Santapan Kemarin dan Hal-Hal yang Belum Kikis

Cerita Pendek

Santapan Kemarin dan Hal-Hal yang Belum Kikis

Aura Asmaradana - detikHot
Sabtu, 28 Okt 2023 11:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Setelah mengantarkan Dea, anakku, ke kantin di lantai dasar, aku merasakan sesuatu di perutku mendesak ingin keluar, ke arah tenggorokan. Aku meninggalkan Dea sarapan seperti biasa sebelum dia dijemput oleh seseorang yang bertugas mengantar-jemputnya sekolah. Beberapa menit setelahnya, aku terduduk di lantai kamar mandi yang kering, di hadapan lubang kloset.

Kumuntahkan seluruh isi perutku: air putih, air putih lagi, dan air putih bercampur lendir berbusa. Pagi itu memang aku baru minum dua mug air putih. Namun isi perutku seperti tak habis-habis. Sesuatu di perutku itu mendorong-dorong terus sampai terasa bahwa lambungku benar-benar kosong dan ulu hatiku berdenyut nyeri beberapa detik sekali. Organ dalamku seperti dipelintir; seperti kain pel yang sedang diperas.

Waktu kutelepon Marlo, suamiku, yang sejak semalam sibuk di lokasi proyek, dia bertanya,

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kamu pengar, mungkin? Mabuk? Minum apa?"

"Tidak minum alkohol satu sloki pun. Bahkan kopi segelas pun tidak."

ADVERTISEMENT

"Terus kenapa?"

Sambil meringkuk di dalam selimut, aku berusaha mengingat kembali apa yang kumakan hari sebelumnya. Pagi menjelang siang setelah ujian di kampus, aku makan sebungkus nasi kuning di kantin. Minumnya segelas teh manis hangat.

Sore, aku makan semangkuk penuh bakwan kawi, lengkap dengan lontong dan sebutir telur rebus.

Malam hari, aku memenuhi undangan makan malam bersama teman-teman lama di restoran pinggir pantai di Jimbaran. Seafood.

"Kenapa ya? Mana kutahu."

Nasi Kuning

Di Bandung, nasi kuning adalah makanan yang biasa kumakan ketika sarapan. Kalau hari masih pagi, makanan paling praktis dan banyak dijual adalah nasi kuning. Sudah sepaket dengan tempe orek, telur dadar diiris tipis, dan tumis sohun dengan wortel. Kalau sedang ada uang lebih, Ibu menambahkan semur ayam pada masing-masing porsi milikku dan adikku, Indra.

Nasi kuning bisa ditemui di banyak tempat. Setiap anak yang merayakan ulang tahun atau syukur khitanan di sekolah dasar dulu selalu membekali setiap anak dengan sepaket nasi kuning. Tiap pulang salat Jumat, bapak dan Indra membawa bingkisan Jumat Berkah, sebungkus nasi kuning.

Kabarnya, pada zaman dahulu, warna kuning pada nasi itu dipilih karena menurut kepercayaan Jawa, kuning diidentikkan dengan emas, melambangkan kekayaan dan kemakmuran.

Nasi kuning yang pertama kubuat sendiri adalah nasi kuning yang dibuat menggunakan rice cooker. Minimarket dekat rumah menjual bumbu nasi kuning instan dengan sampul menyegarkan mata. Indonesian yellow fragrant rice, tertulis di situ. Di gambarnya, nasi kuning dicetak berbentuk kubah seperti nasi-nasi di restoran, dikelilingi lauk pauk lengkap: perkedel kentang, ayam goreng besar, tempe orek, telur dadar, mentimun, dan tomat potong.

Di rumahku, nasi kuning dibiarkan bertumpuk acak di atas piring. Di sampingnya, sebongkah tempe goreng kuning menemani. Tempe goreng itu menu andalanku. Kurendam dengan air garam, bawang putih halus, kunyit, dan ketumbar. Digoreng dengan minyak bergolak yang ditaburi tepung terigu terlebih dulu. Kalau panasnya masih tanggung, cairan bawang putih akan membuat tempe menempel di wajan.

Dari usia dua belas tahun hingga jalan tiga puluh tujuh tahun kini, menu itu yang paling kuandalkan untuk disuguhkan pada orang lain, terutama pada Marlo dan Dea.

Aku ingat betul, hari ketika aku memasak nasi kuning itu adalah hari ulang tahunku yang kedua belas. Aku sangat terobsesi menghirup gurih aroma santan di udara, seperti yang kuhirup ketika aku membuka kotak kertas atau styrofoam yang dibagikan teman-teman ketika syukuran. Aku dan Indra makan berdua dengan tenang dan lahap.

Ibu dan Bapak pulang hampir tengah malam dari pasar. Nasi kuning sudah dingin, tapi Ibu tetap menghabiskannya. Bapak tidak ikut makan karena dia tidak pernah mau makan nasi dingin.

Di kampus, aku tak pernah menganggap nasi kuning yang dibungkus Mbok Mang sebagai makanan istimewa. Nasi kuning akan jadi pilihan kedua kalau nasi jinggo sudah habis. Aku selalu memakannya tanpa harapan tinggi, sebagaimana para pendahulu memaknai kebajikan yang terkandung dalam warna kuning.

Pagi menjelang siang itu pun sama. Aku sekadar mengisi perut setelah dosen memberiku lima pertanyaan bercabang. Berlembar-lembar tulisan tanganku sendiri membuat mata sakit. Perutku lebih lapar dari biasanya.

Bakwan Kawi

Pertama kali aku mengenal bakwan kawi di Yogyakarta. Waktu itu aku menenteng sebuah kardus berisi buku yang baru kubeli di shopping center. Taksi online yang kupesan minta dibatalkan. Terlalu jauh dan di sini macet total, Mbak. Aku menghela napas panjang karena panas terik sekali seolah residu matahari berjatuhan di kota itu.

Harusnya pukul sebelas itu, aku sudah makan, menggabungkan sarapan dan makan siang seperti biasa. Mataku tertambat pada gerobak berkusen coklat parkir di depan taman budaya. Di etalasenya, berjajar pangsit, bakso, dan tahu yang saling sikut. Bakwan Kawi Malang. Tentu tidak cocok kumakan di tengah kondisi yang serba berkeringat. Tapi kuingat lagi, tiba di penginapan, aku sudah harus membungkus buku-buku dan mengantarnya ke kantor pos. Kuhampiri gerobak itu, duduk di kursi plastik warna-warni.

"Satu porsi makan di sini ya, Pak. Kuahnya sedikit saja."

Aku masih sangat mengingat perkenalan dengan pangsit yang terendam sebentar itu. Ketika kugigit, masih ada bunyi renyah yang kentara, tetapi berbarengan dengan kuah gurih yang seakan diperas, keluar dari pori-porinya. Seperti sedang mengunyah sereal yang baru dituang susu. Mulutku dipenuhi rasa yang familier. Ingatanku tiba-tiba melayang pada Ibu.

Ibu tak pernah suka bakso, bakwan, atau apapun kau menyebutnya selama itu berupa olahan daging giling yang diberi kuah atau sekadar saus. Namun setiap kali pergi ke kota, kami selalu menyempatkan duduk di sebuah warung bakso di tepian Jalan Merdeka, di seberang toko buku. Dia selalu duduk manis menunggu aku, Indra, dan Bapak makan. Yang dipesan Ibu hanya kuah polos dengan irisan tipis bawang daun. Dia mengambil beberapa pangsit goreng dari blek kerupuk, merendamnya sebentar sebelum meniup, menggigit, dan mengunyahnya pelan-pelan.

Aku tak pernah bertanya mengapa dia tak pernah pesan makanan bersama kami. Sampai Bapak meninggal di usianya yang ke enam puluh tiga tahun, kami tak pernah menyengaja datang ke warung bakso mana pun lagi. Kemudian aku tahu Ibu tidak menyukai apapun yang menyerupai bakso. Bapak yang menyukainya. Di tempat-tempat yang dikunjunginya bersama kami, Bapak selalu minta dicarikan tempat makan bakso. Kalau ada pangsit goreng, Ibu akan makan. Kalau tidak ada, Ibu tak makan. Sementara aku dan adikku pemakan segala, kami tak pernah memilih-milih atau menolak makanan, sebagaimana Ibu selalu mengajarkan.

"Makan apa saja yang ada, ya." Meski begitu, dia tidak pernah memberi kami makanan tidak layak. Di tangannya, tepung terigu tak pernah hanya jadi terigu. Selalu ada saja yang bisa dia lakukan agar kami bisa menikmati makanan. Mengadonnya dengan telur dan gula merah kemudian menggorengnya atau mengukusnya; mencampurnya dengan sisa sayuran di kulkas seperti bala-bala; mencampurnya dengan nasi semalam, tapioka, dan kaldu ayam menjadi cireng; mendadarnya dengan air kemudian dipanggang menjadi crepe aroma vanila.

Sepulang dari Yogyakarta itu, aku jadi sering mencari bakwan kawi. Sampai aku bertemu Pak Tarno, penjual bakwan kawi yang mangkal di seberang rumah susun. Dia mengenal seleraku dengan baik. Dia selalu menaruh pangsit goreng belakangan, setelah menuang kuah, agar pangsit itu tak terlalu lembek. Pada porsi pertama yang kubeli, aku meminta cuka meja padanya. Dia tidak punya. Besoknya masih tak punya. Lusa hari, ketika aku membeli lagi,

"Saya sudah ada cuka. Mau?" ujarnya sambil menyodorkan cuka meja cap Dixi. Sikapnya itu kubilang seperti pesulap.

"Just like my name," katanya sambil tersenyum. Pak Tarno lumayan fasih berbahasa Inggris. Wisatawan asing yang tinggal di sekitar situ senang berlangganan dengannya.

Seafood

Malam itu di sebuah restoran di Jimbaran, terhidang di hadapanku sepiring paket ikan kerapu bakar, sate cumi-cumi, udang, dan kepiting. Ditambah tumis kangkung dan beberapa mangkuk kecil rupa-rupa sambal. Tentu aku makan dengan lahap sambil mendengarkan cerita-cerita random dari kawan-kawan lama yang sedang berlibur di Bali.

"Fokus amat, Rid. Cerita dong. Gimana tinggal di sini?"

"Maklum, jarang-jarang makan seafood."

"Masa di sini jarang makan seafood? Terus lu makan apa biasanya?" Mereka terheran-heran.

"Nasi goreng tek-tek. Warteg." Mereka ngikik. Entah modus tertawa macam apa itu: menganggapku lucu atau nyinyir.

Dina, teman di sampingku menukar kepiting di piringku dengan dua sate cumi-cumi miliknya. Dia tahu aku malas mengupas dan menyedot-nyedot isi cangkang kepiting, sementara aku tahu Dina tak suka makanan kenyal.

"Yakin lu nggak makan? Enak lho, cangkangnya tipis, gampang digigit."

Aku tetap tak mau. Kalau ada yang mudah dimakan, kenapa pilih yang susah? Untuk soal ini, aku mirip Ibu. Ibu tak pernah mau makan kepiting kecuali sudah berbentuk sup atau olahan lain. Namun, dia pandai mengolahnya. Pun tak pernah mengeluh kalau harus mengolahnya karena Bapak sedang ingin. Tak jarang Bapak tiba-tiba pulang membawa sekantung kepiting hidup, hasil taruhan dengan teman-temannya di pasar. Dia akan meminta ibu mengolahnya malam itu juga. Tak bisa besok. Kalau Ibu menolak, rumah akan gempar. Beberapa kali kegemparan itu menyisakan lebam di wajah Ibu.

Sebelum resep bumbu Jimbaran yang masyhur dikenal di mana-mana, Ibu bisa meracik bumbu seafood asam manis yang sedap. Ketika dia memasak, percaya atau tidak, area dapur rumah beraroma karamel: tumisan bawang bombai, bawang putih, jahe, kunyit halus, dengan campuran rupa-rupa saus botolan. Sepertinya Ibu juga menambahkan sedikit terasi sebab aku bisa mengenali aroma laut itu, yang membuatku bagai sedang menikmati liburan di pesisir. Ada aroma terbakar dari panggangan dan nuansa hangat seperti sedang menyaksikan kerlap-kerlip lampu perahu nelayan di kejauhan. Bedanya, itu bukan liburan bagi Ibu. Ibu tak pernah libur jadi ibu.

***

Pegawai administrasi klinik mengatakan padaku, "Makanan laut lebih rentan bakteri. Terutama hewan laut bercangkang seperti udang, kerang, dan kepiting. Tubuh mereka mengandung bakteri dan racun yang cukup tinggi, menyerap dari air tempat mereka hidup. Sementara menunggu, minum air saja terus, Kak. Nanti dikonfirmasi lagi oleh dokter ya."

Tentu saja aku hanya akan mendengarkan dokter, meski aku menghargai pengetahuan dan pengalamannya bertemu dengan orang-orang yang keracunan seafood.

Dia mengatakannya ketika aku mendaftarkan diri di klinik, sambil menyerahkan nomor antrean. Nomor 067. Kulihat layar menyala di tembok. Masih nomor 063. Aku duduk bersandar di kursi ruang tunggu. Sakit yang melilit itu datang dan pergi. Aku memejamkan mata karena tak konsentrasi melakukan apapun, bahkan sekadar membaca poster-poster kesehatan di tembok klinik. Terngiang lagi ucapan pegawai administrasi tadi.

Aku menduga-duga, benarkah kesakitanku ini perkara seafood yang kumakan tadi malam? Apakah teman-temanku merasakan hal yang sama? Kenapa tak ada kabar di grup WhatsApp? Apakah di dalam perutku ini sedang berpesta bakteri vibrio parahaemolyticus atau staphylococcus sp seperti yang dikatakan artikel-artikel di internet? Kenapa mereka tidak mati setelah proses memasak? Apakah restoran yang cukup ternama itu membeli dan menaruh sembarangan produk lautnya, atau memasaknya buru-buru?

Aku beberapa kali berkaca sebelum masuk ruang periksa, memastikan aku tak melihat bayangan roh yang pelan-pelan keluar dari tubuhku, mengingat beberapa jam yang lalu aku terkapar hampir dehidrasi di atas ranjang.

Aku mengenali Marlo di parkiran motor. Pandangannya mencari-cari. Aku melambaikan tangan. Dia bergegas menghampiri, memeluk, mencium keningku. Mungkin karena terakhir aku meneleponnya, aku bilang padanya bahwa aku takut mati.

"Sudah coba minum obat maag?"

"Sudah, tapi ikut keluar sama muntah." Dia membuka ranselnya, mengeluarkan tumbler bening berisi cairan kuning.

"Ini air kunyit pakai madu."

"Kamu bikin?" Aku sudah bersiap hendak takjub, tapi tak jadi.

"Mana tahu aku cara buatnya. Aku bawa madu turun, terus minta bikinkan Mbok di kantin." Paling tidak, senyum polos di sela jambang yang kusut dan wajah berminyak itu menghangatkanku. Aku sempat mencecap sedikit air kunyit itu sebelum layar menyala di tembok menunjukkan angka 067. Manisnya pas, meninggalkan bau langu tipis di mulut. Pegawai administrasi menganggukkan kepala ke arahku,

"Atas nama Ibu Ingrid." Sebelum aku dan Marlo masuk ruang periksa, sekali lagi aku mematut diri di hadapan cermin besar dekat pintu, memastikan tak ada tanda-tanda aneh pada tubuhku.

Dokter mengatakan aku keracunan. Kemungkinan besar dari seafood yang kumakan. Dia memberi resep antibiotik, dengan saran untuk membeli oralit dan air putih agar tak dehidrasi. Jika diare tak kunjung reda, dia memintaku kembali. Jika muncul gejala demam dan sakit kepala, dia menyuruhku minum paracetamol yang bisa dibeli dengan bebas di warung.

"Sudah, gitu aja? Nggak dikasih penahan nyeri atau apa, gitu?" bisik Marlo ketika kami keluar ruang periksa.

"Loh, malah bagus. Tumben, masih ada dokter macam ini sekarang. Nggak dikit-dikit obat, dikit-dikit obat."

Marlo mengangkat bahu, tampak pasrah melihat ketenanganku. Mungkin itu ketenangan yang sugestif, tapi masuk akal juga. Sebagai profesional, dokter itu telah mengafirmasi kecemasanku dan memberikan solusinya. Aku merasa lebih baik.

Sejak belum ada makanan yang berhasil masuk ke perut, Marlo mengarahkan sepeda motor ke arah restoran Hong Kong style langganannya, dengan menu utama bubur ayam dan sapi. Dia melirikku lewat kaca spion.

"Padahal aku masih diare. Nggak boleh makan bubur dulu." Sengaja aku bergumam, tapi tetap memastikan Marlo bisa mendengarnya. Aku tahu sebetulnya dia yang sedang ingin makan bubur sapi dan cakwe favoritnya, setelah semalaman mengurus pekerjaan dan menginap di tempat proyek. Dia berharap bisa menikmati comfort food-nya.

"Kan banyak menu lain. Bebek panggang?"

"Oh, dengan senang hati," aku menyambut.

Kami duduk di meja empat bangku, di antara para pengunjung yang membolak-balik menu atau menyantap hidangan yang sebagian besar masih mengepulkan asap. Restoran itu selalu ramai, tak hanya pada waktu makan, dari baru buka hingga menjelang tutup. Maka, terhitung jarang kami makan di tempatnya langsung. Biasanya kami hanya membungkus bubur, bebek, dan bakpao talas dan telur asin, menikmatinya bertiga dengan Dea di rumah. Tentu setelah mengantri cukup panjang.

Siang itu aku makan dengan rasa syukur lebih dari biasanya. Bersyukur, mual sudah berhenti dan intensitas sakit di perut sudah berkurang. Bersyukur, Marlo bisa menemaniku dalam kondisi itu. Sepanjang jalan pulang, aku merasakan gelembung gas mondar-mandir di dalam perut.

"De, selagi Ibu masih sakit, apa-apa sama Ayah ya." Dari celah pintu, aku melihat Marlo memeluk Dea.

"Berangkat futsal juga boleh sama Ayah?" Dari suaranya saja aku tahu dia sumringah. Sebelum Marlo menjawab, aku berseru,

"Iya, biar nanti Ibu hubungi jemputanmu." Aku tahu Marlo pasti menyanggupi. Dea adalah kekasihnya setelah aku. Atau sekarang urutannya sudah bertukar, aku tak pernah menanyakannya. Dan memang tak perlu. Aku bisa melihat setiap kali Marlo menatap Dea, melihat perkembangannya dari hari ke hari. Jenis tatapan mata yang tak pernah aku dapatkan dari Bapak.

Sebelum dianugerahi Dea, kami sempat kehilangan anak pertama dalam kandungan. Tentu saja aku kuat, ragaku. Bahkan beberapa pekan setelah peristiwa itu, aku mengebal. Semuanya terasa biasa saja meski aku merasa bahwa Marlo kecewa atau merasa bersalah. Sampai tiba-tiba, suatu malam yang hujan, aku merasa sesuatu menyergapku. Perasaan yang tidak bisa kunamai merongrongku. Sosok-sosok kecil yang tak kukenali datang melayang dari berbagai arah.

Kamar terlalu gelap. Hujan terlalu deras dan bising. Aku ketakutan lalu menangis sesenggukan, tanpa menjawab satu pun pertanyaan Marlo. Entah bagaimana akhirnya dia bisa berhenti bertanya, berbaring di samping, merengkuhku tanpa kata-kata. Aku menggenggam erat lengannya yang pejal dan hangat ketika dia mengusap-usap lembut perutku.

"Aku mengerti," kata Marlo setelah paginya aku minta maaf karena tak mengatakan apa-apa malam sebelumnya. Tentu dia bisa mengantisipasi hal aneh semacam itu. Sejak pertama menikah, berkali-kali aku mengatakan bahwa dalam diriku telah lahir semacam perasaan ganjil tentang anak.

Aku mencintai Marlo, sungguh. Maka tak mungkin aku tidak mencintai anaknya suatu hari nanti. Namun perasaan cemas membesarkan seorang anak manusia, membangun sebuah keluarga agar tak seperti keluargaku, tak pernah pupus. Peristiwa kehilangan itu membuatku berada di persimpangan. Ternyata peristiwa itu sebegitu meneror. Aku merasa kehilangan dua sosok sekaligus: anakku dan Marlo.

Aku selalu merasa yakin bahwa kami akan menanggapi kehadiran anak secara berbeda. Kubilang padanya, rasanya akan sulit menyatukan imaji kami tentang keluarga. Orangtua Marlo, kakak-beradiknya rukun, terbuka, dan ekspresif, sementara aku tumbuh di keluarga yang saling menyembunyikan.

Banyak yang baru kuketahui tentang Ibu dan Indra ketika Bapak meninggal dunia, sesederhana makanan kegemaran kami masing-masing; sekompleks utang taruhan judi Bapak yang tersebar di mana-mana. Namun Marlo tak pernah mendesak dan memaksaku percaya tentang dongeng keluarga bahagia atau cinta sehidup semati. Dia membiarkanku, sembari tak pernah meninggalkanku.

Pintu rusun diketuk. Dea menenteng kantung plastik waktu aku membukanya.

"Makan apa kita malam ini?"

"Tongseng!"

"Tongseng?"

"Eh, tongseng kambing nggak apa-apa kan?" Marlo melirik perutku. Tentu saja aku tak menolak.

Kami makan di meja. Tongseng ayam untuk Dea, tongseng kambing untuk aku dan Marlo. Aku menemukan tomat segar yang berenang di kuah coklat kehitaman. Olahan Warung Sate Solo memang tak pernah gagal. Mereka memasukkan tomat belakangan sehingga tidak layu dihajar panas.

Tongseng mereka tak sesederhana menumis daging sate dan mencampurnya dengan cidukan kuah gulai dari pot tembikar. Ada aroma bawang matang, tomat segar, dan kabarnya mereka hanya menggunakan kecap dari Majalengka. Marlo bangkit ke arah kulkas, mengeluarkan jeruk nipis dari situ.

"Buat apa? Ini ada limau." Jeruk kecil-kecil kugelindingkan keluar dari kantung plastik yang disertakan penjualnya.

"Nipis lebih segar, supaya kamu tidak mual." Aku tak menjawab apa-apa, cuma memperhatikan Marlo memotong jeruk nipis jadi beberapa bagian dan memeras sebagian kecilnya ke mangkuk tongsengku. Aku baru sadar bahwa mualku sudah hilang. Sakitku sudah reda. Dan aku bahagia.

Aku terhenyak. Mengapa aku tidak pernah memperhitungkan hal-hal kecil seperti perasan jeruk nipis di mangkuk tongseng itu? Harusnya itu bisa jadi risalah baru. Kalau bertemu tongseng lagi suatu hari, aku akan mencari jeruk nipis, bukan limau. Sementara Marlo dan Dea akan berada di dalam kenangan baik tentang santapan itu.

Semakin banyak santapan yang aku nikmati bersama Marlo dan Dea, semakin banyak imaji buruk terkikis.

Suatu hari, aku hanya akan menulis cerita yang baik-baik saja tentang santapan dan keluarga.




(mmu/mmu)

Hide Ads