Kendi Ibu

ADVERTISEMENT

Cerita Pendek

Kendi Ibu

Fauziah Purwanti - detikHot
Jumat, 03 Mar 2023 16:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Kami sekeluarga tidak asing melihat ibu mengubur kendi-kendinya yang berisikan benda tak terduga. Namun kebiasaan ini sering dianggap tetangga sesuatu yang aneh, di luar logika, nyeleneh, main dukun, santet, dan segala tetek-bengek perklenikan. Hobi mengubur kendi ini bukan cuma diketahui antartetangga saja, nyaris satu kampung tahu kebiasaan ibu.

Ya, aku memang menganggap ini sekadar hobi. Mengubur kendi sudah menjadi kebiasaan ibu sejak dulu. Toh tak ada yang salah dengan itu, layaknya hobi para orang tua lainnya yang suka berkebun, menjahit, memasak, ataupun joget dan nyawer saat pesta hajatan. Aku sangat menanggapinya dengan santai.

Karena dianggap dekat dengan dunia klenik inilah pernah suatu waktu ada tetangga yang hendak bertemu ibu. Entah akal sehat mana yang membawanya datang ke rumah kami, orang itu percaya ibu dapat menyelesaikan persoalannya. Seperti biasa ibu menyambutnya dengan ramah tamah.

"Ada apa to, Dek jauh-jauh datang kemari?" tanya ibu ke pemuda itu sambil menyuguhkan secangkir teh melati hangat buatannya.

"Bu, saya yakin kendi ibu bisa bantu selesaikan masalah saya yang satu ini," ujar pemuda itu yang kemudian disusul dengan segudang kata-kata yang meluncur begitu saja bak tembakan peluru

Tak lama pemuda tadi pamit pulang. Aku melihat kekecewaan di wajahnya. Rupanya ibu menolak permintaan si pemuda tadi. Mana mungkin kendi bisa menyelesaikan berbagai permasalahan. Tapi ternyata, pikiranku itu salah besar. Justru dari sinilah cerita itu dimulai.

***

Anak mana yang berpikir bisa hidup tanpa sosok ibu? Mungkin di luar sana mereka ada, tapi jelas itu bukan prinsipku. Ibu yang menyiapkan segala kebutuhan anak-anaknya, mengurus saat sakit, bahkan sering menemaniku yang ketakutan tengah malam untuk pergi ke kamar mandi sendirian. Aroma vanila yang menempel di baju ibu selalu membuatku nyaman berada di sampingnya.

Kehangatan dan kelembutan ibu ternyata membuatnya menjadi tempat keluh kesah para tetangga. Tidak ada satu pun curhatan mereka yang tak mendapatkan respons ibu. Bu Irah, salah satu tetangga kami, saat itu datang ke rumah dengan tergopoh-gopoh. Diketuknya pintu rumah sekencang mungkin hingga seisi rumah kaget dibuatnya.

"Anak saya mau cerai, Bu. Tolong saya, pasti kendi ibu bisa melakukan sesuatu," katanya yakin.

"Begini, Bu...." ibu berhenti sejenak. "Baiknya ibu masuk dulu, kita bicarakan di dalam," lanjutnya, singkat.

Setelah berbincang panjang lebar, tanpa basa-basi ibu langsung menyiapkan kendi dan pergi ke rumah Bu Irah. Entah apa yang dilakukan ibu malam-malam begini di tengah hujan deras. Sesaat kemudian ibu kembali dan tak berkata apa-apa. Beberapa hari kemudian, kejadian yang diinginkan Bu Irah terjadi. Anaknya tak jadi bercerai.
Keberhasilan Bu Irah mencegah cerai anaknya akhirnya didengar para tetangga.

Tentu saja berita yang paling santer adalah keajaiban kendi ibu yang mampu menyelesaikan masalah. Berita ini akhirnya menyebar dari tetangga, kampung sebelah hingga ke antarkota. Layaknya konsultasi ke dokter, tiap hari makin banyak orang ke rumah untuk membicarakan masalahnya dengan ibu. Di luar ekspektasiku, ibu pun meladeninya dengan senang hati.

Entah kenapa hari itu ibu membeli banyak kendi. Jarang aku lihat pemandangan ini. Kendi berceceran di mana-mana. Di atas meja, lemari, lantai ruang tamu, teras hingga mengisi penuh di berbagai sudut rumah kami. Sesak rasanya melihat kendi di mana-mana. Tak lama kemudian segerombolan ibu-ibu antre di depan pagar. Dengan wajah sumringah ibu membagikan satu per satu kendinya.

"Berkat kendi masalah anak saya di sekolah sudah selesai."

"Untung ada kendi Bu Candra, masalah saya juga tuntas."

"Kamu beruntung Nisa, kendi ibumu bisa menyelesaikan masalah apa pun," seseorang berkata padaku tanpa kupedulikan.

Sebutan Kendi Ajaib kemudian menggema begitu saja di telingaku setelah peristiwa Bu Irah, Bu Tedjo, Bu Nuri, dan sejumlah ibu-ibu lainnya dari berbagai kampung merasakan manfaatnya. Inilah yang menjadi pemicu kenapa orang-orang antre di depan rumah. Mereka yang dulu membicarakan kebiasaan ibu sekarang berbanding terbalik. Katanya, kendi itu semacam penangkal sial. Hanya dengan menaruhkan benda-benda yang dianggap penyebab masalah maka semua persoalan bisa teratasi.

Mereka datang dengan berbagai permasalahan. Ada yang soal penyakit, himpitan ekonomi, masalah rumah tangga, pacar, bahkan ada juga tentang urusan tanah warisan. Syarat yang diberikan ibu cukup mudah, hanya memasukkan beberapa benda yang berkaitan dengan permasalahan dan menguburnya begitu saja. Tanpa ada doa-doa, petuah, jampi atau naskah kuno peninggalan nenek moyang. Anehnya, kendi ini hanya manjur apabila perempuan yang menguburnya, tidak berlaku sebaliknya.

Jika kendi bisa menyelesaikan masalah orang lain, apakah kendi juga pernah memberikan efek yang sama ke keluargaku? Batinku bertanya. Dipikir-pikir, keluarga kami memang jauh dari permasalahan. Bapak dan ibu akur-akur saja, di sekolah aku tidak menyalami kendala, kehidupan ekonomi kami pun baik, semua mulus seperti tanpa ada sedikit pun kerikil yang mengganggu. Apa jangan-jangan ini ada hubungannya dengan semua kendi yang dikubur ibu?

Lambat laun omongan tentang Kendi Ajaib dari para tetangga membuat bapak sedikit gerah. Sebab seluruh energi ibu hampir sebagian besar dihabiskan untuk kendi. Kini, aku atau bapak yang lebih sering mengingatkan ibu untuk istirahat.

Suatu ketika bapak protes. Ia bilang kendi-kendi itu tidak seharusnya dikubur. Apalagi ternyata barang-barang di rumah sedikit demi sedikit mulai berkurang karena dikubur ibu.

"Kadang, Pak ada barang-barang yang memang takdirnya dibeli untuk dikubur, bukan dipajang seperti guci, lukisan, pot bunga atau sejenis itu," kata ibu santai.

"Tapi kan, Bu halaman rumah kita isinya jadi kuburan kendi semua. Lama-lama rumah ini jadi rumah kendi," protes bapak.

"Ya kan halaman kita luas, Pak."

Bapak terdiam. Ia menghela napas, seolah setiap kalimat yang keluar dari mulutnya hanya sekadar senjata tumpul bagi istri kesayangannya itu.

***

Makin hari tamu yang datang makin banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Ibu meladeni mereka dari pagi hingga larut malam tanpa lelah. Ibu dan kendi seakan asyik bercengkerama, seperti anak kecil yang punya waktu tak terbatas memainkan boneka kesayangannya.

Makin hari pula muka bapak makin masam. Ia memandangi istrinya dalam diam, yang tengah sibuk menyambut tamu-tamunya. Cahaya yang dulu ia pijarkan kepada kami perlahan mulai hilang. Aku pun tak bisa berkata apa-apa. Seakan-akan kendi telah menyerap mentah-mentah kebahagiaan bapak dan mengubur kerisauan dalam dirinya.

Malam harinya aku melihat bapak membuka lemari. Memasukkan pakaian dan barang-barang yang masih tersisa di kamar. Ia pergi tanpa pamit. Satu-satunya yang bapak tinggalkan kepadaku hanya kecupan manis yang ia daratkan di dahi dan pelukan hangat yang lama tak aku dapatkan darinya. Bapak pergi. Tak lama kemudian, disusul suara ibu yang menjerit melihat langkah kaki suaminya yang perlahan-lahan mulai tak terlihat lagi.

Sejak kepergian bapak, ibu kembali menutup pintu rapat-rapat. Tak ada lagi tamu yang berdatangan. Kendi itu memang ajaib, mampu menyelesaikan permasalahan orang lain. Namun justru malah memberikan masalah baru di keluarga kami.

Rumah menjadi sunyi sepi, hanya sisa kami berdua. Dan, setelah aku melihat keliling isi rumah, barang juga mulai hilang satu per satu karena dikubur ibu. Termasuk buku pelajaranku, jepit rambut, baju, tali sepatu, dan beberapa benda lainnya yang aku sadari kini mereka sudah tidak ada lagi. Aku merasa kehilangan. Bapak yang tidak pulang, kakak yang tidak di sini, lalu barang-barang yang dulu aku anggap asing kini mereka seolah memiliki arti. Aku kesepian.

***

Ini kali kedua ibu mengambil kendi. Dibukanya penutup gerabah itu, dimasukkan berbagai barang-barang yang rasanya tidak asing dilihat: baju, sandal, kain jarit, bahkan hingga bumbu-bumbu dapur. Lalu diambilnya cangkul dan dikubur kendi itu di belakang rumah. "Semua kendi ini harus dikubur dalam-dalam," begitu katanya.

"Jangan sampai pecah ya, Nis. Pegang erat-erat kendinya," bisik ibu saat aku membantunya membawa kendi untuk dikubur.

Benar saja, aku yang kesulitan bawa lima kendi tak sengaja memecahkan kendi itu. Langkah ibu terhenti dan langsung menoleh ke arahku. Tidak ada raut wajah marah di sana. Hanya menatap nanar ke arah kendi dan tiba-tiba air matanya berjatuhan. Ibu menangis dalam diam seolah beban hidup yang sudah bertahun-tahun ditahan menghajarnya begitu saja.

Aku yang kebingungan lalu segera membereskan pecahan kendi berisikan barang-barang kesukaan bapak. Tak kusangka respons ibu begitu dramatis hanya karena satu kendi beserta isinya tumpah ruah. Aku tahu, ibu sengaja mengubur kendi itu dan berharap bapak pulang.

Aku hanya bisa memeluk ibu dan membiarkan semua beban yang pernah dipikulnya mengalir begitu saja. Ia terisak. Mungkin kini sudah saatnya ibu tidak lagi mengubur masalahnya bersama kendi dan tidak menjadikannya sebagai sebuah solusi. Ya, kendi memang memberikan hal-hal yang ingin dirasakan orang lain, tapi tidak mampu membawa bapak kembali. Jika kendi diibaratkan perasaan, mungkin sebaiknya ibu tak pernah mengubur kendi-kendi itu begitu dalam.



Simak Video "Buah Kejujuran OB Penemu Dompet Hotman Paris yang Hilang"
[Gambas:Video 20detik]
(mmu/mmu)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT