"Samuntring pasti datang, tenang saja, Tar. Ia akan menolong kita." Karman memegangi lengan kirinya, sementara darah mengucur dari pelipisnya. Di sampingnya, bersandar pada sebuah pohon nangka sebesar paha, Tarwasa tersengal, napasnya pendek-pendek - seakan berusaha menahan nyawanya tak keburu melayang, setidaknya hingga Samuntring datang dan mungkin bisa menolongnya.
Di hadapan mereka, pekat air sungai deras menabrak batu-batu, menghanyutkan beberapa di antaranya sehingga menimbulkan bunyi gelegar yang sungguh menggigilkan. Kayu-kayu sebesar lengan ikut hanyut, bersama batang-batang bambu dan sampah-sampah plastik. Kalau saja di hulu sana tak hujan deras, dan orang-orang tak menebang paku-paku tebing itu, tak akan ada banjir tiba-tiba yang sungguh mengerikan itu.
Beberapa hari belakangan, orang-orang yang memancing atau menjala di sungai pasti pulang dengan raut muka sumringah. Wadah mereka pasti penuh ikan-ikan besar. Ada yang mendapat ikan sebesar betis. Itu sangat menggemparkan karena, biasanya mereka hanya mendapat satu-dua ikan seukuran korek api, padahal sudah seharian penuh mereka menunggu ada ikan tolol yang mau menyambar kail atau tersangkut jala.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka yang mendapatkan ikan seukuran tiga jari, akan berangkat kembali hingga mendapat seukuran betis. Yang mendapat seukuran betis, akan kembali dan berharap mendapat ikan sebesar paha. Yang mendapat sebesar paha, akan kembali dan berharap mendapat lima ikan seukuran paha.
Karena ikan sedang banyak-banyaknya, sungai tak pernah sepi. Kala malam, beberapa lelaki memilih berangkat ke sungai daripada meringkuk di ranjang bersama istri mereka. Karman dan Tarwasa masih belum puas dengan hasil jala mereka. Mereka sudah mendapat yang sebesar paha, namun mereka ingin mendapatkannya lagi.
"Aku ingin mendapat yang sebesar paha sapi," kata Karman. Dengan hasil tangkapan yang banyak dan besar, Karman ingin sesumbar bahwa tak hanya Samuntring yang pandai menjala. "Memangnya yang bisa dapat ikan besar dan banyak cuma Samuntring?"
Saat orang lain hanya mendapat satu, atau paling banyak lima ekor ikan dalam sehari penuh, Samuntring bisa mendapat dua puluhan bahkan lebih. Kail dan jala Samuntring selalu digemari ikan. Ia sudah akrab dengan sungai sejak ia baru bisa berjalan. Ia sering ikut bapaknya menjala. Ia akan duduk di pinggir sungai dan berteriak girang saat ikan besar terperangkap di jala bapaknya. Bapaknya mati oleh sebab terseret banjir kala ia menjala pada suatu malam. Jasadnya ditemukan tersangkut di pohon bambu yang roboh.
Samuntring masih membujang saat teman-teman seumurannya sedang pusing memikirkan biaya sekolah anak. Mijan, adik sepupunya, membercandai bahwa Samuntring sudah menikah dengan dedemit sungai yang suka menggoda siapa saja yang datang malam-malam. "Itu mengapa Kang Samun tak pernah mengajak siapa-siapa kalau berangkat menjala malam-malam."
Samuntring sudah hafal betul demit-demit yang ada di sepanjang sungai. Sosok tinggi besar yang menghuni pohon mahoni tua di dekat batu besar tempat di mana orang-orang biasa istirahat, makhluk kecil hitam setengah badan yang suka bermain-main di semak gelonggong, serta perempuan dengan rambut panjang yang sering duduk di rimbun bambu, tempat di mana jasad bapaknya ditemukan, dan itulah perempuan yang dimaksud Mijan.
Bukan tanpa alasan Mijan berkata demikian. Suatu kali, ketika gelap mulai menyelimuti langit, ia baru saja beranjak dari batu besar, berjalan ke utara menuju jalan setapak menuju desa. Ia tertegun ketika melewati rimbun bambu itu, karena ia melihat Samuntring sedang duduk di batu tepat di pokok bambu, sementara demit itu tertawa-tawa di atasnya. Lain waktu, ketika Mijan dan Tarwasa berangkat menjala malam hari, mereka melihat Samuntring sedang sembahyang gaib di tempat yang sama.
Samuntring kerap melihat aliran sungai berhenti sekejap --benar-benar sekejap-- di mana sungai itu akan kembali mengalir saat yang melihatnya mengedipkan mata. Orang-orang biasa menyebutnya kali turu --sungai yang tertidur. Samuntring menganggap berhentinya aliran sungai itu lebih menyeramkan daripada saat ia melihat mayat bayi terapung atau sebuah tengkorak manusia tersangkut di jala. Tidak semua orang pernah dan bisa melihat air sungai berhenti mengalir, hanya orang terpilihlah yang mampu melihatnya.
Orang-orang percaya bahwa air yang diambil saat aliran sungai berhenti bisa mengobati sakit parah, yang tak sembuh oleh obat dokter. Sebelum meninggal, Pardi, bapak Mijan, menderita sakit lambung menahun yang tak kunjung sembuh. Samuntring dan Mijan hampir setiap malam datang ke sungai dan berharap akan menemui kali turu. Namun mereka tak beruntung karena rupanya sungai tak mau tertidur. Sama seperti bapaknya, paman Samuntring itu juga sering menjala ikan. Saat penyakitnya belum benar-benar sembuh, Pardi menjala ke sungai pada malam hari. Katanya ia ingin makan ikan. Mijan memaksa bapaknya itu agar tetap di rumah saja.
"Biar aku yang carikan." Tapi Pardi keras kepala. Ia berangkat sendirian dan tak mau ditemani. Pardi ditemukan meninggal di batu besar tempat di mana Karman dan Tarwasa hampir saja terseret banjir, dengan jala dan wadah yang masih tersimpan di dalam tas. Sejak saat itu, Mijan tak pernah menjala lagi ke sungai.
Samuntring pernah mengambil air saat sungai tertidur. Itu kebetulan yang sangat menggembirakan. Istri Karman, Ruhayati, pernah menderita gatal-gatal dan bintik bernanah. Berbagai obat dokter dan pengobatan alternatif pernah ia coba, tapi justru penyakitnya semakin menjadi-jadi. Saat Samuntring berniat menjala pada malam hari, ia melihat kali turu. Tanpa pikir panjang, ia ambil air dengan daun talas yang tumbuh tepat di samping ia berdiri. Ia lupakan jala yang sudah ia keluarkan dan segera ia mengantar air itu untuk Ruhayati.
Rumah Samuntring dan rumah Karman hanya diantarai oleh sebuah empang seukuran setengah lapangan voli. Samuntring kerap memberikan ikan tangkapannya pada Ruhayati kala ia memperoleh banyak ikan, atau saat ia terlampau malas memasak. Itu membuat Ruhayati senang. Ia dan Riani, anaknya, sangat suka makan ikan. Riani bahkan meminta pada Samuntring ikan yang masih hidup untuk dipelihara di kolam.
Bagaimanapun, Karman tetap senewen karena istri dan anaknya dibahagiakan oleh Samuntring dengan ikan. Karman bisa memberi Ruhayati dan Riani uang dan barang yang mereka mau, tapi ikan yang diberi Samuntring lain. Ruhayati tahu bahwa menjala ikan tidaklah mudah, terlebih Samuntring menolak jika diberi imbalan uang, dan Ruhayati menganggap mungkin ia belum sembuh kalau dulu Samuntring tak membawakannya air kali turu. Sebagai tanda terima kasih, Ruhayati kerap mengantar makanan ke rumah Samuntring dan itu makin membuat Karman panas.
Karman akhirnya membeli jala. Ia menjala dan berharap mendapat ikan besar. Saat yang ia dapat hanya beberapa ikan sebesar jari kelingking anaknya, ia jadi bahan ledekan. "Tak seperti yang Lik Samun bawa," ujar Riani tanpa rasa bersalah. "Lebih baik ikan itu buat makan kucing." Hati Karman tambah dongkol. Setelah itu ia menjala hampir tiap hari dan ketika yang ia dapat selalu ikan-ikan kecil, terlintas di pikirannya lebih baik menyerah --mengutuki sungai dan menganggap remeh rasa ikan yang tak lebih enak dari daging-- seandainya sungai tak berbaik hati.
Karman girang bukan main saat ikan sebesar paha menggelepar-gelepar di jalanya. Ia bawa pulang ikan itu, yang membuat Ruhayati dan Riani tersenyum sumringah. "Ini lebih besar dari yang pernah dibawa Muntring," puji Ruhayati. Karman semakin keranjingan menjala, terlebih ikan sedang banyak dan keberuntungan semacam itu belum tentu terjadi setiap tahun. Tapi keberuntungan berubah menjadi kemalangan pada malam nahas itu.
Yang ada di pikiran Karman malam itu adalah kedatangan Samuntring. Ia berharap Samuntring segera datang dan menolongnya. Lengan kiri Tarwasa patah dan kepalanya menabrak batu, dan dada Tarwasa tergores batu tajam sebelum menabrak batu sebesar tungku api. Kini napas Tarwasa makin lirih. Sebuah sorot senter berpendar dari kejauhan. Dengan sekuat tenaga, Karman berteriak. Namun suara arus banjir sungai masih terlampau kuat. Senter yang dibawa Karman sudah hanyut bersama tas dan dua ikan sebesar paha yang sudah didapatnya. Beruntung bagi Karmin dan Tarwasa, Samuntring melihat mereka. Melihat dua orang itu dengan kondisi mengenaskan, Samuntring segera mencari cara untuk sampai ke seberang. Ia tak segera melompat dan berenang, karena itu sama saja menghanyutkan nyawanya.
Hujan mulai turun. Arus banjir sungai perlahan makin deras. Samuntring melihat ada bambu yang melintang, sekitar lima puluh meter ke arah utara. Ia menuju bambu itu dan setelah ia pastikan bambu itu bisa ia jadikan pegangan, ia segera terjun. Arus sungai lebih deras dari yang ia kira. Karman melihat cahaya senter Samuntring. Senter itu digigit Samuntring. Cahayanya mengarah ke sana kemari. Dengan sisa tenaga yang ada, Samuntring menyibak rumpun gelonggong dan menghampiri Karman dan Tarwasa.
"Tar, Tarwasa...." gumam Karman, sembari menahan gigil dan nyeri.
Samuntring memeriksa nadi Tarwasa dan ia tahu kalau ia terlambat datang, dan ia panik. "Bagaimana bisa terjadi, Kang?"
"Kami menjala di batu besar yang ada di tengah, lalu banjir datang sangat deras."
"Kalian berdua saja?"
Karman menggeleng. Gigilnya semakin menjadi. Nyerinya bertambah dan menjalar ke sekujur tubuh. Darah dari pelipisnya masih terus mengalir.
"Mijan hanyut...."
Arienal Aji Prasetyo lahir di Banjarnegara; penulis di panditfootball.com
(mmu/mmu)