Dua ekor tikus mati, dan seekor ular lorek nyaris masuk ke rumah. Ayah tertegun sepanjang malam memikirkannya. Tapi kubilang, "Pak, tikus-tikus itu mati kan memang kita pasangi racun."
"Tapi, bayangkan! Aku pulang dari pasar dan melihat bangkai tikus tergeletak di depan pintu kamar."
"Ya, tikus itu bisa mati di mana saja setelah memakan racun yang kita pasang to?"
"Bukan soal mati di mana saja, tapi pemandangan itu lho...pemandangan!
Aku tidak terlalu paham dengan maksud kata 'pemandangan' yang sampai diulang dua kali. Makanya aku tak menukas lagi.
Ayah orang Jawa-Solo yang peka perlambang. Peka mungkin bukan kata yang tepat. Bagiku, ayah terlalu klenik, selalu mengaitkan satu kejadian dengan kejadian lain, atau memaknai sebuah kejadian dengan kemungkinan yang akan terjadi.
Dan, itu baru soal tikus. Belum ular yang tiba-tiba menelusur di depan rumah. Seekor ular putih berloreng kuning yang cukup besar. Aku yang melihatnya. Sebelum ayah membahasnya, kutinggalkan ia sendirian di teras. Aku masuk kamar. Tak urung, malah kepikiran ular itu lagi. Memang tidak mengherankan. Kami tinggal di tengah perkampungan yang masih banyak rumah-rumah berhalaman penuh pepohonan rimbun. Belum lagi kebun-kebun kosong yang belum tersentuh para pembeli dari kalangan pasangan-pasangan muda kota yang belakangan gemar berburu tanah murah di pinggiran Jakarta.
Ular itu kulihat tiga hari yang lalu, tepat ketika aku pulang kerja dan hendak membuka pintu. Nyaris terinjak, aku menahan diri untuk tak berteriak. Agak bergidik. Kubiarkan saja ular itu bergerak menjauh, dan aku buru-buru masuk ke rumah. Aku tak ingin melihat ke mana perginya. Benar-benar tak ingin, karena sejujurnya aku takut. Mestinya aku bisa saja berteriak, dan lelaki-lelaki kampung akan menangkapnya. Nyaris saja aku melakukannya. Tapi urung. Biarlah, toh ular itu tak mengganggu. Mungkin memang hanya lewat.
Sedangkan bangkai-bangkai tikus itu, ayah yang melihatnya, dua hari sebelum aku melihat ular. Dua hari berturut-turut, pertama, di depan pintu kamar, kemudian besoknya ayah mendapati lagi di depan kulkas di dapur. Kami telah memasang racun berupa batangan padat mirip sabun, yang ayah beli di kakilima malam hari, kira-kira seminggu sebelumnya.
Mestinya sekarang kami lega. Tikus-tikus telah lenyap. Tapi, kenapa justru jadi kepikiran yang bukan-bukan?
"Is..." Mendadak ayah memanggil.
Kamarku berbatasan dengan teras sehingga panggilannya terdengar nyaring.
"Kenapa?" aku langsung keluar untuk memenuhi panggilan itu.
"Ularnya segede apa?"
Memang tidak akan bisa menghindar lagi untuk tak membicarakannya. Aku terpaksa duduk lagi.
"Untuk ukuran ular yang lewat di perumahan sih itu gede ya."
"Iya, segede apa?"
"Pokoknya gedelah, Pak...dan panjang."
"Loreknya warna apa?"
Aku sudah menceritakannya. Aku mengeluh dalam hati karena harus mengulanginya. "Kan gelap, aku belum nyalain lampu teras jadi samar-samar kelihatan putih lorek kuning. Atau bisa saja sebaliknya, kuning lorek putih."
Ayah diam. Aku menunggu, dan ternyata terus diam. Sampai beberapa saat aku belum bisa memutuskan apakah sudah bisa meninggalkannya lagi.
***
Sebelum tinggal bersama ayah di Karang Tengah, aku kos di dekat kantorku di Pondok Indah. Karena bujukan ibu yang tak kenal lelah, akhirnya aku mencari alamat ayah. Sebenarnya aku malas, tapi setiap kali menelepon, ibu dari Solo selalu bertanya apakah aku sudah menemukan rumah ayah, dan dia tambahkan pesan kalau sudah ketemu ikut tinggal bersamanya saja.
Ayah meninggalkan kami ketika aku masih SMP. Aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Waktu hanya berlalu saja tanpa memberitahukan kabar apa-apa. Hingga ketika aku akhirnya lulus kuliah dan kerja di Jakarta, ayah memberikan alamat tempat tinggalnya yang sekarang kepada ibu di Solo.
Sejujurnya, tidak banyak yang bisa aku ingat darinya ketika akhirnya kuputuskan untuk mencari alamat itu. Semalaman aku mencoba mengingat-ingat, dan hanya mendapati sesosok tinggi, hitam, dan keras mirip batang pohon trembesi di tanah bersemak tempat aku bermain di kala kecil. Dari tempat aku bermain, aku kerap melihat ayah berada di antara gerombolan lelaki-lelaki yang bermain lotre telur. Sebuah permainan judi dengan bandar seorang lelaki gemuk dengan leher penuh daki, selalu bertelanjang dada, dengan gelaran tikar kecil di depannya. Ada kotak-kotak dan angka-angka. Kalau kau beruntung, uangmu berlipat, kalau tidak kau hanya mendapatkan sebutir telur. Ya, sebutir telur. Aku nyaris tertawa ketika mengingat hal itu lagi, bahwa lelaki-lelaki itu pulang ke rumah membawa telur untuk istri dan anaknya. Sungguh sebuah permainan yang lucu, kalau diingat lagi sekarang.
Pada musim sekaten, ayah memboncengkanku dengan sepedanya ke alun-alun untuk melihat gamelan keraton pertama kali dibunyikan, dan perempuan-perempuan yang berdatangan dari desa mengunyah sirih yang telah disiapkannya. Lalu, kami makan cabuk rambak dan minum wedang ronde. Setelah kekenyangan, ayah menuntunku ke serambi masjid agung, dan kami tiduran di sana. Ketika tiba waktunya salat, ayah bukannya membimbingku ke tempat wudu, tapi justru mengajakku meninggalkan masjid.
Aku diajak ke tengah arena, menonton tong setan, dan naik kemidi putar. Lalu kami pulang setelah ayah berhenti sejenak untuk menghabiskan dua botol teh dan membeli jenang untuk oleh-oleh orang di rumah. Aku gagal mengingat, mengapa ibu dan kakak perempuanku tidak diajak serta --mengapa hanya aku? Mungkin semata ayah tak mau mengeluarkan ongkos untuk naik becak. Tapi, mungkin saja ibu dan kakak perempuanku memang tak tertarik untuk ikut melihat sekaten.
Ibu lebih sibuk pergi ke salon untuk mengeriting rambutnya, dan kakak perempuanku bertukar catatan teks lagu pop terbaru dengan teman-temannya. Tentu saja waktu itu ibuku belum berjilbab, dan masih suka mendengarkan siaran radio yang memutar lagu-lagu dangdut. Ibu menirukan suara Ida Laila yang melantunkan Dahlia dengan suara merdunya. Mengapa aku bisa mengingat sejauh itu, tapi bayangan ayah tetaplah samar-samar?
***
Ketika pertama kali menemukan alamat rumah ayah, hanya kegelapan dan kesunyian yang menyambutku. Seorang perempuan tua di sebelah rumah yang terganggu oleh ketukanku pada pintu yang berulang-ulang muncul dari balik pintu dan mengatakan, bahwa penghuni rumah itu biasanya baru pulang jam 9 malam.
Kupikir aku sudah terlalu malam untuk bertamu, karena jam 7 aku baru pulang kerja dan perjalanan dari kosku memakan waktu hampir satu jam. Aku menunggu di teras yang gelap, sampai akhirnya mereka datang; ayahku dan seorang perempuan yang terlihat jauh lebih muda usianya dari ayahku.
"Siapa?" perempuan itu yang terlebih dulu menyapa, dengan suara yang nyaring namun terkesan ramah dan akrab.
"Saya Isman, mencari Pak Mardi." Aku berdiri, berusaha sopan.
"Oalaaah, kowe to, Le...." suara ayah berat dan riang, lalu mereka buru-buru masuk ke rumah, menyalakan lampu-lampu. Aku duduk lagi di teras yang kini sudah terang.
Tak lama, ayah muncul di pintu dan mengajakku masuk.
Kami tidak bersalaman. Tapi, ayah langsung bisa memecah kekakuan dengan berbagai pertanyaan.
"Kok baru sekarang ke sini?"
"Iya, Pak sibuk kerja."
"Kamu jadi wartawan ya? Wah!" terdengar nada bangga dari suaranya. Aku hanya tersenyum.
"Koran-koran sekarang kalau bikin judul dicetak besar-besar, kalimatnya bombastis, tapi isinya...mak plekethis!"
Aku tertawa. Ayah masih lelaki Solo dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos penuh sindiran.
"Aku nggak di koran, Pak tapi online."
"Opo kuwi?"
"Mediaku hanya bisa dibaca di internet."
"Oooo...."
Hening sesaat.
"Jam segini baru pulang, Pak?"
Mendadak perempuan tadi muncul dari kamar dan menyahut, "Iya, memang pulangnya jam segini, wong habis magrib itu malah ramai pembeli kok."
Lalu dia mendekat dan mengulurkan tangannya. Aku menjabatnya. "Tak adus sik yo. Wis mangan durung? Aku tuku iwak manuk."
"Makmu senengane iwak manuk. Madango!" Ayah menyuruhku makan, khas orang Jawa masa lalu bila kedatangan tamu.
Rasanya ingin berteriak, menyalahkan kenapa ayah dulu meninggalkan kami, ketika mendengar ia membahasakan istrinya, seorang perempuan asing yang baru pertama kutemui, dengan istilah "makmu". Tapi, ayah mengatakannya dengan nada yang sangat enteng, spontan, tanpa rasa bersalah apa-apa, yang membuatku akhirnya hanya bisa tersenyum-senyum hambar saja.
***
Ayah dan istrinya membuka kios pakaian di pasar yang tak jauh dari rumah. Ketika akhirnya aku pindah ke rumah itu, sesekali aku berkunjung ke pasar pada hari Minggu dan menyaksikan kiosnya memang sangat ramai pembeli. Dari dulu bakat ayah memang berdagang.
Sebelum meninggalkan kami, ayah juga punya kios di pasar yang dikelola bersama ibu. Bedanya, jika sekarang mereka dagang pakaian, dulu bapak dan ibu berjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Klithikan, istilahnya. Dari yang kecil-kecil seperti dom-bolah-peniti hingga baskom-ember-panci.
Namun, pada masa mudanya, ayah sebenarnya seorang pemborong bangunan yang jempolan. Tentu saja sejak kecil aku sudah tahu hal itu. Tapi, setelah kemudian aku tinggal bersamanya, berbagai cerita tentang hal itu menjadi semakin jelas.
***
Aku terkejut setengah mati ketika sepulang kerja dan menyalakan lampu-lampu rumah, mendapati ayah ternyata duduk di dapur dalam gelap, sedang menyemir rambutnya.
"Lho, sudah pulang, Pak? Kok nggak dinyalain sih lampunya?"
"Tadi masih terang," katanya dengan penjelasan tambahan, bahwa ia pulang duluan karena emak akan menginap di rumah teman pengajiannya.
"Menurutmu ular itu dari mana ya?"
Aku yang sedang minum air dingin di depan kulkas langsung dari botol nyaris tersedak. Sepertinya aku harus pasrah kalau ini akan menjadi malam lain untuk membahas soal ular itu lagi.
"Ya, paling dari kebun depan teras kita yang makin runggut itu." Aku berlagak sesantai mungkin, walaupun sebenarnya dalam hati bertanya-tanya, mengapa ayah langsung mengalihkan pembicaraan dari soal emak yang tidak pulang ke soal ular.
"Kenapa ya dia pergi, kan kita nggak mengusiknya."
Kali ini ayah seperti bicara sendiri ketimbang bertanya, sehingga aku yang nyaris menukas --memangnya ayah ingin ular itu masuk ke rumah dan diam di bawah dipan?-- tak merasa perlu menanggapinya.
***
Sejak malam itu, emak jadi makin sering "menginap di rumah teman pengajiannya". Aku mulai curiga. Hari Minggu kusempatkan ke pasar, dan diam-diam menghimpun kasak-kusuk dari kanan-kiri, dan akhirnya semua terjawab. Selama ini ayah menyembunyikan sebuah fakta. Emak ternyata selingkuh dengan sopir taksi yang biasa mengantarnya belanja ke grosir di Pasar Cipulir.
Ketika suatu malam, dalam obrolan seperti biasa, secara halus aku mengisyaratkan bahwa aku protes kenapa ayah menutup-nutupi soal emak, ia hanya terdiam, dan pura-pura memperhatikan acara bincang-bincang di televisi.
Aku tak berani mengusiknya, tapi aku menunggu jawabannya. Beberapa kali aku menoleh ke arahnya. Aku merasa ayah menua lebih cepat dalam beberapa hari terakhir ini. Ayah yang biasanya pandai membuka percakapan, dan gemar membahas berita-berita politik yang dilihatnya di televisi, mendadak jadi lelaki asing yang tak terlalu kukenali lagi.
"Mungkin tikus-tikus yang mati, dan ular yang lewat dan berlalu itu pertanda," tiba-tiba ayah bersuara.
"Pertanda apa?"
Lalu diam lagi. Lama. Aku nyaris berdiri dan meninggalkannya ketika tanpa kusangka-sangka ia mengalihkan tatapannya dari layar televisi dan berpaling padaku dan berkata, "Aku kena karma. Dulu meninggalkan ibumu, sekarang...."
Mendadak dadaku bergejolak. Rasanya ingin berteriak sekeras-kerasnya menyalahkan ayah; bahwa ayah memang pantas mendapatkan itu semua. Tapi, tiba-tiba aku merasa sangat lelah dan kemudian memutuskan untuk tak ingin bicara lagi, ataupun mendengar apa-apa lagi.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
Simak Video "Video: POV Nonton Pagelaran Sabang Merauke Gratis di CFD Jakarta"
(mmu/mmu)