menyeramkan, bau apek, barang berantakan. Ini adalah hari kesekian aku tidak keluar dari kamar, tak ada uang untuk membeli makanan, dan tak ada teman yang bisa kuminta bantuan. Dari luar terdengar meriah suara letusan kembang api, perayaan malah tahun baru, dan aku hanya mengurung diri di ruang gelap ini. Aku terlalu takut untuk keluar kamar, seluruh dunia menolak keberadaanku, citra baik yang selalu aku jaga dirusak oleh pesan tagihan peminjaman online yang tersebar.

Kejanggalan yang kusadari sekarang, aku tak ingat hari ini. Bagaimana aku melewati hari ini, bagaimana aku keluar dari situasi ini. Kuperhatikan Lusi hanya terduduk gemetar memeluk lutut, air matanya tumpah ruah. Hatiku teriris melihatnya menangis tanpa suara, sesak, semakin menyakitkan saat menyadari seberapa buruk takdir hidup yang Tuhan tuliskan untukku. Tangisan ini tak bisa berhenti, kulihat Lusi menjambak rambutnya sendiri, kebiasaan yang tanpa sadar sering kulakukan.

Hingga kemudian dengan tergesa, Lusi berdiri menuju meja makan, baru kusadari wajahnya dikotori aliran darah kering yang bersumber dari hidungnya.

Tangannya menggapai gelas kaca sederhana, satu satunya yang tersisa di sana, dibantingnya hingga pecah berserakan. Tidak, jangan lagi. Dengan gemetar aku berusaha menghentikan Lusi yang dengan mantap mengambil serpihan gelas paling besar, digenggamnya erat.

Ah! Aku merasakan sakit di telapak tangan. Kini, aku benar-benar merasakan kekacauan pikiran dan rasa sakit yang dialami diriku di sana. Sekali lagi aku berusaha menggapai tangannya, tapi sialnya aku masih tak dapat menyentuhnya, tak ada yang bisa kulakukan. Aku tahu apa yang ia pikirkan, serpihan gelas itu untuk melukai pergelangan tangan kirinya, mengalihkan kesedihan. Karena hanya rasa sakit yang dapat menggantikan sakit yang lain. Bekas luka sebelumnya bahkan belum sembuh.

Darah menetes, semakin kuat Lusi menggesek benda tajam tersebut. Perih tanganku gemetar menahan pedih. Namun bibirnya melengkungkan senyum, Tidak, senyum itu berarti hal lain. Luka ini bukan untuk mengalihkan rasa sakit, tapi untuk mengakhiri rasa sakit. Mengapa aku terpikir melakukan ini? Apa dia benar-benar aku?

Terdengar dering telepon, namun wujud handphone-nya tidak bisa kutemukan. Disusul gema teriakan hina, umpatan, caci maki. Suara gedor pintu yang sangat nyaring.

"Lusi!" Jika tak mampu menyentuh, aku harap ia bisa mendengarku.

Rasa sakit di tanganku semakin terasa, tangis Lusi pun terdengar semakin keras. Darah mengalir menghasilkan genangan duka, hingga akhirnya Lusi menyerah, tangannya terkulai jatuh. Diriku disana tak lagi mampu terduduk, badannya merosot jauh hingga terlentang di lantai. Aku turut merasa lemas, keputusasaan ini bukan keputusan yang tepat. Bagaimana dengan banyak mimpi yang harus digapai.

"LUSI!"

Semakin buram indra penglihatku, semakin sesak pula, tak mampu lagi kupertahankan kesadaran ini lebih lama. Lalu kulihat bayangan seorang muncul di hadapanku, laki-laki yang rupawan.

"Bantu aku," ucapku lirih, bahkan terdengar seperti bisikan.

Ia mengulurkan tangannya ke atas kepalaku, lalu dengan tiba-tiba kakiku terasa sakit yang teramat. Rasa sakit itu mengalir ke seluruh tubuhku, sakit, sangat sakit. Tapi tak ada yang bisa kulakukan, aku berteriak, namun tak ada suara yang terdengar. Aku hanya mampu melebarkan mata menahan pedih, hingga akhirnya aku tak sanggup menahannya, dan gelap.

***

Ah! Aku terbangun, di gerbong kereta usang ini. Rasa sakit masih terasa di seluruh permukaan tubuhku. Pedih ini tak sanggup aku tahan. Aku hanya bisa menangis. Teriakan dan segala yang terjadi di kamarku juga masih terdengar menggema, suara tangisku, pecahan gelas, sesak napasku, tetes darah, semua diputar berulang dalam kepalaku. Tolong aku!

Lalu suara berat terdengar, "Seluruh pintu telah ditutup." Menahan pedih aku menoleh pada sumber suara, bayang seorang tinggi besar, bayang yang sama yang menghampiriku tadi. Lalu kulihat semua orang, apa yang terjadi? Semua penumpang berteriak dan menangis.

Ke mana perginya kereta ini? Tangisku tak bisa terbedung lagi, aku harus kembali, memperbaiki kehidupan yang kubuat kacau. Aku tidak tahan dengan rasa sakit ini. Hingga memberanikan diri aku berteriak dengan lantang, "Aku ingin pulang! Kereta ini menuju ke mana?"

"Tak ada jalan untuk kembali. Ditumpangi oleh jiwa pembunuh, yang mendahului takdir Tuhan dengan merenggut nyawanya sendiri. Kalian telah memilih kereta ini, kereta pelarian."

Afifah Citra Pratama mahasiswa FKIP UNEJ



Simak Video "Video: Pengawas Keuangan Minta Pemerintah Adili Ketua HYBE"

(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

detikNetwork