Dalam Dua Jejak Parr

Cerita Pendek

Dalam Dua Jejak Parr

Zam Alano - detikHot
Jumat, 24 Mar 2023 16:50 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Bencoolen, 23 Desember 1807

Keangkuhan adalah mata pedang yang akan berbalik menikam dirimu sendiri. Bahkan malam yang hitam tak mampu menyimpan ceceran merah pekat. Lalu, Mount Felix berdarah sudah. Panas merah saga yang tak hilang dari jerit dan batin pribumi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Residen tuh lah mati kerno dak pacak beradat. Negeri kito jadi ladang betanam, tapi sanak segalo idak lebih berhargo dari budak belian."1) Begitulah kabar yang berembus, ketika subuh masih menggigit dihalau angin pesisir. Orang-orang Melayu berbadan coklat, bermuka kukuh, menyerbu Mount Felix di seberang Benteng Marlborough. Depati Sukarami, Depati Pagar Dewa, dan Depati Lagan menjadi pemimpin terdepan dalam barisan kemarahan rakyat.

Ketika terang tanah benar-benar tegak, barulah segalo induk 2) turun dari rumah-rumah panggung kayu di tepi jalan. Takut-takut, sambil menenangkan bujang gadis kecil mereka yang mengintip di balik badan. Menguar kabar yang lebih jelas. Target amuk hanya Residen Thomas Parr semata. Tapi Sekretaris Charles Murray ikut terbunuh karena menghalangi pengadilan rakyat. Sementara sang istri memutih laksana kapas, menambah pucat kulit perempuan British yang sedianya memang pucat itu.

ADVERTISEMENT

Dari mata kepalanya sendiri ia melihat orang nomor satu di tanah jajahan Bencoolen 3) meregang nyawa. Nyonya residen terluka karena berniat melindungi suaminya. Untunglah selamat, karena sama sekali tak berniat disentuh. Ia tahu rakyat benar-benar menaruh kebencian. Sejak sang suami dan dirinya menjejak Bencoolen ,27 September 1805, tanam paksa kali pertama dimulai. Bagaimanapun, kopi sumatera tetap primadona di pasar Eropa. Ditambah pula urusan-urusan adat yang diatur sekehendak hati dan mengadu domba rakyat dengan bangsawan Kerajaan Sungai Hitam. Tak heran kebencian rakyat makin memuncak.

Tapi tak menunggu lama untuk Inggris membalas. Dusun-dusun dihancurkan. Penduduk tak berdosa menemui maut. Sapi dan kambing yang mengembik ikut tewas terbakar. Menambah sepi Bencoolen.

***

Tergesa-gesa Rylan Parr bergegas menuju Stasiun Hillingdon. Kebiasaan yang baru sekali ini dilakukannya. Ia paham sekali berapa waktu yang dibutuhkan untuk sampai di Wembley Park, tempat kantornya berada. Beruntung oyster card miliknya masih cukup banyak menyimpan dana. Setidaknya seminggu ke depan, sehingga tak perlu mampir di top-up untuk isi ulang.

Begitu memasuki tube, kereta bawah tanah London, pria jangkung pirang itu menghempaskan pantat di bangku. Surat elektronik dari Nia tadi malam benar-benar membuatnya terganggu. Bahkan sesaat setelah tube melaju, dia harus membuka gadget untuk membacanya kembali. Mencerna apa yang sebenarnya diinginkan sang gadis.

Dear Rylan,

Ini tidak mudah bagiku, tapi hubungan kita sepertinya harus dipertimbangkan kembali. Rylan, entah dari mana aku mesti mengawalinya. Aku berpikir tidak ada kecocokan lagi di antara kita. Bukan soal orang lain, tapi semata-mata karena aku tidak bisa. Ada jarak lain yang memisahkan kita, lebih dari sekadar Jakarta-London.

Nia Kusmira

Rylan mencoba membaca pelan-pelan, menyesap makna yang mungkin bisa didapatkan. Is there any logical reason? Stuck! Pikirannya buntu. Apa yang menyebabkan Nia tiba-tiba mengirim surat elektronik demikian? Diingatnya kali pertama bertemu, saat Nia menyelesaikan studi master di Cambridge University. Pertemuan tak terduga saat mereka terlibat dalam proyek kerja sama Inggris-Indonesia membahas isu-isu pembangunan sosial kedua negara.

"Andai saja Inggris menjajah Indonesia lebih lama dari Malaysia, mungkin bisa lebih maju dari sekarang," ujar Rylan. Diselingi senyum yang menampakkan gigi-geligi keabuan khas orang-orang British. Mata biru cemerlangnya seakan ikut berpendapat. Dikatakannya Hong Kong, Singapura, India, Australia, melesat meninggalkan Indonesia. Bahkan Malaysia yang dulunya impor guru dari Indonesia telah menjadi macan Asia.

"Tapi lebih baik adalah tidak ada penjajahan. Kolonialisme telah membuat mental inferior rakyat kami begitu parah. Bahkan apapun yang berasal dari Barat dianggap keren, representasi peradaban maju," jawab Nia tajam. Lantas, Rylan dengan seksama mendengar penuturan dosen satu kampus swasta di Jakarta itu. Soal ambisinya membuat anak muda Indonesia bangga dengan kultur, identitas, dan kemampuan otak mereka sendiri. Mentalitas inferior harus dikikis habis supaya negeri gemah ripah loh jinawi bisa besar.

"Tak terkecuali mentalitas penjilat dan koruptor para pemimpin. Fakta ini lebih berbahaya dari isu negeri kami dikendalikan Amerika."

"Great idea! Saya pikir juga demikian. Itulah namanya prinsip kenegarawanan." Rylan memandang takjub Nia. Cerdas, tapi juga kadang temperamental.

"Tapi bukan soal bule itu lebih keren, sehingga perempuan Indonesia banyak memilih bule sebagai pasangan kan?"

Rylan cepat-cepat menyambung, "I'm sorry. Bukan bermaksud apa-apa." Ia tergelak pelan. Khawatir lawan bicara tersinggung.

"Bisa jadi, karena sebaliknya, bisa dihitung perempuan bule yang memilih pria Indonesia. Cuma tidak semua, mungkin itu terbatas di kalangan artis yang menjadikannya prestise. Okay, Rylan Parr, kita lanjutkan diskusi ini kali lain. Aku ada janji dengan Profesor Barry untuk konsultasi risetku setelah jam makan siang. "

Nia membereskan buku-buku di meja perpustakaan tempat mereka ngobrol. Memasukkan beberapa kertas ke dalam map plastik merah tua miliknya dengan rapi. Selintas melirik jam di pergelangan tangan coklatnya. Lalu segera berdiri untuk melangkah pergi, jika saja satu tangan kekar tidak menggenggam jemarinya.

"Wait me, Nia. Tapi aku mulai menyukaimu sejak pertama melihatmu di Cambridge. Dan yakin dengan perasaanku begitu mendengar suaramu waktu itu."

Nia berdiri mematung. Lalu memandang pria pemilik mata biru yang memesona itu. Bahkan suhu terdingin kala winter di Cambridge dirasa Nia bisa meleleh oleh pandangan Rylan. Mata yang hangat dan kadang terlihat jenaka.

"Kau tak perlu menjawab. Karena diammu saja sudah bertanda hatimu ada untukku," ujarnya tertawa. Beberapa detik kemudian menjelaskan alasannya bisa menebak. Soal diamnya perempuan Jawa yang dianggap setuju.

Nia bergeming. Kau salah. Aku perempuan Sumatera. Lahir dan tumbuh besar pada keluarga keras di mana perempuan sama berhaknya berbicara setara laki-laki.

Namun ia meneruskan membatin. Tapi aku diam karena bingung memilih kata untuk menerjemahkan kekagumanku padamu.

Hari-hari pasangan lintas negara itu makin indah. Riak kehidupan kampus semakin marak karena hubungan Nia dan Rylan yang saling mendukung studi masing-masing. Rylan pernah membawa Nia pada keluarganya untuk diperkenalkan. Tanggapan kedua orangtuanya positif. Garis tubuh semampai, berkulit coklat, ditambah pembawaan cerdas dan mapan, membuat keluarga Rylan langsung menyukai Nia.

Setelah beberapa bulan hubungan mereka tidak menemui kendala, meskipun Nia telah pulang ke Indonesia. Sekarang situasi berbalik. Gadis itu menutup semua akses komunikasi kecuali surat elektronik, tentu saja. Jika ditelepon ke kantor jawabannnya akan dialihkan, sedang keluar, sibuk, atau alasan lain yang dibuat-buat oleh si penerima. Pasti itu atas pesanan Nia sendiri. Sementara ponsel sama sekali tidak aktif atau mungkin sudah berganti nomor.

Saat seperti ini, Rylan benar-benar gila. Setelah surat elektroniknya yang terakhir, tak ada lagi pesan yang dikirim Nia. Apa yang salah? Ia mulai merencanakan sesuatu. Jika sampai pekan depan Nia tetap tak bisa dihubungi.

***

Masih beberapa jam lagi untuk sampai di Bandara Soekarnoa Hatta. Tak urung membuat Rylan gelisah. Ini keputusan terbesar yang pernah ia lakukan selama berhubungan dengan beberapa gadis. Dari jendela pesawat, awan bergumpal-gumpal memenuhi pandangannya. Serupa salju lembut bertumpuk-tumpuk di negaranya saat musim dingin. Ingatan pada Inggris membangkitkan kembali dengan payah memorinya. Tentang Indonesia di masa kanak-kanak dulu.

Saat grand-pa masih hidup, diceritakannya kakak dari kakek grand-pa adalah tentara petualang sejati. Pengelana dunia yang mendapat mandat dari Ratu Inggris memperluas negeri jajahan. Meskipun secara garis keturunan mereka --Rylan dan tentara petualang tersebut-- tidak terlibat langsung dalam satu garis keturunan. Kakek kandung grand-pa adalah saudara pejabat East Indian Company (EIC) dari garis keturunan ayah yang bertugas di salah satu tempat di Indonesia tempo dulu.

"Indonesia itu negeri yang indah. Tempat matahari bersinar hangat sepanjang tahun. Hutan hijau yang buas tapi menantang. Tapi orang-orangnya...."

"Kenapa dengan orangnya, Grand-pa?" tanya Rylan. Usianya tidak lebih dari tujuh tahun ketika mendengar cerita tersebut.

"Yah...mungkin sedikit primitif. Makanya perlu didatangi orang Eropa supaya bisa berkembang, karena kekayaan alam mereka sangat melimpah. Sayang bukan jika tidak dikelola dengan baik?" jawab grand-pa mengambang.

Hanya sedikit yang mampu diingatnya dari cerita-cerita yang menggambarkan betapa heroik sang leluhur. Tentu saja pikiran kecilnya dulu tak mampu menyesap informasi itu dengan utuh, mengenai apa yang terjadi.

Sekarang, beberapa jam lagi ia akan menginjak tanah yang sama. Tempat lelaki yang dikabarkan gagah dan bernama belakang sama dengannya itu pulang membawa nama sebagai patriot Britania. Tentu saja dengan urusan yang jauh berbeda. Ia datang ke Indonesia untuk mengambil hati gadisnya, yang bagi Rylan lebih berharga dari sesuatu apa.

Rylan menggumam, "Rasanya seperti mimpi masa kanak-kanak," diejanya perlahan nama negeri tempat hatinya terpaut.

"In-do-ne-si-a...."

Sampai akhinya ia tertidur bersama pikiran yang lelah. Baru terbangun karena desing pesawat ketika landing. Ia segera berkemas begitu aba-aba turun dari pesawat terdengar. Jakarta akan menuntaskan persoalan antara ia dan Nia. Tujuannya langsung ke kantor Nia. Masih terluang beberapa jam waktu kerja. Ia berharap dapat menemui Nia di tempatnya mengajar. Butuh perjalanan sekitar tiga jam sampai Rylan tiba, tapi kenyataannya Nia tidak ada.

"Bu Nia sedang ke luar kota. Tepatnya pulang ke rumah orangtuanya di Bengkulu," ujar seorang staf dengan bahasa Inggris fasih. Kekecewaan yang tergambar jelas di muka Rylan membuat perempuan bernama Annisa itu heran.

"Anda datang ke Jakarta tanpa memberitahu Bu Nia?"

Rylan paham. Tentu ini terdengar tak wajar oleh perempuan di depannya. Tapi Rylan membutuhkan informasi mengenai keberadaan Nia sekarang. Diceritakannya sedikit soal miskomunikasi di antara mereka selama ini. "Jadi saya harap Anda bisa membantu."

"Oh, begitu...." ujarnya berpikir sejenak dan teringat satu hal.

"Sebenarnya susah bagi saya berterus-terang. Bu Nia meminta saya tidak memberi informasi apapun tanpa seizinnya. Saya beri sedikit petunjuk, ia berasal dari Bengkulu, orangtuanya pun di sana. Saya yakin di sana tidak susah untuk menjumpainya, mengingat beliau akademisi sekaligus penulis yang cukup terkenal."

"Bengkulu?"

"Tidak sampai satu jam penerbangan."

"Thanks, Miss Annisa. Ini lebih dari cukup," jawabnya. Tergesa Rylan pamit dan kembali menuju bandara. Sekarang atau tidak sama sekali.

***

"Ndak ke mano, Nia?"4)

"Putar-putar saja dulu, Pak Uncu. Saya cuma ingin melihat-lihat seperti apa kota ini sekarang," katanya datar.

Uncu Leman, lelaki setengah tua itu menurut saja. Menelusuri jalan yang memanjang di tepi Pantai Panjang Gading Cempaka. Rumah-rumah kayu tak juga layu di makan usia. Dengan pemandangan lelaki nelayan bertelanjang dada memperbaiki jala di pekarangan. Masa kecilnya sering dihabiskan bermain di pantai. Darah bangsanya. Darah bangsawan Bengkulu mengalir deras, membuat ia tahu betapa menderitanya negeri ini dulu. Dijajah Inggris lalu diserahkan ke Belanda pada 1824 lewat Traktat London. Sebagai gantinya Inggris hengkang menuju Singapura. Terakhir dijajah Jepang, saudara tua Asia yang tak kalah kejam.

"Seperti ada engkau yang dipikirkan, Nia? Sampai pulang ke Bengkulu mendadak. Tak seperti biasanya."

"Entahlah, Pak Uncu. Sepertinya saya terseret persoalan masa lampau negeri kita. Darah keturunan salah satu depati negeri ini membuat saya gamang. Soal cinta dan perjuangan bertempur pada diri saya."

"Apa maksud akan kata-kata itu, Nia?" Uncu Leman bingung.

"Pak Uncu tahu leluhur saya. Ikhlas tobo kito 5) menasbihkan beliau pahlawan. Saat Bencoolen dikuasai kemaruk Thomas Parr, beliau bersama rakyat berjuang agar negeri ini tidak ditindas. Saya bangga dan ingin berbuat banyak. Banyak sekali."

Nia menghela napas dalam-dalam.

Tahulah lelaki itu sekarang, apa yang menjadi kegalauan Nia. Semangat anak muda yang jarang ditemuinya sekarang. Terlebih seorang perempuan "Sepantasnya begitu. Artinya engkau tidak menyia-nyiakan perjuangan mereka. Lalu apa yang salah? Banggalah menjadi bagian dari mereka, menjejak pada tempat yang sama dengan mereka. Hanya cara yang membedakan, karena kita hidup di zaman yang terpaut jauh."

"Bahkan jika nun jauh di Inggris sana, baru saja saya menjalin cinta dengan Rylan Parr? Saya benci nama belakang lelaki itu, seperti para depati membenci Residen Thomas Parr yang melukai rakyat kita dulu," rahangnya mengeras. Membatu.

Lelaki di samping Nia tertegun. Barulah paham sekarang, kenapa tiba-tiba gadis gigih itu mendadak pulang.

"Masya Allah. Soal ini saya tak bisa berkata apa-apa. Sepanjang yang saya pahami, tidak ada dosa warisan. Hanya itu."

Nia tertawa. Agak lapang, karena baru kali ini ia bisa bercerita tentang perasaan pada lelaki yang dikenalnya puluhan tahun. Sejak Uncu Leman bekerja pada ayahnya ketika ia kanak-anak.

"Tidak apa-apa. Teruslah mengemudi, Pak Uncu. Kita berkeliling sampai Pasar Malabero, memutarlah di Tugu Thomas Parr yang dulunya mau dibongkar gubernur itu. Kita bisa duduk-duduk di depan Mount Felix. Siapa tahu ada jawabannya di sana." Nia meminta, dengan suara yang sekarang terdengar sendu.

"Boleh juga kalau begitu. Sekehendakmu saja, Nia."

***

Tak ada taksi di Bengkulu. Rylan menyewa mobil seorang bapak yang menyediakan jasa travel pribadi. Kota yang damai, yang sekarang ia sadari merupakan kota kelahiran Nia sekaligus tempat peristirahatan abadi lelaki yang bernama belakang sama dengannya. Thomas Parr. Mendadak bibirnya kelu.

"Jadi Anda datang ke sini hanya untuk menemui seorang gadis. Jauh-jauh dari Inggris? Ya, ya... siapa namanya tadi, Nia?"

"Nia Kusmira."

"Nia Kusmira? Pantas anak muda seperti Mister mengejarnya sampai ke Bengkulu. Gadis yang tak kalah tangguh dari moyangnya yang pahlawan. Saya tahu di mana rumahnya. Bahkan seisi kota ini tahu. Mari kita ambil jalan melewati Tugu Thomas Parr saja. Akan ada banyak sekali tentang sejarah, dan gadis itu tentunya."

Sopir travel terus saja bercerita. Bangga jelas tersemat di matanya menceritakan semua tentang Nia, para depati, Benteng Marlborough, kopi, lada, Thomas Parr....

Rylan Parr pias.

Catatan
1) "Residen itu telah mati karena tidak bisa mengikuti adat. Negeri kita jadi lading bertanam, tapi saudara sekalian tidak lebih berharga dari budak belian."
2) Semua ibu.
3) Nama untuk Bengkulu dulu.
4) "Mau ke mana, Nia?"
5) Kita sekalian, merujuk pada hubungan persaudaraan.

Zam Alano mengelola perpustakaan TBM Masure di Pulau Halmahera, Maluku Utara




(mmu/mmu)

Hide Ads