Tiga malam perahu itu terapung-apung di tengah lautan tanpa seorang pun di dalamnya. Perahu itu berjalan ke mana angin berembus dan ombak mengempas.
Bendera di ujung tiang perahu itu berkibar-kibar: sebuah kain persegi empat, lebih kecil dari taplak meja, dengan gambar gagak hitam cukup besar dengan dua bola mata sedikit memelas, dan di bawah kaki gagak itu tertempel huruf J.Q tanpa siapa pun tahu apa maknanya kecuali si pembuatnya. Bendera berwarna merah dan sedikit memudar itu terus berkibar selaju embusan angin.
Tak ada yang mencolok selain bendera itu, juga sepotong nama di lambung perahu bagian kiri: Talatabis (tanpa gambar unyil atau hal-hal lainnya). Tetapi dulu, sebelum tertindih warna-warna lain seiring waktu, di lambung bagian kiri itu terdapat gambar seorang lelaki tua berjanggut lebat, duduk bersila di atas sajadah kuning emas, dan di bawahnya membujur sebuah nama: Empu Mahasyura. Sementara kini warna biru pada sisi bagian kanan perahu begitu kusam, di sisi lain warna biru itu sudah digantikan warna cokelat kehitaman. Dan perahu itu tidak terlampau besar, tetapi pula tidak sekecil yang dibayangkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu kini, perahu itu bagai hanya sebuah papan atau sebongkah kotoran yang sengaja dibiarkan hanyut di lautan.
Sungguh pun demikian, perahu itu mulanya membawa seonggok beban, mungkin tidak sampai 60 kg. Tidak begitu gempal, tentu saja, dan tidak terlampau kerempeng. Jannoko, tiga satu tahun, dipanggil Jan atau No atau Ko, dan karena alasan tertentu teman-temannya memanggilnya Tarebung, sejenis nama pohon yang tumbuh menjulang.
Jannoko tinggal bersama istrinya di sebuah rumah tidak begitu besar di pulau. Rumah itu Jannoko warisi dari kakeknya. Yang indah dari rumah itu adalah halamannya yang cukup lebar. Istrinya gemar menyirami pot-pot berisi tunas-tunas mungil bunga Kamboja putih dan merah muda yang dari batangnya mencuat dua-tiga daun kecil hijau--sementara yang sudah berbunga lebih dari lima kali tertanam di tanah, ada empat Kamboja yang seluruhnya memiliki batang sebesar lengan orang dewasa--dan bunga-bunga lain yang memiliki daun-daun halus, dan kelopak-kelopak bunganya juga kecil-kecil bila rekah, dan sekujur kulit pada batang bunga itu dipenuhi duri.
Dari batangnya keluar cairan putih agak lengket bilamana batang itu tergores suatu benda atau saat sengaja dilukai dengan kuku atau silet. Juga bunga-bunga sedap malam di bawah pagar bambu halaman itu. Tak ketinggalan, tentu saja bunga mawar merah. Bunga itu sudah cukup tua usianya, dan rantingnya banyak sekali, lebat daun-daunnya, dan bunganya seolah menutupi seluruh daun-daunnya.
Mawar itu setinggi Jannoko. Anak-anak muda dan ibu-ibu kadang suka memetik mawar di halaman rumah Jannoko dan Julfa itu, dan gadis-gadis menyelipkan, sesekali, setangkai mawar itu di bagian belakang kepalanya, menyerupai sisir yang dibiarkan tersangkut di bagian rambut yang hitam.
Jannoko suka sekali duduk di halaman rumahnya di kursi di bawah pohon jambu biji yang tumbuh agak di sudut bagian kiri. Dan kadang, ketika kebetulan istrinya tengah menyiram pot-pot itu di pagi hari, sempat-sempatnya dia bersiul pada istrinya, bermaksud menggoda perempuan yang belum dikaruniai anak. Usia pernikahan mereka memang belum juga tiga tahun.
"Eh, kau dengar, cantikku. Aku sesungguhnya tidak memerlukan bunga-bunga jenis apa pun. Tidak di halaman atau di mana pun." Dan Jannoko segera melanjutkan, "Kau tahu, kau adalah bunga itu sendiri, Jul, cintaku. Jul, Julfa, kau dengar? Pasti kau pura-pura tidak mendengar."
Kalau musim hujan tiba halamannya meriah oleh capung-capung yang terbang di sore hari, ketika langit sewarna kunyit, dan sebelum langit akhirnya sehitam biji mata, kupu-kupu dengan bintik-bintik gelap dan sedikit kuning di bagian kedua sayapnya juga terbang di sana. Kadang-kadang terbang merendah tanpa membentur tiang-tiang penyangga teras rumah, dan kadang mendarat di tangkai pohon delima yang berbunga di bagian sudut lain halaman rumah.
Julfa merasa senang sebagaimana Jannoko manakala musim hujan telah jelang. Di malam hari mereka bisa memimpikan kupu-kupu dan capung-capung, dan di pagi hari aroma menyenangkan dari kelopak-kelopak bunga menenangkan hati mereka.
***
Dan Julfa dua malam tidak dapat tidur dengan nyaman. Bahkan nyaris dia tidak tidur dua hari dua malam sejak Jannoko tidak pulang ke dalam pelukannya. Risau sungguh hati Julfa saat suaminya itu tidak kembali dengan perahunya di hari yang seharusnya Jannoko kembali. Tak ada badai. Sekarang bukan musim angin salabung. Jadi ke mana Jannoko menghilang? pikir Julfa.
Hari itu Jannoko pergi ke tengah laut di Sabtu pagi sekira pukul sembilan. Jannoko pergi seorang diri, melempar jala di tengah laut. Jika dia pergi pada waktu itu, biasanya dia akan pulang sebelum jam empat sore, atau paling tidak pukul tiga. Dan kadang Jannoko, pada waktu-waktu tertentu, pergi melaut di pagi yang sangat buta. Lalu lain kali, dia dan teman-temannya, pada musim ikan teri, pergi ke tengah laut sesudah Subuh, dan bahkan sebelum azan Subuh dikumandangkan.
Semua orang baik yang punya jala atau kail atau tidak punya keduanya juga sama pergi ke tengah laut entah sendiri entah bersama; berdua atau bertiga atau berempat, atau bertujuh sekalian, selagi mereka memiliki kemauan menumpang perahu orang lain. Kecuali kapal besar, tapi tak ada kapal besar di pulau itu, bolehlah dua puluh orang saling bersisian di dalamnya. Perahu-perahu itu lantas menyebar di mana saja di tengah-tengah lautan.
Jannoko sendirian hari itu. Berbekal serantang nasi dan tiga ikan Lunjur masakan istrinya, dia berangkat dengan bersenandung kecil. Sebelum naik ke atas perahunya dia berdoa; semoga bertemu kembali dengan istrinya. "Tuhan," katanya, "sebetulnya hamba tiada tega meninggalkan Julfa sendirian. Bahkan meski siang hari, kesepian kadang menyerupai rubah putih. Tolong hamba, Tuhan. Amin."
Meski Jannoko telah berdoa, dia tidak pernah kembali. Hanya perahunya yang akhirnya tiba di pantai setelah tiga malam tiga hari berjalan selaju angin. Perahu itu ditarik dengan satu tali yang diikatkan ke perahu lain sebab mesinnya mati. Satu hal yang pasti, di lantai perahu Jannoko ceceran bekas darah telah mengering. Orang-orang menjadi yakin kalau itu darah Jannoko.
Jannoko dibunuh oleh entah siapa, pikir mereka. Tapi pikiran aneh lain juga muncul: jangan-jangan Jannoko sengaja melompat ke laut, sementara darah yang tercecer dan sudah mengering tiada lain adalah darah yang muncrat dari rahang ikan. Di lantai perahu memang ada tiga ekor ikan seukuran telapak kaki dan telah layu.
Dan tak ada yang segembira Julfa manakala perahu itu tiba tanpa Jannoko di dalamnya, bahkan jika itu mayatnya, dan hanya rantang berisi sisa nasi yang telah kering dan ikan Lunjur itu tinggal satu biji. Julfa senang, sebab dia yakin dengan bukti yang ada, bahwa suaminya tetap setia padanya sampai ajal.
"Jannoko pergi dengan kesetiaan tetap mengalir di dalam dadanya," pikir Julfa, dan dia, di antara banyak orang di pantai itu, mengusap kedua matanya dengan lengannya. Julfa berpikir itu lebih baik ketimbang misalnya Jannoko ditemukan mati di dada perempuan lain.
Jannoko jadi cerita dari bibir ke bibir hingga bulan-bulan kemudian; tentang sebuah kemalangan, dan tahun-tahun berikutnya Jannoko masih sesekali diingat dalam obrolan sesekali. "Pernah terjadi hal menyedihkan," ucap seseorang. "Ya, pernah terjadi hal menyedihkan, dan semoga tidak terjadi lagi."
"Semoga tidak akan pernah terjadi lagi seperti Jannoko." Mereka tengah berdiri di bibir pantai dengan tatapan mata lurus ke depan, ke jauh tempat, dan mereka selayaknya orang-orang yang tengah mengadakan sebuah upacara inagurasi bagi sesosok arwah.
Perahu Jannoko yang juga warisan kakeknya itu dibiarkan begitu saja di tepian, dan mungkin beberapa waktu lagi perahu itu akan hancur. Lambungnya berlubang karena hempasan gelombang dari saat ke saat, dan jangan tanya bagaimana lumut-lumut hijau beranak-pinak di sekujur tubuh perahu, dimulai dari bagian bawahnya. Kalau laut pasang, perahu itu penuh air. Kalau surut, perahu itu miring ke sebelah kiri dan dipenuhi lumpur juga kepiting.
Bendera di ujung tiang masih berkelepakan dipukul angin, dan tidak lebih sekadar itu, dan burung-burung laut begitu senang menikmati sore hari dengan bersantai pada bagian tertentu perahu itu. Misalnya pada bambu yang lengkung dari tiang ke buritan. Dan burung itu, kerap kali, pada malam-malam dingin menjeritkan suara teramat pilu. Dari saking pilunya, beberapa orang yang mendengar menghubung-hubungkan suara itu dengan hantu Jannoko yang mungkin kesepian dan kedinginan.
"Tidakkah kau dengar suara menyayat hati itu?"
"Apa kau dengar?"
"Suara itu begitu parau dan sedih. Kadang aku juga merasa kedinginan dan hampir saja demam manakala suara mengerikan itu terbawa angin laut sampai ke kamarku."
"Aku pun ngeri mendengarnya. Tapi kadang terbit kasihan."
Julfa kawin lagi lima bulan kemudian dengan lelaki utara (orang seberang), lalu dia memutuskan tinggal di rumah suami barunya. Rumah yang dulu ditempati bersama Jannoko dibiarkan jadi museum; kenangan, yang mungkin berumur sedikit lebih panjang. Dan halaman rumah itu telah dirimbuni semak di bagian sudut-sudutnya setelah lama ditinggalkan.
Jakarta, 2022
Acik Giliraja lahir dan besar di Sumenep, saat ini tinggal di Jakarta
(mmu/mmu)