Pada Malam Ketika Selera Makan Si Gendut Hilang

ADVERTISEMENT

Cerita Pendek

Pada Malam Ketika Selera Makan Si Gendut Hilang

Salman Alade - detikHot
Jumat, 17 Feb 2023 16:00 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

"Sudah kamu tidak usah repot-repot lari, aku tidak akan mengejarmu." Sosok yang mematung kurang dari dua meter di hadapanku itu terperangah. "Kau bisa lihat sendiri kan, tubuhku sudah segemuk ini."

Si Gembel, begitulah aku biasa menyebutnya, diam di tempat. Kedua bola matanya yang lancip bergerak-gerak panik.

"Tidak usah lari," kataku lagi. Sejenak aku lemparkan tatapan pada keranjang sampah yang telah berhamburan isinya di sebelah si Gembel. Lalu aku menatapnya kembali. "Aku cuma ingin ngobrol."

Wajah si Gembel makin mengeras, seolah ia baru saja tersedak tiga butir kelereng. Aku tahu ia curiga kepadaku, dan itu bisa dimengerti, selama ini kami tidak pernah akur. Jangankan mengajak bicara, menyapanya saja aku tidak pernah.

Tetapi sungguh, aku tidak pernah menganggap si Gembel musuhku. Beberapa kali aku bahkan berusaha mengajaknya bercanda. Meski aku sadar, kadang candaanku lebih terlihat seperti upaya percobaan pembunuhan. He he he.

***

Semua bermula ketika beberapa waktu lalu Pak Tua meninggal.

Ia begitu sayang kepadaku, membawaku ke rumahnya sebagai teman untuk Salman, cucu satu-satunya. Pertama bertemu, Salman langsung akrab denganku, dia begitu menyayangi dan memperlakukanku seperti anggota keluarganya. Namun, penyakit jantung yang menyerang Pak Tua mencuri kebahagiaan Salman.

Sejak kematian Pak Tua, kuperhatikan Salman selalu murung, juga malas makan. Bahkan dia hanya berbicara seperlunya. Aku juga ikut bersedih. Baru saja kutemukan tempat berlindung setelah sekian bulan terlunta-lunta di jalanan. Kini Pak Tua --orang yang menyayangiku-- telah meninggalkanku.

Salman pernah bercerita kepadaku, di kota ini, orang-orang sering berpesta pora, melakukan makan besar sejak hari pertama hingga malam ketujuh ketika ada yang meninggal dunia. Mereka menyebutnya aruwa, doa arwah. Doa untuk orang yang meninggal dan pesta pora seperti tidak pas. Kontras, bukan? Kalian pasti bertanya-tanya. Kok mereka berpesta, alih-alih bersedih?

Malam itu, Salman mengajakku untuk ikut menghadiri doa arwah. Kami duduk di sudut ruangan. Salman berbisik kepadaku, dia mulai menceritakan segala perihal aruwa.

"Ma modu'a," si Imam Da'a --seorang imam yang memimpin doa-- telah memberi tanda bahwa sebentar lagi doa arwah akan dimulai.

"Bismillah," istri almarhum Pak Tua membalas ucapan Imam Da'a, pertanda doa sudah bisa dimulai, ya kurang lebih artinya silakan (jangan tanya kok bisa artinya berubah). Aku duduk sambil memperhatikan. Saat itu dupa mulai dihamburkan di atas bara di dalam polutube. Asap dan aroma dupa mulai menjalar di sudut-sudut ruangan, orang-orang yang hadir menundukkan kepala mencoba khusyuk. Doa dan zikir pun dimulai.

Lailahaillallah, lailahaillallah, lailahaillallah... mulai dilantunkan dari ritme paling lambat hingga perlahan menjadi cepat hanya sepersekian menit dibarengi dengan tubuh Imam Da'a dan beberapa tamu yang ikut berzikir mulai berguncang.

Salman kembali berbisik memberitahuku, "Aruwa sudah ada sejak lama, digelar untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Di acara ini, kami menyajikan makanan (aku lebih suka menyebutnya sesajen) yang digelar di lantai beralaskan kain putih di depan para tamu." Aku hanya duduk dan menyimak cerita Salman.

Katanya, kain putih itu adalah sisa-sisa dari kain kafan yang tidak terpakai dari orang yang meninggal. Beraneka makanan digelar di atas kain putih itu, mulai dari makanan berat dan manisan pencuci mulut.

"Salah satu hidangan yang wajib disajikan adalah tiliaya, sebentuk agar-agar manis dari putih telur. Konon ini adalah manisan para raja Gorontalo zaman dulu, tak heran ia selalu jadi yang pertama habis di setiap aruwa. Semua orang memperebutkannya, termasuk aku," terang Salman sambil menjilat bibirnya.

Aku melongokkan kepala, melihat makanan yang dimaksud Salman. Terlihat kenyal, cokelat, dan ugh, menjijikkan! Sama sekali bukan seleraku.

"Nasi kuning, sepiring garam dan rica, juga semangkuk air diletakkan di bagian tengah sisi kiri dan kanan kain putih yang membentang di depan para tamu. Orang-orang di kota ini meyakini itu bukan sekadar hiasan. Gundukan nasi kuning di atas piring kecil itu diibaratkan gunung, sedangkan garam dan semangkuk air diibaratkan lautan, mereka menjadikan ini sekat antara tamu undangan yang duduk bersila saling berhadapan," Salman terus menjelaskan panjang lebar kepadaku, selera berceritanya mulai kembali.

"Orang-orang terdahulu meyakini bahwa urusan makan pun harus punya aturan. Tamu undangan aruwa harus mengambil makanan yang ada di dekatnya terdahulu, sebelum mengambil makanan yang jauh dari tempat dia duduk supaya dianggap tidak melampaui gunung dan lautan hanya untuk mengambil makanannya." Aku masih menyimak.

Ada satu yang belum kutemukan jawabannya, kata orang-orang yang hadir malam itu, makanan yang disajikan keluarga Pak Tua tidak ada yang enak. Aku juga merasakan hal yang sama. Ada yang berkomentar sambil berbisik, kan itu makanan untuk orang mati, atau kan makanan itu sudah didoakan, dan kalau sudah didoakan bukannya harus lebih enak? Aku penasaran tetapi aku harus menunggu sampai semua tamu itu pulang. Aku akan mencoba semua makanan di doa aruwa, kalau keluarga Pak Tua mengizinkanku.

Sejak kehadiranku di rumah ini, aku merasakan gelombang ketidaksukaan dari istri dan anak-anak Pak Tua. Entahlah, mereka mungkin menganggapku penyusup di keluarga mereka. Dengan meninggalnya Pak Tua, entah apa yang akan terjadi padaku. Sehari setelah Pak Tua meninggal, ibu dan ayah Salman mengajakku berjalan-jalan dengan mobil hitam kesayangan Pak Tua. Begitu di tengah perjalanan, mereka memaksaku untuk keluar dan meninggalkanku di jalanan. Sungguh aku sangat ketakutan. Aku menangis.

Sementara di rumah Pak Tua, Salman menyadari ketiadaanku. Dia mulai mencari-cari ke semua ruangan di rumah itu hingga ke gudang. Dia tidak menemukanku. Bi Ina, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di rumah itu, memberi tahu kalau aku telah dibawa oleh ibu dan ayah Salman. Bi Ina kasihan kepadaku. Selama aku tinggal di rumah itu dia yang selalu mengatur makanan untukku.

Mendengar cerita Bi Ina membuat Salman marah. Wajahnya menyala seperti api. Dia menangis dan bergegas ke luar rumah mengambil sepeda kesayangannya, menyusuri setiap jalanan, ingin mencariku sampai ketemu.

Di sebuah jalan gelap tepi sawah, sekitar satu kilo dari rumah Pak Tua, Salman akhirnya menemukanku. Dia mengenali suara tangisku dan segera menghampiri. Dia memelukku dan ikut menangis. Aku langsung dibawanya kembali ke rumah Pak Tua. Sejak itu Salman kesal kepada ayah dan ibunya. Kematian Pak Tua dan insiden pengusiranku dari rumah itu membuat rasa sedihnya semakin menggunung. Beberapa hari terakhir dia mogok berbicara dengan siapa saja, kecuali aku, satu-satunya teman dia bercerita.

***

Aku kembali datang di rumah ini. Rumah keluarga si Gendut, yang kerjaannya makan terus. Dia tidak sadar bahwa dirinya itu babu, hanya dianggap penjaga rumah.

Aku suka datang ke rumah ini. Mereka suka membuang makanan sisa di tempat sampah yang mereka letakkan di belakang rumah. Makanan sisa itu enak-enak. Kalian tahulah makanan orang kaya. Aku seperti menemukan surga makanan. Lalu, si Gendut itu datang. Matanya yang tajam langsung mengirimkan isyarat permusuhan. Hidungnya yang mancung itu selalu mendengus tak sabar setiap melihatku datang.

Pernah sekali waktu ketika aku sedang asyik menyantap piza sisa, ia tiba-tiba datang dan langsung menamparku, mengataiku pencuri. Melihat badannya yang lebih besar dariku, aku ciut, dan segera kabur dari tempat itu. Tentu saja ia berusaha mengejarku. Untung saja ia gendut. Ia ngos-ngosan. Dengan mudah, aku lolos darinya. Hanya ia satu-satunya di rumah itu yang tahu kalau aku suka mengendap-endap dan mencari-cari makanan di tempat sampah keluarga itu.

Malam ini, aku kembali mengendap-endap di dalam kegelapan. Sesekali aku percepat langkahku dan memastikan gerak-gerikku tidak tercium oleh si Gendut. Aku mulai beraksi. Aku diam-diam mendekati pintu dapur rumah ini. Aku tahu keluarga ini masih tenggelam dengan kesedihan karena Pak Tua meninggal. Kalau aku hitung-hitung, ini malam kelima mereka berpesta. Pasti ada lebih banyak makanan malam ini.

Ketika mendengar kabar duka di rumah itu, aku bersorak senang. Akan ada perayaan duka. Aroma rempah-rempah yang menyengat terus memaksaku mendekati rumah ini. Pasti mereka punya makanan enak. Aku tidak akan kelaparan lagi selama beberapa hari ke depan.

Sejak malam pertama digelar aruwa, begitu aku mendengar orang-orang di kota ini menyebutnya, aku sudah ingin bertandang ke rumah keluarga si Gendut, tetapi usahaku selalu gagal. Aku gagal mendapatkan daging ayam incaranku. Hari kedua, ketiga, dan keempat pun sama, aksiku masih tidak berjalan mulus. Di dalam keremangan, aku terus mencoba mendekati pintu dapur rumah ini, masih juga gagal. Aku menangkap kehadiran si Gendut lewat bayangan. Padahal tanganku sudah gatal sekali ingin membongkar tempat sampah itu.

"Mereka suka berlebihan memasak makanan, lalu mereka juga yang tidak mampu menghabiskan makanan itu. Akhirnya makanan itu berakhir di tempat sampah, giliranku ingin mengambil sisa makanan dari mereka, kalau ketahuan mereka langsung mengusirku. Ada-ada saja yang menghalangi langkahku termasuk si Gendut. Dasar orang-orang mubazir." Aku menggerutu, perut yang lapar membuat aku semakin emosi.

Apa mereka tidak kasihan denganku? Apa karena tubuhku yang hitam, dekil, dan berbau membuat mereka jijik melihatku? Padahal, sebenarnya aku tidak suka mencuri, tapi kalau aku tidak mencuri, aku tidak makan. Keluargaku tak pusing aku makan atau mati. Aku sudah lama tak peduli.

Cacing-cacing di perutku yang terus memberontak membuatku semakin nekat. Aku mengatur napas dan ritme langkahku. Malam ini aku tidak boleh gagal.

Semakin pekat malam, tubuhku semakin tidak akan terlihat oleh siapa saja, kecuali si Gendut itu. Mataku awas sejak tadi. Benar dugaanku, orang-orang di rumah ini masih sibuk, termasuk si Gendut. Aku tetap berhati-hati, sesekali berhenti, kemudian kembali mengendap-endap. Aku sepertinya keturunan pencuri ulung. Detik-detik menegangkan berlalu, samar-samar aku mendengar suara Imam Da'a memandu doa dan zikir dari arah ruang tamu rumah, ritmenya semakin meninggi, pertanda sebentar lagi doa akan selesai dan mereka akan segera makan-makan besar. Yes... aku berhasil mendekati tempat sampah incaranku.

Aku mulai mengeruk isi tempat sampah itu, tanganku mulai mencari di antara tumpukan sampah plastik. Sepertinya daging ayam incaranku ada di paling bawah. Aku terus mengeruk. Saking bersemangat aku merobohkan tempah sampah itu. Seluruh isi tempat sampah itu terhambur keluar. Aku sedikit was-was akan kegaduhan kecil yang baru saja kutimbulkan, tetapi aku kemudian menyadari, kegaduhan itu sedikit menguntungkanku. Aku mulai mencium daging ayam incaranku, tanganku semakin lincah membongkar-bongkar sampah itu. Akhirnya aku menemukannya. Namun, aku kalap, lupa berhitung dengan keadaan.

Si Gendut sudah berdiri di pintu dapur. Aku menjatuhkan daging ayam yang telah susah payah kutemukan. Aku menatapnya balik, mencoba berani. Makanan ini sudah dibuang, harusnya ia tak perlu repot mencegahku mengambilnya. Dasar pelit!

Dia menangkap amarah di kedua mataku. Aku telah bersiap untuk kabur, tetapi dia malah menahanku. Perlahan dia mulai mendekat dan malah tertawa. Padahal aku sebenarnya ketakutan karena tertangkap basah.

"Sudah kamu tidak usah repot-repot lari, aku tidak akan mengejarmu. Tubuhku sudah segemuk ini." Dia terkekeh dan menyeringai kepadaku

Si Gendut, begitulah aku biasa menyebutnya. Aku malah akhirnya ikut tertawa dan kami pun mengobrol.

Aku lupa pada perutku yang lapar.

"Sudah beberapa malam terakhir ini, aku kecolongan. Ibu Salman sering mendapati tumpukan sampah berserakan. Aku tahu itu pasti ulahmu. Kau pasti diam-diam memanfaatkan situasi berduka di rumah ini untuk mengisi perutmu juga, kan?"

Aku diam. Gelisah. Apa sebaiknya aku kabur saja?

***

"Sudah beberapa malam terakhir, Ibu Salman mengomel. Kamu masih kurang piawai. Lain kali, kamu harus makan dengan cantik." Ia mengunyah sambil mendengarku bercoloteh. Ayam goreng yang tadi ia jatuhkan sudah ada di mulutnya.

"Kau kan bebas bisa memakan sepuasnya. Aku tidak akan mengganggumu. Tapi, bisakah kau tidak mengobrak-abrik sampah sampai berantakan?"

Ia masih mengunyah. Matanya lurus melihat entah apa dalam kegelapan di depan kami.

"Beberapa hari terakhir ini aku sepertinya telah kehilangan selera makanku." Si Gembel itu kini melihatku. Ia berhenti mengunyah dan bilang, "Kok bisa?"

Aku menggeleng lalu lanjut berkata, "Malam ini sudah malam kelima doa aruwa digelar. Selepas semua tamu pulang, cucu Pak Tua membiarkanku makan di dapur sendiri. Aku bersyukur, masih ada yang memperlakukanku dengan baik setelah Pak Tua meninggal." Aku berbicara dengan nada sombong kepada si Gembel. Ia tampak tak suka.

"Aku telah mencoba semua makanan aruwa --ayam goreng, oci bakar, bilendango, mujair-- pada beberapa malam ini dan rasanya tetap sama. Bahkan tadi, cucu Pak Tua itu telah menyiapkan tuna kesukaanku. Aku sangat menyukai tuna karena aroma khasnya yang selalu bikin perutku lapar. Aku segera menyantap tuna itu, tetapi rasanya masih tetap sama. Hambar."

Si Gembel kembali mengunyah. "Dari kecil, aku sebenarnya sudah tidak bisa membedakan rasa makanan. Namun, beberapa hari terakhir ini, aku kehilangan selera makanku. Aku pernah bertanya-tanya apakah Tuhan sedang mengutukku, atau aku mengidap penyakit aneh, atau karena perasaan sedih atas kematian Pak Tua dan juga percobaan pengusiran kepadaku beberapa hari yang lalu?"

"Sayang sekali, padahal kau sudah tinggal di rumah mewah ini." Itu kalimat terpanjang sejak kami mulai mengobrol malam ini.

"Itulah. Tapi aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda malam ini. Aku sering melihat teman-temanku menyantap daging yang sepertinya dapat mengobati selera makanku."

Ia menoleh kaget dan terlambat menyadari apa yang akan kulakukan malam itu.

***

Di halaman belakang rumah Pak Tua yang baru saja meninggal lima hari lalu, seekor kucing gemuk berdiri puas. Ekornya yang berwarna belang bergoyang-goyang riang. Ia baru saja menyantap daging terenak sepanjang hidupnya.

Salman Alade dosen Bahasa Indonesia di IAIN Sultan Amai Gorontalo



Simak Video "Reaksi Ma'ruf Amin Usai Nonton Film Buya Hamka"
[Gambas:Video 20detik]
(mmu/mmu)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT