"Koen, sebaiknya kamu tidak berteman denganku karena aku mudah sekali mencintai lelaki," Sita membuka percakapan di suatu sore yang dipenuhi dengan rintik-rintik hujan yang tipis. Setipis hati Sita yang selalu saja mudah jatuh cinta dengan lelaki yang dekat dengannya.
"Aku tak berniat mencintaimu, Sita. Jadi tak usah kamu mengkhawatirkanku. Kamu pun tahu kalau aku punya kekasih," Koento membalas peringatan Sita sembari mengisap kretek yang sudah separuh terbakar.
"Tetap saja. Aku tak menjamin bahwa nanti kamu tak ada affair denganku. Aku tak mau menjadi peretak hubungan orang lain untuk kesekian kali." Setelah mengucapkan kalimat itu, Sita menolehkan kepalanya untuk melihat reaksi Koento yang duduk persis di sampingnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koento membalas tatapan Sita. "Sejauh ini aku masih mencintai kekasihku dan sama sekali tak ada ketertarikan padamu, juga tak berniat untuk menjalin hubungan apapun denganmu selain pertemanan."
"Bukan itu masalahnya. Aku yang menjadi titik masalah. Aku belum bisa tidak jatuh cinta pada lelaki yang dekat denganku. Bahkan aku bisa jatuh cinta dengan lebih dari satu laki-laki dalam waktu bersamaan. Bukan aku mudah terkena rayuan. Hanya saja aku mudah sekali jatuh cinta tanpa lelaki itu melakukan banyak hal padaku."
Sita pernah mencintai Bagas yang hanya duduk diam di suatu sudut kota. Sita melihat bibir Bagas yang sedang mengembuskan asap rokok. Bibir bawahnya maju setengah senti, bibir atas mengatup dengan menyisakan sedikit rongga untuk asap rokok yang keluar dari mulutnya. Belum sampai menghilang asap itu, perasaan cinta menembus relung hati Sita.
Sita mengenal Bagas sebagai teman mengobrol yang asyik. Bagas yang pemarah, terkadang semena-mena dengan Sita, tak mempertimbangkan perasaannya, memanfaatkan perasaan Sita demi kepentingannya, hingga membuat Sita terpuruk sampai tak ingin hidup. Namun, Sita tetap mencintainya.
Cukup lama Sita mencintai Bagas. Dua puluh tiga tahun. Laki-laki yang Sita cintai paling lama. Sampai saat ini pun Sita masih mencintai Bagas yang sudah berada di dunia lain. Bagas mengembuskan napas terakhir di pangkuan Sita saat mendaki Gunung Sumbing. Sebelum meninggal, Bagas mengucapkan: "Aku mencintaimu. Maaf terlambat menyadarinya."
Suatu kali, Sita pernah sangat merindukan Bagas. Ia hanya mampu memandangi kenangan-kenangan yang tersimpan di akun Instagram Bagas. "Aku memang begitu mudah mencintai lelaki, tetapi mudah pula melupakannya jika lelaki itu tak berada di sekitarku lagi. Hal yang tersulit bagiku ialah melupakanmu."
Bagi perempuan seperti Sita, hanya perlu satu kenangan dari sosok laki-laki yang mampu menembus bagian terdalam di hatinya. Hanya sosok Bagas seoranglah yang mampu berlama-lama dicintainya. Selagi mencintai sosok Bagas yang telah tiada, beberapa laki-laki telah singgah di hati Sita tanpa pernah menambatkan cinta mereka.
Setelah percakapan sore itu, Sita semakin tak bisa mengendalikan cintanya pada Koento. Bahkan saat lelaki berperawakan ceking dengan rambut gelombang yang dibiarkan memanjang tanpa pernah diikatnya tak melakukan apapun.
"Mengapa kamu tak pernah mengikatnya?"
"Bukankah terurai lebih bagus?"
"Iya juga sih. Kamu merawatnya dengan baik, melebihi aku sebagai perempuan. Apa pernah kamu berambut pendek?"
"Pertanyaan tidak bermutu sama sekali. Mana ada lelaki yang tidak pernah berambut pendek, sama halnya perempuan mana ada yang tidak pernah berambut panjang? Memangnya aku hidup di zaman Balaputradewa."
"Eh, siapa itu? Bala siapa?"
"Kamu tak tahu Balaputradewa? Ke mana saja selama kuliah di sejarah?"
"Ya, tidak ke mana-mana."
"Justru karena kamu tak ke mana-mana, akhirnya tak tahu apa-apa. Nanti aku pinjami buku-buku supaya kamu banyak referensi sejarah. Aku jadi penasaran, apa alasanmu memilih jurusan sejarah?"
"Temanku yang memilihnya karena dia suka sejarah dan ingin kuliah bareng aku tapi malah diterima di universitas lain dan jurusannya tetap sejarah. Itu pilihan ketiga jadi aku cuma tak ada pilihan saja, daripada tidak kuliah. Waktu itu, aku berpikir untuk jalani saja. Sesederhana itu sih alasanku."
"Pantas saja, sekelas Balaputradewa tak mengenalnya. Cuma, kamu parah banget. Itu tokoh terkenal di zaman Sriwijaya karena raja termasyhur, bisa-bisanya kamu tak mengenalnya?"
"Ah, sudahlah. Mau meminjamkan buku tidak nih?"
"Loh, kok malah ke buku sih?"
"Bukannya, kamu tadi mau meminjamkannya?"
"Iya, tapi kamu keterlaluan sekali sampai tak tahu Balaputradewa."
"Makanya, pinjamkan aku buku-bukumu biar aku jadi pintar, bisa melampaui kepintaranmu."
"Hahaha...Bisa saja."
Sita memperoleh asupan buku dari Koento secara intens. Hampir setiap minggu keduanya bertemu untuk bertukar buku dan pikiran. Hati Sita makin tertambat pada Koento dan semakin tak bisa melepaskan diri dari jerat-jerat cinta. Koento juga semakin lekat lagi pekat dalam memberikan perhatian-perhatian, terkadang disadarinya, terkadang alami, semacam kenyamanan yang tak tertahankan.
Koento mengajak Sita ke Kafe Melamun untuk melihat-lihat koleksi buku-buku lawas di sana. Saat Sita melihat-lihat deretan buku, Koento berdiri persis di belakangnya, nyaris tanpa jeda.
Sita merasakan panas tubuh Koento sehingga hatinya bergemuruh, namun tak kuasa menolaknya. Adegan sepintas itu dilihat oleh pemilik kafe dan ia meminta izin untuk memotret mereka berdua yang sedang memilah buku. Koento secara refleks beringsut dari Sita dan berkata, "Jangan perlihatkan wajah, Mas."
Pemilik kafe menyadari hubungan Sita dan Koento sehingga foto mereka tak pernah diunggah di Instagram bernama sama dengan toko buku itu.
Koento khusuk melihat-lihat buku sedangkan Sita menatap sebuah kertas dan pena yang tergeletak di salah satu sudut rak buku.
"Mas, boleh minta kertas dan pinjam penanya?"
"Silakan dipakai aja, Mbak."
Sita menggoreskan tinta pada kertas bergaris, gores dan coret berulang kali hingga akhirnya ia menemukan diksi-diksi yang seksi untuk lelaki yang telah mengisi hatinya dengan cinta tanpa permisi.
"Bacalah."
Koento membaca sajak itu dan menatap Sita dengan seulas senyum.
Mungkin, kamu tak akan pernah menemukan,
Perempuan yang mencintaimu setulus aku,
Tiada hasrat ingin memilikimu,
Hanya ingin berbahagia tanpa ada luka.
Koento melipat kertas bertuliskan sajak itu dan membentuk origami burung bangau, lalu memberikannya ke Sita.
"Kenapa dibentuk seperti itu?"
"Simpanlah."
Malam itu menjadi tak terlupakan dan untuk pertama kalinya Sita menerima origami burung bangau. Puluhan bait sajak pun tercipta dari tangan mungil Sita dan lagi-lagi Koento menjadikannya origami burung bangau. Sita menyimpan origami burung bangau itu ke dalam toples bening.
"Empat puluh sembilan," gumamnya saat menghitung jumlah origami burung bangau itu.
Sita meletakkan toples bening itu di meja dekat rak berisi buku-buku milik Koento yang belum sempat dikembalikan. Memang sengaja belum dikembalikan karena sebagian masih digunakan untuk mengerjakan tugas kuliah dan sebagian lagi tak ingin dikembalikan karena di sana ada sketsa-sketsa Koento dengan beragam mimik dan perilaku. Sita menggambarnya saat sedang suntuk dan teringat dengan Koento. Salah satu sketsa wajah buatannya dijadikan foto profil media sosial Koento. Sita merasa sangat tersanjung dan memberanikan diri bertanya dengan Koento.
"Kekasihmu tak menanyakan siapa yang menggambar foto profilmu?"
"Dia tak peduli."
"Hmm...Kalau aku jadi kekasihmu pasti sudah menanyakannya."
"Syukurlah kamu bukan kekasihku."
"Apa kamu masih tidak tertarik padaku setelah sekian lama bersamaku?"
"Tidak. Aku masih mencintai kekasihku."
"Lalu perhatian yang kamu berikan padaku itu apa?"
"Perhatian sebagai teman, tak lebih."
"Lalu, mengapa kamu selalu membuat bangau dan menyuruhku untuk menyimpannya?"
"Apa kamu sudah bisa membuat bangau itu?"
"Kamu tidak pernah menyuruhku untuk membuat bangau itu."
"Sebaiknya kamu mulai belajar membuatnya."
"Untuk apa?"
"Berapa bangau yang sudah terkumpul?"
"Empat puluh sembilan."
"Masih banyak kurangnya. Masih sembilan ratus lima puluh satu lagi. Buatlah sebanyak itu."
"Tak bisa kah kamu mengatakan alasannya?"
Koento melengos dan melambaikan tangannya kepada perempuan yang masih terpaku dengan pikiran tentang bangau-bangau itu.
Sita mulai belajar membuat origami bangau seperti saran Koento. Berulang kali ia mengalami kegagalan karena tak mahir dalam urusan prakarya. Perempuan berambut belah tengah itu bersikeras untuk bisa membuat origami bangau. Ia tak peduli berapa ratus lembar kertas yang telah dipaksa untuk memenuhi hasratnya. Satu origami bangau dari dua ratus tiga belas kali percobaan pun terbentuk sempurna.
Sita pun membait puisi dalam kertas yang dibentuk origami bangau tanpa Koento harus membacanya secara langsung. Sita dan Koento sudah jarang bersua. Bukan ghosting, semacam menjauh secara perlahan karena situasi yang tak mempertemukan mereka saja. Keduanya masih saling berkomunikasi sehingga rasa cinta Sita tak bisa sirna dengan mudahnya. Ia hanya mengirim bait-bait puisi yang ditulisnya melalui pesan. Tak ada kata-kata apapun dari Koento sebagai balasan. Hanya emoticon love, selalu saja seperti itu.
Sita tak pernah mempermasalahkannya. Ia tetap saja mengirimi Koento bait-bait puisi itu hingga tak terasa berjumlah sembilan ratus sembilan puluh sembilan.
"Sita, biarkan aku membuat sebait puisi yang ke seribu."
"Bagaimana kamu tahu tinggal satu lagi? Apa kamu menghitungnya?"
"Iya, aku menghitungnya dan aku rasa inilah waktu untuk mengakhirinya. Aku tak ingin kamu terlalu lama berharap padaku. Mari kita bertemu?"
Sita membaca berulang kali pesan itu. Hatinya terasa sakit sekali. Pesan itu seperti sembilu yang menggores hatinya hingga terluka.
Sita menganggap pertemuan ini adalah sebuah perpisahan. Ia pun menginginkan untuk bertemu Koento di pantai. Keduanya pergi secara terpisah dan bertemu tepat setengah jam sebelum senja perlahan mulai menghilang.
Hening menyelimuti hati Sita dan Koento yang duduk bersebelahan di atas pasir. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya tiga puluh sentimeter saja. Mereka saling pandang, lalu Koento memberikan secarik kertas bertuliskan sebait sajak.
Ada batasan di mana aku tak bisa
Mengungkapkan perasaanku,
Mencintaimu bukan kesalahan,
Tapi kenakalan manis dari sebuah rasa.
Sita terisak saat membaca baris ketiga. Ia memandang Koento dan memeluknya.
"Maafkan aku, Sita. Kamu harus menunggu selama itu. Kekasihku baru saja mengembuskan napas terakhirnya seminggu yang lalu karena kanker tulang. Aku tak tega meninggalkannya meski ia tahu aku mencintaimu. Aku tak ingin kamu sakit hati dengan terus berharap padaku. Tapi ternyata kamu begitu setia menungguku. Rasanya tak pantas bila aku membiarkanmu menungguku lebih lama. Karenanya aku memintamu membuat bangau-bangau itu supaya kamu bisa membaca maksudku. Sepertinya kamu telah membuat harapan dan terkabul."
"Aku sudah hampir menyerah."
"Terima kasih sudah menungguku."
Sita meremas secarik kertas bertuliskan: "Bangau-bangau itu pergi meninggalkan sawah yang telah lama menjadi penghidupan. Selamat tinggal, Koen."
Mereka pun meninggalkan pantai sembari berpaut jari-jemari.
September - Desember 2022
Puteri Soraya Mansur tinggal di Muara Bulian, Batanghari, Jambi; telah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul 'Among-among' (2016) dan kumpulan puisi 'Peri Cantik Untukmu' (2017)
(mmu/mmu)