Dia sekarang berusia sepuluh tahun lebih, itu tanda saatnya mengikuti katoba --setahu warga kampung berupa pengislaman yang tentunya telah kitan.
"Kau siap?" tanya Modji Baso-pemuka agama dari kampung sebelah menatap mata Kiman. Pertanyaan tersebut tentu saja sebuah perenungan untuk mulai membatasi kebiasaan-kebiasaan Kiman dulu untuk bermain seenaknya, membuat ayahnya marah bila tidak isi jeriken air lantas dipukul dengan warangka parang.
Sekarang mesti dewasa dengan pola pikir yang diikuti tingkah laku seperti di usianya ini berburu ngaji. Dia benar-benar bersemangat mengikuti setiap pesan yang disampaikan Modji dengan cukup berkata umbe --kata untuk mengiyakan. Kiman bersila di pangkuan ayahnya dengan memegang ujung seutas kain putih yang lebih dulu digenggam Modji Baso.
"Saya akan toba anak ini!"
"Umbe!"
"Taati kedua orangtuamu!"
"Umbe!"
"Jauhi perbuatan dosa!"
"Umbe!"
Belum genap berpesan kepada Kiman, riuh suara Modji tiba-tiba hilang ditelan bentakan dan bidikan gagang. Peluh, dia hanya bisa bergeming dan memasrahkan diri.
"Semua bubar!"
Saya takut. Saya lihat mereka bawa parang tunjuk Modji Baso.
"Acara ini tidak berizin, kita ketahui bersama masuk agama ini tak langsung terlahir tapi berucap syahadat bukan beritual. Dan kalian menganggap ini toba? Di Pangkep, toba kami anggap sebagai operasi tobat penumpasan bissu, mereka menyalahi ketentuan agama."
Saya dengar dari laki-laki yang tinggi punya jenggot itu. Modji Baso kena tangkap, mereka bawa pergi dengan tangan diikat. Saya pernah ditangkap teman-teman main benteng. Kami main di lapangan, putar-putar di pohon asam kelebihan saya. Kaki robek kena pecah botol.
Tapi kaki lebih sakit karena lama duduk dan susah gerak. Ayah dan yang datang juga susah gerak, takut ditangkap. Mereka pulang, tapi perlengkapan katoba diinjak-injak padahal ada kelapa, beras satu gantang.
Paling saya benci, satu orang ambil semua uang dalam guci. Saya mau sekali tembak dengan senapan bambu. Dalam hati, "Dhuar, mate ghane!" bentak sekaligus sumpah saya biar dia cepat mati.
Tulat, Modji Baso dilepaskan setelah tidak ada banyak bukti yang cukup.
***
Usai pengakuan kedaulatan kemerdekaan dicapai pengujung 1949, masalah baru timbul, kali ini pertikaian di daerah. Bagian selatan Sulawesi didominasi oleh gerombolan gurilla --Barisan Sakit Hati yang turun gunung buntut dari keputusan sepihak perwira Alex Kawilarang. Mereka keluar-masuk hutan, berhari-hari berperang dengan tentara Jawa-istilah warga menyebut tentara nasional.
Kekurangan makanan, persenjataan, anggota, gurilla terdesak segera menyeberang di tenggara Sulawesi demi melanjutkan cita-cita perjuangan dengan beranggotakan empat puluh orang bersenjata lengkap. Awalnya gerombolan menyodorkan kedamaian, kemudian keimanan yang dikalungi warga sejak masa gemilang Kesultanan Buton.
Pada mulanya semacam itu, lambat laun dipaksa kembali berislam mengikuti sunnatullah. Di Kendari-ibu kota provinsi, gerombolan lebih dulu membakar empat rumah, Poleang mulai mendapat intimidasi, guru jemaat menerima surat ancaman selekas-lekasnya menanggalkan sifat kebelandaannya. Basis perjuangan memancar ke pelosok Bontu-Bontu pulau kecil pedalaman Kabupaten Muna, kampung Kiman.
Kedatangan gurilla mengubah segalanya.
***
Hari Raya Idul Fitri 3 Februari 1965, orang-orang yang pulang Salat Id telah kembali ke rumah atau langsung ke kebun. Kiman berangkat bertamu ke rumah Modji Baso untuk menikmati manu kaparende --ayam dengan rempah utamanya daun kedondong, santapan lebaran warga kampung.
Dia bergegas lewat jalan setapak sejauh mata memandang dipenuhi minjangan. Kiman belum sampai di pekarangan, ia tampak menyaksikan beberapa gurilla dengan lilitan warangka parang berhasil menerjang pintu pondok Modji Baso dari papan kayu jati pilihan.
Kiman berselindung pada rimbunnya minjangan, pandangannya tertuju kepada seorang yang tampak begitu asing berbicara lantang sembari geram memerhatikan wajah Modji Baso yang lelah menerima pukulan.
"Kau menyalahi nilai-nilai agama, kau menceritakan persembunyian kami di sini kan?"
"Kalian bukan utusan pemerintah, kalian pemberontak yang mengatasnamakan agama." Kalimat itu diakhiri dengan beberapa langkah dari seorang gurilla dan beberapa saat setelahnya terdengar suara orokan disusul tabung trakea dialiri darah sampai ke sisi kulit luar leher.
Tangannya sangat lihai memotong bagian itu. Tangan itu seperti mencontohkan cara memotong kepala anoa mentah searah atau melawan arah serat. Bila arahnya keliru, tentu daging jadi sulit dikunyah.
"Saya lihat Modji Baso, lehernya dipotong seperti cara ayah potong leher ayam kemarin. Saya pegang ayamnya. Kepalanya muat dalam karung goni, karung itu sering saya pakai ambil ubi gadung di kebun. Ada laki-laki berjenggot bersuara keras ambil goni, taruh di tanah dan tendang seperti saya main bola dengan teman-teman lalu membuangnya di sungai belakang pondok Modji Baso. Sungai itu banyak buayanya."
Di kepala Kiman, melekat jelas kesaksian tak wajar tentang pembunuhan, kematian dan darah. Dia menangis tersedu sedan sambil berjongkok meratapi Modji Baso diseret. Lamunannya itu terganggu lantaran menginjak ranting. Persembunyiannya di rumput minjangan diketahui.
Kiman belum selesai dengan rintihan tangisnya, dia telah tiba di hutan kecil. Seorang laki-laki yang belum terlalu uzur terduduk dengan kaki memanjang terikat rotan pada batang pohon jati. Dia satu-satunya seorang diri memakai lilitan kain putih di kepala dan tampak mulutnya diganjal dedaunan jati yang tidak hijau lagi. Setelah itu, dia tidak melihatnya lagi.
Beberapa anggota memberi hormat menyambut kedatangan Kapten Bahtiar. Kiman bersama seorang anggota yang terus bertanya banyak hal.
"Siapa nama kau?"
"Kiman!"
"Kenapa kau mengintip?"
"Saya mau lebaran di rumah Modji, mau makan manu kaparende."
"Kau bohong!"
Tiba-tiba terdengar hentakan kaki Bahtiar menemui Kiman sembari memberikan gula-gula dari campuran santan dan gula aren. Lantas berbicara dengan perawakan lebih santai.
"Kalau tidak cerita, kau tidak bisa pulang, ayahmu kami panggil di sini. Benar, kan, Tapa?" pimpinan itu memandang, menuntut kata setuju dari seorang anggota lain yang berdiri memegang senapan buatan Inggris Lee Enfield berkode H 46890.
"Saya tidak bohong. Ibu bilang itu dosa, bisa masuk neraka," Kiman masih mengulum gula-gula.
Jadi, kata Kapten Bahtiar, gurilla tidak jahat tapi sama dengan tentara angkat senapan. Mereka jaga kampung. Gurilla datang untuk usir orang Jawa, seperti cara saya usir babi di kebun. Saya pikir tentara itu pintar bisa baca-tulis, buktinya tidak. Saya lihat yang tanya tadi bilang, "Ada surat penting, tapi saya tidak bisa baca atau balas buat diteken."
Saya juga tidak bisa baca apalagi tulis alif-ba-ta. Tetapi ayah tidak senang, "Dasar bodoh! Kau baca ayat saja salah padahal makan ikan banyak."
Saya kurang tahu persis kata ayah, tapi menurut saya ikan itu tidak pintar. Waktu masih belajar dari kakek sampai bisa tangkap sendiri, ikan tetap saja makan umpan di kail padahal itu jebakan. Saya jadi pusing sendiri.
***
Pada hari itu juga diperbolehkan pulang. Kiman berjalan menyusuri jalan setapak yang dilewatinya tadi. Dia tampak girang sesekali berlari kecil dan sepertinya telah melupakan kejadian kelam mengiris hati yang disaksikannya pagi itu. Kepulangannya malah disambut gaduh para tentara memberondong pertanyaan kepada ayahnya.
Ayah hanya bilang, "Saya minta maaf dengan sepuluh jari ditambah sebelas dengan kepala, saya tak tahu-menahu keberadaan gurilla."
Kiman tidak luput dari penginterogasian, ada warga memberitakannya tadi dibawa pergi gurilla.
Saya lapar. Tentara masih suruh saya cerita. Dia bilang saya tidak boleh bohong tentang Modji Baso. Tentara memang kasih gula-gula, tapi tidak sebanyak dikasih gurilla dari Sengkang. Saya disuruh cerita lagi. Saya ditanya lagi. Katanya di mana kepala Modji Baso. Saya bilang tidak tahu. Ditanya lagi, bilang di hutan atau sungai bagian mana gurilla pergi. Saya juga bilang tidak tahu. Sebenarnya tahu semua.
"Gerombolan tadi lari di mana?"
"Mereka bilang pejuang, tidak boleh bilang gerombolan!"
"Jumlah mereka banyak?"
Saya lebih suka dengan gula-gula tentara daripada ditanya begini-begitu. Saya jadi sedih gara-gara bohong, sudah janji sama Ibu di surga sana agar tidak bohong.
Saharul Hariyono pengarya tulisan fiksi dan nonfiksi
Simak Video "Video: Duduk Perkara Penyebab Mediasi Nikita Mirzani-Reza Gladys Gagal"
(mmu/mmu)