Saat ponselnya berdering dan nama Lea muncul di layar, Marisa tidak bisa mencegah pikiran buruk yang melintas di kepalanya. Ia mencoba membayangkan Paris pada pukul dua dini hari. Degup jantungnya menguat dan jemarinya bergetar halus. Ritme tubuhnya mendadak berubah riuh, persis persimpangan jalan di pagi hari saat para pekerja dan anak sekolah berebut waktu lima menit yang berharga. Mungkin ini yang disebut firasat.
"Apa tidak ada malam di Paris?" Marisa menjawab setelah dering keenam.
Hening sejenak, sebelum tawa serak Lea menyelusup ke telinganya.
"Kenapa? Aku insomnia. Ini sudah hari keempat."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apa?" kerut di kening Marisa bertambah dalam. "Tapi, kenapa?"
"Jangan pedulikan aku. Bukan untuk itu aku meneleponmu," Lea berkata cepat-cepat. "Aku butuh bantuanmu."
Marisa menunggu sambil mengikuti gerak lambat jarum panjang jam dinding dari angka dua menuju delapan.
"Buatkan aku surat untuk orang sekarat, Marisa!"
"Siapa yang...."
"Teddy. Percaya atau tidak? Si anak hilang akhirnya pulang. Sekarat." Dan, tangis Lea kemudian pecah.
Seketika, Marisa menggigil. Ingin rasanya ia mengutuk langit yang mendadak menumpahkan hujan badai selepas subuh tadi. Namun, ia tahu, bukan itu yang mengirim dingin ke sekujur tubuhnya.
Teddy. Teddy. Sudah berapa lama sejak nama itu terucap dari bibirnya?
"Aku akan bekerja di Paris. Ikut aku, Marisa."
"Setelah itu apa?"
"Setelah itu, kita kawin lari. Mengamen di pinggir jalan. Menari di sepanjang Sungai Seine. Menikmati musim-musim dari puncak Eiffel. Menggelandang...berhenti tertawa, Marisa!"
"Aku tidak bisa, Teddy!"
"Omong kosong. Kamu hanya perlu menutup bibirmu, menarik napas, lalu katakan 'ya'. Setelah itu, aku tak akan pernah lagi menahan tawamu. Bahkan, kita akan tertawa bersama. Sepuasnya!"
Tentu saja, saat percakapan terakhir mereka tujuh tahun lalu itu, Marisa tidak merujuk ketidakbisaannya untuk tertawa-ia yakin Teddy paham itu. Namun, tawanya memang terhenti. Tanpa kata 'ya' dan tidak ada lagi tawa setelahnya. Ia menggantinya dengan air mata.
Lea tidak banyak memberinya waktu di sela-sela isakannya.
"Aku sudah berusaha menulis sendiri, tapi, kupikir, kata-kataku hanya akan membuatnya mati lebih cepat-kamu tahu, kan, aku tidak suka basa-basi. Teddy ... kanker hatinya sudah menghabiskan seluruh pertahanannya. Ia mengontak Mama beberapa hari lalu hanya untuk mengabari itu. Ia tidak mau memberi tahu alamatnya. Ia tidak mau bertemu siapa pun kecuali perawatnya. Ia menolak menerima telepon, meskipun masih membaca pesan. Tolong, tolong, Marisa. Tuliskan surat untuknya hari ini!"
"Tapi, apa yang harus kutulis?" bisik Marisa, nyaris putus asa. Ia pikir, hatinya telah sembuh dan tumbuh. Namun, mengapa nyeri yang sudah sekuat tenaga ia coba lupakan kembali menyebar di dadanya?
"Apa saja untuk menghiburnya! Akan kukirim surat yang sempat kutulis untuk Teddy supaya kamu punya gambaran. Please, Marisa?"
Marisa melewati sepanjang Sabtu itu dengan tidak produktif. Tugas para muridnya belum satu pun yang ia koreksi. Novelnya juga tidak bergerak dari halaman 43. Saat Banyu pulang di sore hari, ia tidak sabar untuk berbagi resah.
"Bagaimana cara menulis surat untuk orang sekarat?"
Banyu yang baru saja menuangkan air dingin ke gelas tinggi menatap Marisa sambil mengangkat alis. Ia menyesap minumannya sambil bersandar di meja dapur.
"Siapa yang sekarat?"
"Seorang kerabat Lea. Pamannya."
"Lea meneleponmu?"
"Tadi pagi pukul tujuh."
"Dan ia minta diajari menulis surat untuk pamannya yang sekarat."
Marisa mengangkat bahu dengan tidak sabar. "Lea pikir aku bisa menulis lebih baik, jadi ia memintaku membuatkannya."
Banyu menggeleng samar. "Entahlah. Kupikir menulis surat untuk seseorang itu berbeda. Ada keintiman dan privasi di dalamnya. Ada sejarah yang kalian lalui bersama. Itu, jika kamu ingin kata-katamu bermakna. Kamu tidak bisa begitu saja mengirim tulisan untuk seorang asing hanya karena ingin."
Oh, Marisa sadar itu! Bukankah itu yang ia khawatirkan? Kalimat penghiburan yang seharusnya ia rangkai berubah menjadi luapan perasaan yang sekonyong-konyong menemukan jalan keluar.
"Atau," Banyu merangkulnya dari belakang kursi, lalu berbisik di telinganya. "Kamu bisa berpura-pura menulis surat untukku saja. Bayangkan aku menjadi seorang paman tua yang sekarat dan kamu cinta mati kepadaku. Kalimat cinta lebih mudah ditulis daripada kalimat perpisahan, kan?"
Marisa mengejam. Seandainya saja Banyu tahu.
***
Dear Teddy, aku menulis surat ini sambil membayangkan wajahmu saat terakhir kali kita bertemu secara langsung. Apa itu tujuh tahun lalu? Aku tidak bisa lagi mengenali waktu. Matamu bersinar, rambut hitam sebahumu berantakan ditiup angin, tawamu keras dan menular. Hidup. Itulah gambaran tentangmu yang selalu ada di kepalaku.
"Jangan jatuh cinta kepada pamanku. Kamu akan patah hati!" aku pernah memperingatkan M sekali. Aku hanya menggodanya, tentu saja. Hidupnya terlalu lurus dan sekaku papan. Ia menolak percaya bisa jatuh cinta dengan seorang petualang sepertimu-sama seperti ia menolak percaya kamu adalah pamanku.
Katanya, "Apa yang kamu harapkan? Kalian hanya berjarak lima tahun!"
Kuceritakan sejarah keluarga kita kepada M. Hanya kepada M. "Nenekku melahirkan Teddy di usia 45. Setahun kemudian ia meninggal. Ibuku-yang berselisih 25 tahun dengan adik bungsunya-kemudian mengasuh Teddy sejak itu."
Terkadang aku iri kepadamu. Bukan dengan deretan mantan pacarmu. Bukan juga dengan gaya hidupmu yang santai, bebas, dan tak ingin terikat aturan. Mungkin, aku iri karena kamu berani memilih jalan rumit yang sebagian besar orang tak akan pilih untuk menjalani hidup. (Seperti, terbang ke Paris untuk bekerja entah di mana, bersama entah siapa, untuk entah berapa lama!)
Mama pernah bilang, kamu orang yang selalu kesepian. Kamu-yang selalu terlihat menjalani dan menikmati hidupmu dengan penuh-kesepian. Mungkin aku memang tidak pernah benar-benar mengenalmu.
Apa kamu tahu, setahun lalu aku pindah ke Paris? Selain untuk kuliah, aku membawa misi suci keluarga menemukanmu. Dua tahun kamu memutus kontak. Apakah karena penyakitmu?
Oh, Teddy! Teddy! Teddy! Aku tidak akan mengisi surat ini hanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang jawaban-jawabannya tidak akan mengubah apa pun. Selama dua puluh enam tahun usiaku, bagiku kamu lebih seperti kakakku. Sahabatku. Saudara yang sangat kusayangi! Meskipun tujuh tahun terakhir kamu terus menjauh. Kamu selalu percaya pada kemampuan diriku di saat aku sendiri tak percaya. Semangatmu membuatku berani melihat dunia dengan cara berbeda. Dan aku tidak cukup berterima kasih karenanya.
Memikirkanmu menanggung semua ini sendirian terasa begitu menyakitkan. Aku ingin berlari menghampirimu, menatap matamu, meminta maaf, berterima kasih, dan mengatakan aku sungguh menyayangimu. Tidakkah kamu juga demikian?
Dengarlah. Doa-doa kami-keluargamu dan setiap orang yang mencintaimu-mengalir bersama angin. Kamu tidak sendirian, Teddy.
Love,
L
***
Saat ponselnya berdering dengan menampilkan kode negara +33 di layarnya, Marisa nyaris menjatuhkan cangkir di tangannya. Ia membayangkan Paris pada pukul dua belas tepat di pertengahan malam.
"Apa tidak ada malam di Paris?" suara Marisa bergetar saat menjawab telepon setelah dering ketiga.
Tawa samar terdengar dari seberang telepon. Enam hari sudah berlalu sejak Marisa menyerahkan suratnya kepada Lea. Sejak itu, waktu terasa merayap begitu lambat.
"Aku menerima suratmu. Dua tahun lalu."
Marisa mencoba membayangkan bagaimana Teddy berbicara dengan susah payah. Namun, pikirannya hanya mau menampilkan gambaran pria itu yang sedang tertawa.
"Saat kamu mengajakku ke Paris, aku...takut. Pada amarah orangtuaku. Pada tatapan ibu Lea yang seolah mengetahui setiap rahasia terdalamku. Pada kehilangan jati diri dan mimpi-mimpiku. Pada masa depan bersamamu yang seperti kabut tebal dan tak terbaca .... Mencintaimu, seperti terperangkap dalam gelombang pasang laut yang tak pernah surut. Sementara hidup yang kuimpikan hanyalah aliran tenang sungai di sepanjang musim. Meskipun demikian, setelah lima tahun berpikir, aku ingin...."
Saat Teddy tidak melanjutkan ucapannya, Marisa mengejam, sementara air matanya luruh dengan deras. Untuk beberapa lama, hanya ada kesunyian di antara mereka.
"Terima kasih untuk surat indahmu, Sayang. Maafkan aku tidak membalasnya. Penyakitku ... aku tidak ingin kamu mengingatku berbeda."
"Teddy...."
"Surat Lea," Teddy tertawa pelan. "Kamu penulis favoritku, Marisa."
"Teddy...."
"Berbahagialah, Marisa. Kamu tahu aku mencintaimu."
Marisa tidak bisa mengingat detail yang terjadi setelahnya. Namun, saat telepon dari Paris kembali datang tiga jam kemudian, ia tahu berita apa yang dibawa Lea.
Tangerang, Agustus 2022
Yulina Trihaningsih lahir di Jakarta, 22 Juli 1978; berdomisili di Tangerang, Banten; buku cerita anak digitalnya berjudul "Pesan dalam Amplop" (2021) diterbitkan The Asia Foundation (Let's Read Indonesia) bekerja sama dengan Yayasan Litara
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)