Lampu dipadamkan, film baru saja mulai, orang-orang membetulkan posisi duduk lalu menyandarkan punggung biar jenak. Erik memasang alarm agar dua jam lebih tiga puluh dua menit ke depan, hape-nya berbunyi, persis pas film berakhir. Lalu dia menarik tudung hoodie-nya agar sedikit menutupi wajah dan memasang penutup mata. Waktu tidur dimulai.
Dia sama sekali tidak peduli dengan keseruan film Doctor Sleep. Dia tak peduli dengan kecanggihan akting Ewan McGregor maupun Rebecca Ferguson yang banyak memperoleh penghargaan itu. Erik sudah hafal alur dan penokohan film ini. Bukan itu semua yang menarik dia duduk tenang di kursi bioskop ini. Dia hanya ingin tidur nyenyak, itu saja.
Lihatlah, memasuki menit ketiga, kepalanya sudah miring ke kiri. Otot-ototnya mulai rileks dan detak jantungnya juga melambat. Artinya dia mulai menemukan kenyenyakan di tengah ingar bingar music scoring atau jejeritan pemain film. Justru itu yang membuatnya tenang dalam tidur. Dia tampaknya memasuki deep sleep, salah satu fase tidur paling berkualitas. Bila dicermati, dengkuran halus terdengar dari hidungnya. Tapi tentu saja orang-orang di sekeliling Erik tidak menyadari itu terutama saat adegan-adegan seru karena tata suara bioskop yang begitu hidup menenggelamkan dengkuran yang hanya selevel bunyi ban bocor itu.
Betul saja, beberapa menit setelah film usai, sebelum tayangan credit title berakhir, hape Erik menjerit-jerit membangunkannya. Dia membuka penutup matanya, mengerjap-ngerjap sebentar untuk menyesuaikan dengan pencahayaan gedung bioskop yang sedikit temaram. Ini salah satu yang dia suka, pencahayaan yang ramah di mata. Lalu mematikan jeritan alarm di hape-nya dan menarik tudung kepalanya. Dia menggeliat ringan disusul gerakan memutar sedikit badannya ke kanan dan ke kiri dibarengi lenguhan ringan mirip orang sedang senam pagi. Erik merasa jauh lebih segar setelah hampir 48 jam tak dapat terlelap.
Itu sebenarnya masih lumayan. Pekan lalu bahkan empat hari dia tak tidur. Badannya lemas dan sakit di setiap persendian. Gangguan tidur ini sungguh menyiksanya.
***
Mungkin saat itu Erik berusia sepuluh atau hampir sebelas tahun. Dia tak tahu persis. Yang dia ingat, ketika itu ia baru saja usai jalan pagi dengan keliling kompleks bersama ayahnya. Terhitung tidak terlalu lama, sekitar 40 menit. Erik memainkan game di tablet, sementara ayahnya tertidur sembari bersandar di sofa. Sekitar setengah jam kemudian, Erik kesulitan mengalahkan musuhnya di game itu. Biasanya, sang ayah yang akan membantu memecahkan kebuntuan dengan memandu Erik menemukan strategi yang pas untuk mengalahkan musuh. "Intinya sabar, dan cari waktu yang pas untuk menyerang," nasihat ayahnya tempo hari tentang strategi mengalahkan musuh.
Erik sudah mencoba strategi itu, tetapi tidak berhasil. Maka dia gugah ayahnya. "Yah, bantuin dong mainin game-nya," kata Erik sembari menyenggol-nyenggol ayahnya dengan siku kanannya sementara matanya masih menatap layar tablet.
Ayahnya bergeming. Erik menyenggolnya lebih keras. Tahu-tahu ayahnya malah roboh ke kanan. Erik merasa ada sesuatu yang tidak beres. Segera dia taruh tabletnya dan memanggil ibunya yang kemudian dengan tenang membangunkan suaminya. Dua sampai lima goncangan tidak segera membangunkannya. Mereka berdua mulai panik dan berakhir terguncang ketika menyadari ayah dan suami itu sudah tiada.
Guncangan itu membekas amat dalam pada diri Erik. Menyisakan luka menganga yang sulit terobati dan kemudian memunculkan gangguan-gangguan dalam hidupnya kemudian. Yang paling nyata, dia sulit tidur. Bukan, bukan. Bukan sulit tidur. Lebih tepatnya, dia takut tidur.
"Saat kita tidur, tidak ada yang bisa kendalikan. Semua yang terjadi di sekeliling dan pada diri kita, benar-benar kita tidak tahu. Tidur berarti mengalah kepada kehendak lain dan saya tidak menginginkan itu. Saya harus bisa mengendalikan diri karena berada di bawah kekuasaan tidur," pengakuan Erik Sembilan tahun kemudian ketika sesi konsultasi dengan seorang psikiater untuk mengatasi gangguan tidurnya.
"Pengalaman traumatis di masa lalu membuat Anda salah dalam mempersepsikan tidur. Ini kemudian mendorong Anda untuk merespons secara salah pula terhadap tidur," kata psikiaternya yang kemudian menawarkan sebuah terapi persepsi.
Erik menolak dengan alasan bahwa dia lebih tahu atas peristiwa yang menimpa dirinya. "Anda bisa mengatakan saya salah karena Anda tidak pernah mengalaminya. Yang Anda katakan hanya berdasarkan bacaan atau pengalaman orang lain. Anda tak tahu yang yang sesungguhnya saya alami," bantah Erik.
Baginya, tidur tak lain adalah makhluk buas yang dapat dengan mudah membujuk siapa saja untuk masuk ke dalam pelukannya lalu pelan-pelan membawa mereka lari tak pernah kembali. Dan, kantuk adalah abdi tidur yang paling setia, yang menggoda semua orang untuk tidur dan pasrah. Mereka telah mencuri ayah Erik. Oleh karena itu, Erik menolak tidur jika tidak ada orang yang menjaganya.
Ibunya sering dibuat pusing dengan tingkah Erik. Ketika Erik tidur, ibunya diminta untuk menjaganya. Di awal-awal ibunya menurut karena dia anggap sebagai cara menyenangkan Erik setelah kehilangan ayahnya. Tetapi setelah beberapa bulan, dia pusing juga mengikuti kemauan anaknya itu. Pernah suatu kali mereka sama-sama terlelap hingga menjelang pagi. Erik yang terbangun dan mendapati ibunya terlelap, berang tak karuan.
Sejak saat itu itu, Erik memilih menjaga ibunya di malam hari, dan ibunya menjaga Erik di siang hari. Mereka bergantian tidur dan bergantian berjaga. Namun, ibunya tak pernah bisa nyenyak tidur di bawah pengawasan anaknya. Sebab, setiap sepuluh menit sekali, Erik meletakkan jari telunjuknya di bawah lubang hidung ibunya untuk memastikan masih ada embusan napas. Ibunya masih hidup. Dia tak ingin kecolongan untuk kedua kalinya. Dia tak ingin ibunya dicuri tidur seperti ayahnya.
Perilaku itu yang mendorong ibunya membujuk Erik berkonsultasi dengan psikolog. Maka, sejak usia enam belas tahun, Erik langganan mendatangi psikolog, tetapi beberapa terapi yang dia jalani tak kunjung dapat mengatasi masalah tidurnya. Dia lalu beralih ke psikiater atas saran rekan kerjanya. Beberapa pil tidur dan obat penenang dari psikiater kadang membantunya terlelap, tetapi tak lama. Beberapa hari kemudian dia kembali kesulitan tidur.
Setelah sekian banyak psikolog dan psikiater dia datangi, tubuh kesadaran dalam diri Erik bahwa persepsinya terhadap tidur itu salah. Tapi sebagian alam pikirnya tetap sulit menerimanya. Bagi sebagian pikirannya, tidur itu pengalaman yang membahayakan. Erik berperang melawan sebagian pikirannya sendiri. Musuh yang tidak nyata. Musuh yang ada di dalam dirinya sendiri. Musuh yang menyelinap dan lama menetap.
Erik butuh tidur agar tetap bugar karena untuk mengalahkan musuh dalam dirinya, dia harus bertenaga dan jernih berpikir. Lagi-lagi sebagian pikirannya bertahan bahwa tidur justru membahayakan diri.
Erik mencoba berdamai dengan mengikuti saran banyak orang termasuk psikolog dan psikiater yang dia datangi. Mereka seperti membaca buku yang sama sehingga sepakat menyarankan Erik untuk membuat jadwal tidur yang ajek; rutin berolahraga minimal 20 menit sehari; banyak minum air putih, menghindari kopi dan alkohol; serileks mungkin sebelum tidur dengan membaca atau mandi air hangat.
Dia juga disarankan mematikan lampu atau setidaknya memakai cahaya remang ketika tidur karena itu dapat membantunya terlelap. Juga tidak lupa mengganti bantal beberapa bulan sekali biar mendapatkan suasana baru yang lebih nyaman.
"Ada hasilnya?" tanya psikiater.
"Tidak."
"Kira-kira mengapa?"
"Karena saya takut tidur sendirian."
Sejak ibunya meninggal menyusul ayahnya beberapa tahun lalu, Erik hidup sebatang kara. Pernah memang beberapa kali menjalin asmara, tapi kandas lantaran masalah tidurnya itu. Kekasih-kekasihnya terganggu jika tiap beberapa menit Erik memeriksa pernapasan mereka.
***
Sore ini Erik berjalan menyusuri lorong sebuah supermarket lalu naik lift menuju lantai tiga tempat studio bioskop berada. Dia sudah memesan tiket secara daring sehingga cukup mencetaknya begitu tiba di loket tiket. Pilihan kali ini amat terbatas karena Erik agak telat beli tiket. Dia mendapat kursi agak pojok kanan. Posisi ideal bagi dia yaitu di deret E, F, atau G dengan nomor yang memungkinkan dia duduk di tengah. Dengan berada di tengah dia berasumsi akan dikelilingi banyak penonton lain yang berarti banyak yang jaga dia saat terlelap nanti.
Tapi tak apa, film yang akan diputar, Spiderman: No Way Home ini banyak peminatnya, pasti nyaman-nyaman saja, pikirnya. Lagi pula, ini film yang asyik lantaran durasinya hampir dua setengah jam. Dengan durasi sepanjang itu, dia bisa tidur nyenyak lebih lama.
Ah, benar saja. Begitu duduk, samping kanan dia sudah penuh penonton. Beragam usia. Bahkan dia melihat anak-anak di bawah usia taman kanak-kanak pun ikut menonton. Dia sempat berpikir, apa orangtua mereka tidak mempertimbangkan bahwa film ini penuh kekerasan dan tak layak ditonton anak-anak? Tapi masa bodoh, yang penting dia bisa tidur.
Selepas potongan film-film lain, muncul imbauan-imbauan di layar untuk tidak berisik, tidak merokok, dan tidak merekam film. Ah, gue kan cuma mau tidur, kata Erik dalam hati. Lampu redup dan akhirnya padam yang berarti film segera dimulai. Erik menarik tudung hoodie-nya agar sedikit menutupi wajah dan memasang penutup mata. Waktu tidur dimulai. Hanya selang beberapa menit, dia sudah mendengkur halus.
Rasanya baru sesaat dia terlelap. Erik bangun mengusap membuka penutup mata dan melihat sekeliling. Sepi dan gelap. Ruangan bioskop itu hanya diterangi cahaya dari tulisan petunjuk "EXIT". Dia merogoh ponsel dan melihat jam. Oh, sudah lewat dari jam sepuluh malam. Dia mengutuk diri sendiri lantaran lupa memasang alarm di ponsel.
Buru-buru dia memberesi barang dan setengah meraba-raba, melangkah ke pintu keluar. Sial, dikunci dari luar. Dia beralih ke pintu satu lagi tempat dia masuk tadi. Terkunci juga. Beberapa kali dia menggedor pintu, tapi tak ada respons. Pikiran Erik buntu. Napasnya memburu.
Green Village Bintaro, 2021-2022
Hilmi Faiq buku kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul 'Pesan dari Tanah' (2020) dan 'Pemburu Anak' (2021)
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
Simak Video "Video: Duka Artis Indonesia atas Meninggalnya Diogo Jota"
(mmu/mmu)