Obon

Cerita Pendek

Obon

Mochamad Bayu Ari Sasmita - detikHot
Sabtu, 24 Sep 2022 10:04 WIB
ilustrasi cerpen
Foto: ilustrasi: edi wahyono
Jakarta -

Aku berdiri di sudut ruang dapur, pada sisi gelap, tempat yang tidak cukup mendapatkan cahaya lampu. Di kursi, di dekat meja makan, istriku duduk dengan memegangi keningnya. Air matanya terus mengalir sehingga membuat pipinya tampak berkilau. Rupanya, perpisahan kami menimbulkan begitu banyak kesedihan baginya.

Liburan musim panas telah tiba. Suatu masa yang menyenangkan bagi banyak orang meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa ada saja yang bersedih ketika masa itu tiba. Salah seorang yang bersedih itu adalah istriku, mungkin seharusnya kusebut mantan istriku.

Kami menikah sepuluh tahun yang lalu. Seorang anak perempuan dianugerahkan kepada kami oleh Tuhan. Anak itu lahir dengan sehat di sebuah klinik bersalin di sebuah desa tempat istriku dulu dilahirkan oleh ibunya. Saat itu, seperti halnya hari ini, musim panas telah tiba. Karena lahir pada musim panas, kami memberinya nama Natsuko. Kelahiran Natsuko membawa kebahagiaan kepada keluarga kami.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Lihat pipinya," kata istriku dengan kondisi lemas setelah melahirkan sambil melihat bayi di sampingnya yang sudah tenang setelah menangis cukup lama tadi. Rambutnya yang hitam panjang berantakan dan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.

"Dia pasti akan menjadi gadis cantik dan manis di masa depan nanti."

ADVERTISEMENT

"Seperti kau tentunya."

Dia tersenyum. Aku bahagia melihat senyuman itu, juga wajah nyenyak si bayi.

Setelah liburan musim panas selesai, kami kembali lagi ke kota. Di sana, kami tinggal di apartemen sederhana yang kami beli begitu setelah menikah. Setelah melahirkan, istriku berhenti bekerja untuk fokus mengurus putri kami. Sebenarnya, aku tidak menyuruhnya berhenti sama sekali. Hal itu diputuskannya sendiri.

"Apa kau yakin?" tanyaku saat itu.

Istriku mengangguk. Kemudian menatap wajah Natsuko yang lelap di gendongannya. "Bagiku, menjaga Natsuko, memerhatikan pertumbuhannya dari dekat sekali, mengajarinya beberapa hal, dan memastikan setiap yang dia makan adalah makanan bermutu merupakan tugas yang mulia. Tapi, mungkin pemasukan keluarga kita akan berkurang."

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan tentang pemasukan. Karierku sedang baik sekarang. Kalau mujur, mungkin suatu saat aku akan mendapatkan kenaikan gaji. Kalau perlu, aku bisa ambil lembur."

"Tidak perlu sampai lembur juga."

Secara perlahan Natsuko mulai tumbuh. Dia mulai semakin rajin berguling-guling di atas tatami. Kemudian, dia mulai merangkak. Setelah usianya hampir mencapai satu tahun, istriku mengajarinya berjalan dan Natsuko cepat sekali belajar. Untuk menyambut hal itu, aku belikan Natsuko sepasang sepatu baru berwarna merah.

Sampai hari ini, sepatu itu masih disimpan oleh istriku di sebuah etalase yang ada di ruang tamu. Sekadar sebagai kenang-kenangan. Sebagai tanda bahwa pernah ada bayi dengan kaki begitu kecil yang pernah mengenakannya.

Waktu terus berjalan. Natsuko mulai masuk sekolah. Saban hari istriku mengantarnya, juga menjemputnya. Ketika berada di kelas satu SD, Natsuko berhasil meraih nilai tertinggi di kelasnya di semester pertama. Aku membatalkan rencana lemburku dan segera pulang untuk mengajak Natsuko dan istriku ke festival Obon. Orang bilang, ketika festival Obon tiba, para arwah pulang ke rumahnya masing-masing untuk mengunjungi keluarganya.

Natsuko bukan main senangnya ketika mengunjungi festival Obon pertamanya. Istriku mendandaninya dengan yukata berwarna biru dengan corak rumput-rumput dan sebuah bulan purnama yang menggambarkan suasana musim panas-jika yukata itu dapat mengeluarkan suara, pastilah akan terdengar suara embusan angin dan bunyi krik krik krik-dan obi berwarna kuning.

Hal pertama yang diinginkan oleh Natsuko adalah permen apel dari salah satu stan yang berjajar di sepanjang jalan menuju kuil. Dia memakan permen apel itu dengan bahagia sambil tangan kirinya dipegang oleh istriku. Belum lagi permen apel itu habis, Natsuko ingin mencoba menangkap ikan mas.

"Ayah, aku ingin menangkap ikan mas," katanya sambil menunjuk-nunjuk stan menangkap ikan mas dengan permen apelnya yang sudah tidak utuh lagi.

"Ikan mas?"

"Iya."

"Nacchan bisa?"

Dia mengangguk.

Aku mengajaknya berjalan menuju stan menangkap ikan mas yang lumayan ramai itu.

"Irasshaimase!" kata pemilik stan.

"Tolong dua."

"Hai."

Pemilik stan itu memberiku dua serok kecil dan dua mangkuk, satu serok dan satu mangkuk kuberikan kepada Natsuko. Kami berdua berjongkok sementara istriku tetap berdiri di belakang kami dengan sedikit merunduk untuk melihat kami bermain.

"Perhatikan baik-baik, Nacchan." Aku mulai mendekatkan serok dan mangkuk ke kolam penuh ikan. Kuincar ikan yang berwarna paling cerah dan kutangkap dia dan kumasukkan ke mangkuk kecil di tangan kiriku. Percobaan pertamaku berhasil. Aku bersyukur bisa tampil hebat di depan putriku. Kuberikan mangkuk kecil berisi ikan itu kepada penjaga stan agar dia memasukkannya ke kantung plastik dan bisa dibawa pulang, mungkin Natsuko akan senang untuk memeliharanya. "Sekarang giliranmu."

"Baik."

Natsuko mulai menyerok ikan, tapi dia tidak tahu bahwa serok itu hanya terbuat dari sebuah kertas. Begitu terkena di air, kertas itu akan robek dengan mudah. Natsuko merasa sedih melihat seroknya.

"Mau coba lagi?"

Natsuko mengangguk.

Aku meminta satu serok lagi kepada penjaga stan. Setelah menerimanya, kuberikan serok itu kepada Natsuko. Namun, seperti tadi, dia gagal lagi. Natsuko mencobanya sampai lima kali dan selalu berakhir gagal. Akhirnya aku bujuk dia untuk mencoba hal lain saja.

"Tahun depan kita coba lagi," janjiku saat itu.

Dia pun menurut.

Aku membayarkan sejumlah uang sebagai biaya permainan tadi dan pemilik stan memberiku ikan mas yang sudah kutangkap tadi dalam sebuah wadah plastik yang diisi air. Kuberikan ikan mas itu kepada Natsuko. Dia memegangi ujung plastik dan mengangkatnya sedikit lebih tinggi. Dia dekatkan plastik itu ke wajahnya. Mata dan mulutnya terbuka lebar ketika melihat ikan itu berenang mengitari ruangan sempit di dalam plastik.

"Jagalah dia baik-baik. Tahun depan, kita carikan dia teman."

Natsuko kembali tersenyum. Aku pun tersenyum melihatnya.
Kami berkeliling, meleburkan diri menjadi bagian dari keramaian festival tersebut. Salah satu stan yang berjejer itu menjual berbagai macam topeng. Kutunjukkan kepada Natsuko bahwa banyak topeng yang bagus di sana. "Jika mau, ayah akan belikan."

Natsuko menunjuk salah satu topeng yang dipajang di sana. Itu adalah topeng kitsune. Topeng itu berwarna dasar putih dan memiliki telinga yang menjulang di atas kepala. Garis-garis untuk menggambarkan lingkar mata, mulut, dan hidung dilukis dengan cat berwarna merah dan hitam. Aku tidak keberatan. Dalam legenda, rubah seringkali digambarkan sebagai penjaga setia, kekasih, atau istri, bahkan ada juga yang menggambarkan rubah sebagai pembawa pesan dari Tuhan.

Kupanggil penjaga stan dan kubeli topeng kitsune itu. Natsuko langsung mengenakannya. Pada awalnya, dia memakainya di wajahnya. Kemudian, istriku menggeser topeng itu ke samping kepala Natsuko.

"Seperti ini saja agar kau mudah untuk melihat."

Dia mengangguk. Istriku mengelus rambutnya dan mengatakan,
"Anak pintar."

Untuk menutup kunjungan itu, kami sekeluarga menyaksikan tari obon. Mata Natsuko berbinar-binar menyaksikan banyak orang menari secara bersama-sama. Dia pun bertepuk tangan berkali-kali mengikuti irama musik pengiring.

"Tahun depan lagi, ya," kata Natsuko setelah kami berjalan pulang.

"Selama kau bisa meraih peringkat di kelas, ayah akan mengajakmu lagi," kata istriku.

"Janji?"

"Janji," kataku.

"Kalau begitu, Nacchan akan belajar dengan giat."

Tapi, ketika tahun baru tiba, aku meninggal dunia. Istriku berduka sedalam-dalamnya. Natsuko bertanya kepada ibunya, "Mengapa ayah tidak bangun, apakah dia tidak bekerja?" tidak ada jawaban yang diperolehnya, kecuali pelukan erat dari ibunya.

Sekarang, pada liburan musim panas, di hari festival Obon berlangsung, aku kembali ke rumahku. Istriku meratap lagi setelah dirinya bekerja seharian. Dia merasa sedih karena sekarang adalah hari ketika festival Obon diselenggarakan. Festival itu memiliki terlalu banyak kenangan manis yang dia lalui bersamaku dan Natsuko.

Ketika dia masih merenung di meja makan, Natsuko mendatanginya dan menarik-narik lengan bajunya.

"Ibu ... Ibu, ayo kita tidur. Natsuko berjanji tidak akan nakal lagi. Natsuko tidak akan meminta untuk pergi ke festival lagi."

Istriku menatap Natsuko. Wajahnya masih sedih, tapi sebuah senyuman pun hadir di wajahnya. Dia kemudian memeluk Natsuko, mengelus punggungnya. Aku memerhatikannya dari sudut gelap yang ada di dapur. Hanya itu yang bisa kulakukan, melihat mereka yang masih hidup. Natsuko dan ibunya kemudian berjalan meninggalkan dapur setelah memadamkan satu-satunya cahaya yang tersisa di ruangan itu.

5 September 2021-27 Agustus 2022

Mochamad Bayu Ari Sasmita lahir di Mojokerto pada HUT RI ke-53; menulis cerpen, tinggal di Mojokerto, Jawa Timur




(mmu/mmu)

Hide Ads