Tujuh Belas Potong Daging di Bagasi

Cerita Pendek

Tujuh Belas Potong Daging di Bagasi

T Agus Khaidir - detikHot
Jumat, 21 Jul 2023 17:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Sekarang saya baru sadar betapa selama ini hanya kelewat sibuk meyakin-yakinkan diri bahwa saya dan dia saling cinta meski faktanya hubungan kami kerap mengalami pasang surut. Kadang pasangnya begitu tinggi. Kadang surut terlalu jauh. Saya baru sadar betapa kebanyakan hari bersamanya adalah hari-hari mencekam.

Kamu tahu Oscar de La Hoya? The Golden Boy? Tidak tahu? Kamu tidak suka tinju? O, pantas! De La Hoya petinju yang tampan. Lebih mirip bintang film ketimbang tukang gebuk di atas ring. Googling saja kalau kamu tidak percaya. Beberapa teman saya bilang mereka mirip. Menurut saya tidak. Dia lebih mirip Amir Khan.

Aktor India? Oh, ya, ya, ya! Saya mengerti. Itu Aamir Khan, Nona. Aamir, dengan dua huruf 'a'. Dia tampan juga, memang, aktor yang sangat keren. Saya suka beberapa filmnya. Bahkan ada yang sampai saya tonton berulangkali. Namun yang saya maksud bukan dia. Ini Amir Khan dengan satu 'a', petinju Inggris, yang setelah meraih perak olimpiade sempat diharap dapat mengulang kejayaan Lennox Lewis, atau setidaknya Naseem Hamed. Walau sempat mengalahkan petinju-petinju hebat semacam Marco Antonio Barrera dan Marcos Maidana, sinarnya dianggap tidak terlalu cemerlang. Begitu pun, dari sisi ketampanan, Amir Khan tetap nomor satu

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maaf, bagaimana? Apakah dia pandai merayu, katamu? Hei, dari mana datangnya pertanyaan ini? Kamu mulai nakal, Nona, tapi saya suka. Saya selalu suka perempuan muda yang sedikit nakal. Subjektif, memang, karena saya pikir perempuan seperti ini juga lebih cerdas. Saya suka perempuan yang nakal dan cerdas. Bagi saya mereka seksi. Hehehe.... Ini sekadar berpendapat pribadi, ya. Tidak setuju juga tak apa. Soal rayuan tadi, hmm...saya mau bilang apa? Sebenarnya saya tidak begitu yakin juga. Barangkali begitu, tapi bisa jadi sesungguhnya saya yang terlalu mudah tertipu. Kamu tahu, tiap kali dia datang pada saya, tiap kali dia menangis dan meminta maaf, saya selalu merasa tersentuh, lalu luluh, lalu batal meninggalkannya.

Bodoh, ya? Tentu saja. Namun itu belum seberapa. Persis adegan di film-film cabul, nyaris tiap pertengkaran berlanjut dengan percintaan. Saya tidak tahu, tapi pertengkaran, dan percintaan sesudahnya, justru menjadi saat-saat yang selalu saya tunggu. Saya menunggu dia tertidur agar lebih leluasa memandang wajahnya yang damai. Kenapa dalam tidur wajah seseorang bisa berubah jadi begitu damai? Saya tidak tahu, seperti juga saya tidak pernah bisa memahami kenapa saya suka memandang wajahnya saat tertidur. Padahal wajah itu, wajah yang damai itu, selalu membawa saya ke momentum yang sebenarnya tak ingin saya ingat-ingat lagi.

ADVERTISEMENT

Kami waktu itu duduk di kafe dan berpelukan karena perasaan cinta meluap-luap dan tiupan angin yang dingin menyusup dari sela pintu dan jendela. Angin menjelang akhir tahun di Amerika. Seperti sekarang. Eh, tunggu, kenapa saya baru sadar? Tidakkah ini aneh? Sekarang baru awal tahun, tapi kenapa sudah dingin sekali? Padahal kita di Indonesia. Apakah ini pertanda kiamat sudah dekat seperti disabdakan para penyeru kebenaran di media sosial?

Kamu tak ingin membahasnya? Kenapa? Takut? Baik, saya hargai. Mengingat kiamat sesungguhnya juga menakutkan bagi saya. Mengingatkan saya pada kematian. Saya selalu takut mati, Nona. Berada di ambang mati itu sangat menyakitkan. Saya pertama kali merasakannya dua puluh enam tahun lalu. Hampir lima belas tahun sebelum peristiwa di kafe tadi. Peristiwa yang membuat saya tinggal bersamanya sampai satu jam lima belas menit sebelum kita bertemu di sini.

Ngomong-ngomong apa nama tempat ini? Saya tak sempat memeriksanya waktu masuk tadi. Fortofino's...Ristorante. Hmm...nama yang bagus. Sangat Italia. Saya selalu suka restoran Italia. Di Amerika dulu restoran Italia selalu jadi pilihan saya. Setidaknya pilihan kedua, setelah restoran China. Makanan China hampir semuanya enak. Cita rasanya tertinggal lama di lidah. Namun makanan Italia selalu bikin kangen. Seperti juga makanan Meksiko. Lasagna, Buritto, siapa bisa lupa!

Eh, kenapa kamu tidak pesan makanan? Diet? Berapa usiamu? Dua puluh satu? Masih muda sekali. Seusiamu dulu saya makan minum apa saja. Tidak ada pantangan-pantangan. Itu apa? Jus Alpukat? Kenapa ada Jus Alpukat di sini? Bukankah mestinya mereka menawarkan Vanilla Latte, atau Cappucino, atau Macchiato? Tapi saya suka jus alpukat. Sejak saya di Indonesia minuman ini langsung jadi salah satu favorit saya. Apakah jusnya enak? Kalau enak saya mau juga. Saya sering dapat jus alpukat yang tidak enak. Kebanyakan susu dan gula. Terlalu manis hingga cita rasa khas daging alpukatnya justru hilang. Ada yang terlalu encer. Ada juga yang pahit karena sembrono melepas dagingnya dari kulit.

Eh, kenapa saya jadi melantur? Saya tidak tahu kenapa, akhir-akhir ini saya sering sekali kehilangan fokus. Sampai di mana kita tadi? Kafe? Iya, itu memang menakutkan. Maksud saya, indah, tetapi belakangan saya sadari sebenarnya tidak demikian. Terus terang, hubungan kami awalnya terlarang. Dia beristri dan punya anak perempuan. Saya pernah melihat foto mereka. Ya, Tuhan, keluarga kecil yang manis, dan senyum anak perempuan itu pun sangat manis. Gila! Saya gila! Namun siapa yang tidak? Dia pengacara muda. Dia musisi. Coba kamu bayangkan, Nona.

Pengacara, musisi, jagoan berkelahi pula. Waktu itu, tiga kali seminggu usai jam kerjanya di firma hukum, dia selalu berlatih tinju di sasana. Bukan untuk kejuaraan, memang, tapi sudah lebih dari cukup untuk sekadar membuat bergajul-bergajul jalanan terkaing-kaing minta ampun. Dia melakukannya beberapa kali di depan mata hidung saya. Kamu tahu New York, kan? Kota yang hidup sepanjang waktu. Kota dengan tingkat kejahatan yang begitu tinggi. Terus terang, di saat-saat seperti ini, saya merasa nyaman sekali berada di dekatnya. Saya merasa terlindungi.

Sekarang ayo kita jujur-jujuran sebagai perempuan. Apakah laki-laki begini tak layak dipertimbangkan serius sebagai kekasih? Kamu sepakat? Baik. Masalahnya di sini. Saya ingin mendapatkan dia. Namun di sisi lain saya juga tak ingin menghancurkan rumah tangganya. Saya sudah merusak tapi sejauh itu belum sampai menghancurkan. Kerusakan bisa diperbaiki, kehancuran tidak. Maka saya beri dia dua opsi. Kembali kepada keluarganya, atau tunjukkan surat cerai dan kami bisa bersama.

Saya kira lebih baik bagi seorang perempuan menghadapi kenyataan suaminya minta cerai agar dapat bersama perempuan lain ketimbang diselingkuhi. Bukan begitu? Tidak? Kamu tidak sepakat? Ya, sudah, terserah, tiap orang boleh punya pandangan berbeda, bukan?

Pastinya dia menolak opsi-opsi saya. Dia meledak. Dia meninju pintu apartemen saya sampai remuk. Saya sedih tapi sekaligus lega. Setidaknya dia pergi dari kehidupan saya dan dapat memperbaiki pernikahannya. Namun ternyata saya keliru. Beberapa hari kemudian, sepulang kantor, tiga bergajul mengadang dan menghajar saya. Seorang di antaranya menyiramkan larutan alkali ke wajah saya.

Kamu lihat mata saya yang kanan? Ini sudah dioperasi dua puluh tiga kali, tapi penglihatan saya tetap saja masih samar-samar. Polisi mengungkap fakta ketiga bergajul tersebut merupakan orang suruhannya, dan atas persekongkolan ini dia ditangkap, diadili, dan dipenjara empat belas tahun. Saya mengira persoalan selesai dan lagi-lagi keliru. Dia mulai mengirim surat cinta dari penjara. Iya, surat cinta, Nona, kamu tidak salah dengar. Nyaris saban pekan. Dan saya, tentu saja, awal-awalnya mengabaikan.

Orang ini memang gila, pikir saya Namun lama-kelamaan saya penasaran juga. Saya tidak ingat persis, entah surat ke tiga puluh sembilan atau empat puluh, saya akhirnya membuka suratnya dan membacanya. Saya marah, saya jijik, tapi anehnya sejak itu tak berhenti membacanya dan kemudian mulai mengunjunginya pula, setidaknya sebulan sekali, dan terus begitu sampai dia dibebaskan.

Sepekan setelah bebas dia mengajak saya ke kafe. Kami tidak datang bersama-sama. Waktu saya sampai dia sudah berdiri di panggung, memainkan gitar dan bernyanyi. Bukan lagu yang saya kenal. Belakangan baru saya tahu penyanyinya. Band bernama Sleeping with Sirens. Juga judul lagunya, dan reaksi pertama saya adalah tergelak panjang. Geli bercampur penasaran. If I'm James Dean, You're Audrey Hepburn.

Apakah dia melihat saya sebagai Audrey Hepburn dan menganggap dirinya James Dean? Apa alasannya? Mereka bukan suami istri. Bukan pasangan kekasih. Bahkan tak pernah bermain di satu film. Apakah dia hendak menempatkan hubungan kami dalam posisi serupa?

Can't promise that things won't be broken
But I swear that I will never leave
Please stay forever with me

Malam itu saya tidak bertanya-tanya. Saya terbuai dan terpesona hingga tanpa berpikir dua kali menerima lamarannya usai menyanyi. Kenapa, kamu bilang? Saya tidak tahu. Barangkali waktu itu saya percaya dia sudah berubah. Kalau pun belum, saya percaya dia akan berubah. Kamu paham? Ini sebenarnya tentang harapan. Saya terbuai, saya terpesona, dan tiba-tiba saja saya menemukan diri berbaring di sisinya, di tempat tidur saya, dan dia menatap saya lekat dan menyentuhkan tangannya ke pipi saya, lalu berkata, 'selamat pagi, istriku'.*)

Mabuk? Maksudmu, malam itu saya mabuk? O, tidak, Nona. Dua gelas bir rasa-rasanya terlalu sedikit untuk membuat saya mabuk sampai hilang akal. Cinta, kamu bilang? Saya juga tidak tahu, tapi barangkali ini memang sebenar-benarnya gila. Saya gila. Sebab lama setelah pagi mengejutkan itu, seperti sudah saya ceritakan padamu, atas segala sikap brengsek dan siksaan-siksaannya, saya tetap saja bersama dia. Saya bahkan mengikutinya ke negeri kamu yang sumuk ini. Padahal saya bisa saja pergi darinya. Saya punya pekerjaan bagus di New York. Karier saya cemerlang. Faktanya saya ikut dia dan rela menerima pekerjaan lebih berat bergaji lima kali lebih kecil.

Namun malam tadi, setelah sebelas tahun tiga bulan dua puluh satu hari, kegilaan-kegilaan ini berakhir. Kamu masih mendengar saya? Kamu harus dengar baik-baik, Nona. Ini bagian terpenting. Dia datang pada saya meminta bercinta dan saya terpaksa melayaninya. Iya, terpaksa! Seharian kemarin saya banyak pekerjaan dan merasa letih sekali. Namun dia terus mendesak. Kamu sudah menikah? Sudah punya pasangan? Belum? Kuberitahu satu hal. Hasrat itu, Nona, tak bisa dipaksakan sekali pun terhadap suami sendiri.

Jadi begitulah, kami selesai lebih cepat dan dia mengamuk. Dia bilang saya seperti pelacur yang bercinta demi uang. Dia memukul sembari memaki-maki saya. Dia juga memaki ibu dan nenek saya. Bajingan! Emosi saya seketika melejit. Darah saya menggelegak. Saya sudah biasa dipukul dan dimaki, tapi apa salah ibu dan nenek saya?

Kamu tahu Zinedine Zidane? Maestro bola Prancis? Legenda Real Madrid? Kamu tidak suka sepak bola juga? Aduh, sayang sekali. Tinju tidak sepak bola juga tidak. Lalu kamu suka apa? Politik? Astaga, Nona, alangkah malangnya. Kamu mau jadi senator? Mau jadi presiden? Hahaha... Sudahlah. Untuk kamu tahu, ya, di final piala dunia dua ribu enam, wasit memberi Zidane kartu merah karena menanduk dada Marco Materazzi, konon, setelah pemain Italia itu menghina ibu dan adik perempuannya.

Saya juga menanduknya. Kepalanya! Darah mengucur dari hidungnya. Dia berteriak! Barangkali tidak sepenuhnya lantaran kesakitan. Barangkali lebih karena terkejut. Barangkali dia tidak menyangka saya berani menyerangnya.

Dia masih terhuyung-huyung sembari berteriak marah saat saya meraih botol bir di sisi ranjang. Dia selalu minum bir sebelum dan sesudah main cinta. Botol yang isinya masih tersisa separuh itu saya hantamkan ke kepalanya. Dia terjengkang. Saya melompat ke atas tubuhnya dan memukulnya berkali-kali. Botol itu pecah. Kepalanya juga. Dia sudah tidak berteriak lagi. Mungkin saat itu dia sudah mati. Saya tak peduli. Saya marah sekali. Dalam benak saya cuma ada satu tekad, dia tidak boleh hidup lagi.

Saya pergi ke dapur dan memilih pisau paling tajam yang biasa saya gunakan untuk memotong daging saat memasak rendang. Saya sudah pandai membuat rendang sekarang. Juga beberapa masakan Indonesia berbahan daging lain. Daging sapi atau kambing atau ayam. Saya makin terbiasa memotong daging. Saya lalu kembali ke kamar dan memotongnya jadi tujuh belas bagian yang saya masukkan ke dalam plastik. Sekarang plastik itu ada di bagasi mobil saya.

Hei, kamu mau ke mana, Nona? Cerita saya belum selesai. Hei....

Tunggu! Kamu bisa tolong panggilkan polisi? Bilang saya di sini. Hei....

Kamu dengar?

Huh, payah!

Mbak, Mbak, saya mau pesan jus alpukat. Jangan pakai gula dan es.

Susunya sedikit saja.

Medan, 2016-2022

keterangan:
*) Kisah asmara Burton N. Pugach dan Linda Riss. Pada 1959, Burt Pugach, seorang pengacara, mengupah tiga orang untuk mencelakai Linda, pacar gelapnya. Linda buta akibat siraman air keras dan Burt ditangkap dan dipenjarakan 14 tahun. Setelah Burt bebas mereka kembali berhubungan dan menikah pada 1974 dan bertahan sampai Linda Riss meninggal 22 Januari 2013. Kisah ini ditulis Berry Stainback dan diterbitkan pada 1976 dengan judul A Very Different Love Story.

T Agus Khaidir lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), 4 Februari 1977. Tinggal di Medan dan bekerja sebagai wartawan




(mmu/mmu)

Hide Ads