Sejak 2006, Diela Maharanie telah memantapkan diri untuk berkarier sebagai ilustrator. Tetap eksis berkarya, perempuan yang kuliah jurusan Akuntansi ini identik dengan warna dan pattern geometri tertentu.
Hampir 17 tahun menjadi seniman, Diela Maharanie mengaku ada naik-turun sepanjang proses kreatifnya namun ia selalu menekankan konsistensi.
"Saya sejak awal jadi ilustrator, selalu konsistensi dalam berkarya. Jadi kalau yang susah buat dapat klien besar, semua orang ada prosesnya. Ada satu hal yang terbukti banget, yaitu konsistensi," katanya ketika ditemui di kawasan Kasablanka, Jakarta Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kunci yang kedua adalah berkarya secara jujur. "Jujur tuh maksud aku, setiap individu atau seniman memang punya gayangnya sendiri. Nggak usah follow the tren, dari dulu aku memang suka pattern dan warna-warni gitu. Aku stay dengan pilihan aku, itu yang menjadi benang merah dari karya-karya aku sih," katanya.
Diela Maharanie mengaku memang belajar seni secara otodidak. Dia belajar dari berbagai buku ilustrasi yang dibacanya dan banyak mengikuti workshop. Lambat laun, karya ilustrasinya semakin dikenal sampai menjadi Google Doodle HUT ke-78 RI pada 17 Agustus lalu.
Berada di dunia seni digital, lanjut Diela, juga tak gampang. Hal itulah yang coba dibuatnya melalui Komunitas Metarupa.
"Padahal nggak semudah itu juga bikin karya dengan digital. Digital juga bisa manual juga loh, rata-rata mungkin juga fokus ke digital tapi stereotip itu masih ada," katanya.
"Karena teknologi juga, apa-apa digital kan. Bahasa visual itu paling penting dengan digital, ada pemilihan warna yang nggak bisa," ungkap Diela.
Melalui karya seni digital, Diela mengatakan sekarang karyanya bisa diotentifikasi dan sertifikasi. "Sehingga bisa dijual dan menguntungkan juga," tegasnya.
Diela pun menyarankan bagi seniman muda agar terus berkarya dan tidak usah memikirkan perkataan orang.
"Terus berkarya, nggak usah pedulikan kata orang ya, mau high art atau low art. Serta label-label itu," tukasnya sembari tertawa.
(tia/tia)