Pagi ini udara Bandung terasa hangat. September ceria datang menghantarkan kesejukan benar-benar nyata adanya. Kau bisa merasakan dua perpaduan elemen bumi dan matahari bersatu padu, menciptakan bau tropis sejuk daun basah karena embun seperti eukaliptus yang bercampur dengan aroma manis esens matahari. Kesejukannya sangat terasa sampai ke ulu hati.
Burung-burung berkicau di atas pohon kersen pinggir empang sembari menari mengepakkan sayap, terbang dari satu atap ke atap yang lain, dari dinding-dinding kecil bangunan padat penduduk yang sempit merayap memasuki gang-gang seperti labirin. Induknya terbang ke sana-kemari mencari tempat aman untuk bertelur; seperti kebingungan putus asa kehabisan ide hendak bertelur di mana, lingkungan sudah terlalu padat dengan manusia.
Dulu tempat ini hanyalah hamparan sawah luas biasa dan kebon-kebon milik tuan tanah tak terurus. Kini, seiring pembangunan kampus-kampus baru secara besar-besaran, tanah-tanah ini kemudian berubah menjadi tempat-tempat kos kecil berderet untuk para mahasiswa. Warung-warung kecil bermunculan, usaha laundry ada di hampir setiap jengkal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Istri Bentala sedang tertidur lelap memeluk guling dan selimut katun lembutnya. Sang istri membiarkan tubuh mungilnya tertelan oleh kehangatan cuaca bulan September. Melihat istrinya tertidur memakai sweatshirt warna lylac lengkap dengan kaus kaki warna cream membuat Bentala teringat sebuah lirik yang pernah dipopulerkan penyanyi pop era 90-an Shania Twain:
Looks like we made it
Look how far we've come, my baby
We mighta took the long way
We knew we'd get there someday
Mereka bilang kita tidak akan sampai pada titik ini, bahwa pernikahan adalah sebuah kerja keras; tak semua orang bisa melaluinya. Kau akan berhadapan dengan banyak permasalahan, ego-ego besar, konflik yang tak ada ujungnya, tagihan listrik, keperluan dapur, keperluan anak. Belum lagi hal-hal sepele seperti kau lebih suka tidur menggunakan kipas angin atau kau lebih nyaman tidur dengan lampu menyala atau gelap gulita. Kehidupan pernikahan itu sungguh menguras energi.
Bentala teringat saat akhirnya ia memberanikan diri untuk menemui calon mertuanya. Perempuan itu sangat membencinya; melihat Bentala seperti serangga yang harus dimusnahkan, enyah dari muka bumi. Kemudian lirik itu seperti mengawang-awang, menari-nari di udara membentuk font cantik dan berseru, selamat kalian sampai di titik ini, bersyukurlah.
Setelah menyesap segelas teh chamomile hangat dengan madu dan mengambil beberapa keping biskuit, Bentala siap pergi bergegas berangkat kerja. Sepertinya bukan Bentala saja yang sudah sibuk sejak pagi buta, lihatlah pasar-pasar di pinggiran kota, bukankah sebuah awal kehidupan di mulai dari pasar?
Terlihat dua pemuda pasar membawa celurit tajam bulan sabit sedang berdiri was-was menunggu truk pengangkut barang di pintu gerbang Tol Kopo. Mereka memperebutkan sebuah truk yang berisi ayam broiler kiriman dari Jawa. Setelah ayamnya sampai, kita tebas mereka satu per satu. "Pokoknya pas truk itu datang, kamu harus langsung loncat ke atas, ambil semua jangan sampai ada yang tersisa," kata pemuda satunya sambil bersiap-siap memasang badan.
Semua usaha itu mereka lakukan karena harga ayam sekarang lagi tinggi-tingginya. Jika tidak bekerja pintar seperti dua pemuda pasar itu mereka tidak akan mendapatkan harga ayam yang lebih murah. Makanya dengan sigap mereka cegat truk pengangkut ayam dari gerbang tol jauh sebelum truk itu tiba di Pasar Induk. Tak lama kemudian truk pengangkut ayam pun datang, dua pemuda itu sudah bersiap dengan membawa empat karung goni di tangannya.
"Berhenti! Berhenti!" teriak pemuda pasar itu.
Begitulah awal mula dari sebuah perjuangan kehidupan pada suatu pagi buta; sepotong ayam geprek yang kau makan setiap hari mempunyai cerita pengorbanan dua pemuda pasar yang sungguh luar biasa. Semua orang sibuk sejak pagi. Beberapa ada yang siap bekerja, ada orangtua yang mengantarkan anaknya pergi sekolah. Ada juga yang bersepeda pada hari biasa. Jangan pernah bertanya kerja apa mereka hingga bisa bersepeda santai pada pagi hari saat orang-orang lainnya berbondong-bondong bekerja; mungkin mereka CEO muda, mungkin pula mereka pekerja kantoran work from home. Bentala tak berani membandingkan dirinya dengan mereka.
Sudah jalan dua bulan Bentala bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah hotel chain bintang lima. Pekerjaannya sebenarnya cukup mudah, semua orang pun bisa melakukan pekerjaannya, hanya diperlukan tekat kuat, ketekunan, dan mental. Rutinitas harian Bentala hampir sama seperti pekerja kebersihan yang lainnya, memastikan area sekitar hotel bersih, rapi, membersihkan ruangan-ruangan besar seperti meeting room, toilet, mengisi ulang tisu, dan tak lupa mengembalikan peralatan mesin pembersih setelah usai dipakai.
Okupansi hotel saat ini sedang tinggi-tingginya, tanda bahwa roda ekonomi sudah mulai kembali pulih. Bentala bahkan sampai bolak bolak menganyunkan alat lobby duster-nya dari ujung ke ujung lobi memastikan permukaan marmer lantai hotel tetap bersih mengilap meski banyak orang lewat berlalu-lalang.
"Kerja kebersihan di area hotel itu simpel, tidak usah banyak tanya. Anggap saja hotel ini rumah kamu sendiri. Kalau rumah kamu kotor, kamu tahu kan apa yang perlu dilakukan?" kata seorang pengawas menjelaskan saat hari pertama Bentala kerja.
Bentala jadi teringat sahabat sekaligus tetangganya, Imron. Kalau bukan karena kebaikan hatinya, mungkin Bentala masih menganggur sampai sekarang. Berkat Imron, Bentala jadi bisa bekerja di hotel sebesar ini meski dirinya bukan berasal dari latar belakang sekolah perhotelan. Meskipun kadang ada juga beberapa karyawan lain meremehkannya --berkat orang dalam, kata mereka.
"Tidak apa-apa. Kan kamu sudah lama kerja di restoran, ini sama kok kita memberikan layanan terbaik juga, bedanya sekarang kamu memberikan layanan di bidang kebersihan," kata Imron waktu itu membela sahabatnya.
Tentu saja Bentala tidak akan mengecewakan kebaikan Imron, bahkan jika Bentala bisa memberikan kinerja 1000%, maka ia pun akan melakukannya. Hanya kesempatan ini yang Bentala punya, mau kerja apa lagi jika ijazah yang ia punya hanya SMA, pikirnya. Teringat luka itu masih basah, saat Bentala merasakan bagaimana menyakitkannya menjadi pengangguran di masa pandemi tak lama setelah ia memutuskan nikah muda. Tekanan dari sana-sini, kebutuhan yang tiada habisnya, belum lagi masih tinggal sama mertua. Bagaimana mungkin Bentala mengecewakan pertolongan Imron?
Sebelum bekerja di hotel, Bentala bekerja di sebuah restoran all you can eat. Namun sejak masa pandemi, semua restoran semakin sepi karena pengunjung takut makan dine in di resto, hingga membuat resto tempat bekas ia kerja bangkrut. Belum lagi sekarang saingan bisnis makanan semakin banyak. Lihat saja di aplikasi online, tidak sampai jarak satu kilometer kau pasti sudah menemukan banyak pilihan makanan rumahan yang lebih murah dan enak.
Bentala jadi teringat kalimat dari sebuah buku yang tak sengaja ia baca saat duduk menunggu istrinya di klinik kandungan; kutipannya kurang lebih seperti ini, "Kita sedang berada pada masa shifting, di mana perusahaan besar justru tergopoh-gopoh dengan perubahan, namun perusahaan kecil milik millennials malah sangat lincah dan fleksibel menghadapi perubahan." Namun ia meragukan kutipan itu, apakah itu sedang terjadi pada era sekarang? Atau, itu hanya kutipan hiburan agar para pengusaha kecil bersenang hati? Bagaimanapun, yang kecil tidak akan pernah bisa melawan raksasa.
Suara mobil SUV Bronco Raptor mewah warna hitam terdengar memecah lamunan Bentala. Jika di cek di online, mobil itu kira-kira harganya sekitar $90.500. Mobil itu berhenti tepat di depan pintu masuk saat Bentala sedang sibuk bekerja membersihkan lantai marmer dekat pintu masuk lobi utama. Terlihat seorang pria paruh baya dengan pakaian bersih rapi mengenakan jas keluar dari mobil dan berjalan sendiri membuka bagasi.
"Hei, kamu! Malah diam saja, tidak lihat saya bawa koper banyak?" serunya
"Kamu diam saja di situ, tidak liat saya bawa koper banyak?" pria itu mengulanginya lagi, kali ini makin ketus dengan nada lebih keras hingga membuat Bentala langsung bergegas menghampirinya.
"Mohon maaf, Pak bisa dibantu?" kata Bentala sambil sedikit menunduk tanda memberikan kesan bahwa Anda sangat kami hormati.
"Tidak dengar saya barusan bilang apa? Bawa koper saya!" Pria itu semakin kesal dengan keleletan Bentala. Kemudian terlihat arah mata sinisnya seperti melihat ke arah name tag yang ada di bajunya, pria itu kemudian menutup pintu mobilnya dengan keras dan bergegas masuk ke dalam hotel. Hilang dari pandangan tanpa jejak.
Tak lama saat istirahat makan siang tiba, Bentala bertemu dengan Imron. Imron tiba-tiba mendatanginya seperti ada kabar buruk yang ia ingin sampaikan. "Sepertinya kamu sudah jadi trending topic,"katanya
"Memang ada apa, Ron?" tanya Bentala dengan rasa penasaran.
"Sudah saya bilang kan, memberikan pelayanan hotel itu tidak sesimpel itu, satu komplain dari tamu semua departemen itu kena, Ben. Bahkan satu helai rambut tersisa di lantai aja bisa jadi bencana besar buat kita semua," kata Imron
Bentala tidak berusaha untuk membela diri, tapi akhirnya menceritakan yang sebenarnya terjadi kepada sahabatnya.
"Begini Ron, tadi itu di depan pintu masuk lobi memang tidak ada siapa-siapa, cuma ada petugas valet parkir saja, itu pun dia sedang handle mobil lain. Dan memang salahku tadi terlalu fokus sama kerjaanku jadi mengabaikan tamu datang. Lain kali aku akan lebih fokus," Bentala mencoba menjelaskan kronologinya.
"Untuk urusan ini biar saya saja yang menjelaskan ke HRD. Saya rasa ini hanya salah paham saja." kata Imron.
Mendengar ucapan Imron membuat hati Bentala sedikit lebih tenang. Sampai kapan dia akan selalu memberikan pertolongan kepada Bentala? Sungguh baik hatinya.
Bentala tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini kalau ia benar-benar dipecat gara-gara masalah komplain tamu. Cap pecundang dari keluarga istri akan semakin menghantui hari-harinya. Setelah kejadian itu Bentala tetap melanjutkan rutinitas pekerjaannya, ia tetap bekerja dengan baik dan benar sesuai standar operasional yang berlaku.
Waktu pulang tiba, Imron muncul dengan wajah yang terlihat lebih tenang. Ada apa dengan Imron, ekspresi wajahnya malah membuat Bentala jadi semakin bingung.
"Kejadian yang tadi itu tidak apa-apa, concierge lupa tadi tidak memberi tahu kamu saat dia izin ke belakang sebentar, it's not a big deal," jelas Imron
Bentala sangat lega mendengar ceritanya. Syukurlah Bentala tidak dikasih peringatan atau bahkan lebih buruk dari itu diberhentikan. Nyaris saja.
"Mau dengar kelanjutan ceritanya nggak?" tanya Imron membuat Bentala penasaran.
"Tamu tadi memecahkan guci hotel seharga 10 juta. Tamu itu sampai bilang begini, kamu mau uang 10 juta? Ambil nih 10 juta, dilemparkanlah kartu kreditnya hampir mengenai wajah sang resepsionis," ceritanya.
Bentala terkejut mendengar cerita Imron; ada-ada saja kelakuan tamu. Tamu itu memang raja, tapi haruskah ia berperilaku tidak sopan kepada sesama manusia hanya karena ia mampu menggantinya? Benar-benar arogan, pikirnya. Kalau kata Imron, itu belum seberapa. Ia bahkan pernah mengalami yang lebih buruk.
Nada dering notifikasi Whatsapp dari sang istri memecahkan ketegangan yang terjadi pada diri Bentala setelah mengalami hari buruk. Oh, istrinya pasti sedang sabar menunggunya pulang ke rumah. Sang istri mengirimkan sebuah pesan teks.
"Jangan pulang ke rumah, aku sedang di rumah sakit bersama ibu. Kamu bisa menyusul ke sini, jangan lupa bawakan aku es krim, Fairy tiba-tiba marah dan ingin makan es krim," demikian isi pesannya
Membaca pesan dari sang istri membuat Bentala jadi sedikit khawatir. Ada apa gerangan sang istri ke rumah sakit, sepertinya baru minggu lalu ia mengantarkan istrinya cek kandungan. Gelembung pertanyaan besar itu masih menganga di dalam hatinya. Tanpa berpikir panjang Bentala bergegas berpamitan dengan Imron untuk segera pulang dan memacu motornya menuju toko es krim legendaris di Jalan Dipatiukur. Beruntung sore ini jalanan tidak begitu macet jadi ia bisa sampai rumah sakit lebih cepat dari prediksi awalnya.
"Pesan es krim dua potong," katanya kepada pelayan toko
"Maaf, Kak, untuk es krim potongnya kita sudah habis. Apakah kakak tertarik mencoba es krim boba brown sugar kami?" tanya pelayan.
Es krim potongnya habis. Bentala berpikir sejenak. "Boleh, saya pesan dua."
Sejak pandemi minuman boba memang ngetren di kalangan anak muda. Bagaimana mungkin bola-bola kecil itu bisa membuat mereka jadi gila? Bukankah membuat boba juga bukan hal yang susah, kau tinggal siapkan tepung tapioka dan air. Buatlah bola-bola kecil, lalu warnai bobamu sesuai selera. Kemudian kau bisa mencampurkan boba-boba itu bersama es krim dan gula aren cair. Jadilah kudapan manis yang bisa kau nikmati saat waktu senggang bersama orang tersayang.
Bentala heran mengapa istrinya memintanya untuk membeli es krim di saat cuaca Bandung lagi dingin-dinginnya. Bentala bergegas menyalakan mesin motornya, melaju menerobos kerumunan manusia menuju rumah sakit. Rumah sakit itu kecil, terletak di tengah-tengah kampung padat penduduk, lebih tepatnya hampir mirip Puskesmas, bedanya tempat ini sudah mempunyai ruangan UGD sendiri.
Terlihat istrinya sedang berbaring di ranjang UGD. Rambutnya ia biarkan tergerai panjang menutupi baju sweatshirt lylac yang ia pakai sejak pagi. Wajahnya tentu masih cantik berseri-seri meskipun terlihat sedikit pucat dan matanya masih sembab seperti habis menangis seharian. Melihat suaminya datang, sang istri berusaha untuk tidak terlihat sedih dan mulai tersenyum.
"Hari ini aku lemas banget," katanya. Sejak hamil memang sang istri terlihat lebih sering duduk sendiri di sofa sepanjang hari. Bentala tidak keberatan dengan itu. Bentala hanya ingin istrinya mendapatkan istirahat yang cukup. Kemudian Bentala menghampirinya dan mencium rambut istrinya. Wangi segar shampo strawberry masih tercium sangat enak.
"Fairy sudah tidak ada," kata sang istri dengan nada lirih sambil menghela napas.
Tak terbayang betapa sakit yang dialami oleh istrinya saat Bentala tak ada di sampingnya. Sang istri mengalami kontraksi hebat hingga mengeluarkan cairan seperti darah. Mengeluarkan seonggok daging segar yang seharusnya kelak menjadinya calon bayinya yang bernama Fairy.
Calon bayi kecil berusia tiga bulan itu kini sudah tiada. Bentala kehabisan kata-kata, Ia benar-benar tidak bisa berkata-kata, betapa hancurnya hatinya, membayangkannya saja ia tak mampu. Dalam diam hati Bentala bergejolak, berpikir keras seandainya saja ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan istrinya dan tak membiarkannya kelelahan sendiri, mungkin takdir akan berkata lain, mungkin Fairy calon bayinya masih hidup hingga sekarang.
Meskipun Bentala sudah sangat siap mental menjadi seorang bapak yang baik, ternyata Tuhan belum mengizinkan waktu itu untuk tiba. Sore itu adalah hari berduka bagi mereka. Tangan Bentala meraih rambut sang istri, dan membelainya dengan lembut.
"What's meant to be yours will be yours, we let it go," katanya lirih
Bentala membuka es krim boba yang ia beli; sudah mulai sedikit mencair.
"Es krim bobaaaa, favoritku," istrinya berseru lirih matanya masih sembab. Hatinya masih sedih berusaha mencoba mengikhlaskan takdir yang baru saja terjadi pada dirinya dan keluarga kecilnya.
Bentala tenggelam dalam duka. Ia memeluk istrinya. Di atas ranjang UGD rumah sakit, mereka bercerita banyak tentang rencana-rencana masa depan yang akan mereka lakukan setelah ini, tapi mereka sebenarnya tak begitu peduli apa yang akan terjadi nantinya. Orang bilang es krim selalu memberikan kesejukan dan kelembutan, seolah ia tak mengizinkan hatimu untuk bersedih, ternyata benar adanya.
Bola-bola boba yang kenyal bagaikan rintangan-rintangan hidup yang akan mereka hadapi. Manis gula aren memberikan sensasi yang pas, tak berlebihan. Mereka mengukirnya sendok demi sedok, menangkap momen saat ini, berharap setiap krim lembut susunya tidak berbuih dan berubah menjadi tawar.
"Semua akan baik-baik saja," bisik Bentala.
Aril Ahmad penulis, pernah memenangkan lomba kritik film Apresiasi Film Indonesia (Badan Perfilman Indonesia, 2017)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)