Menjadi negara kepulauan, membuat Indonesia memiliki ragam budaya tradisional di masing-masing daerah. Kini, budaya-budaya tradisional itu harus diperjuangkan agar bisa tetap eksis di tengah gempuran budaya modern.
Melestarikan budaya lokal dan tradisional diperlukan semangat dan niat yang besar agar tetap terjaga dan bisa ditularkan ke generasi berikutnya. Hal inilah yang ingin dicoba oleh salah satu sanggar kesenian yang ada di Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Sanggar Sandalwood.
Koordinator Sanggar Sandalwood, Bitan mengatakan sanggar tersebut dibangun pada tahun 2017. Saat itu, Bitan baru saja menyelesaikan pendidikannya di Yogyakarta. Bitan melihat, Yogyakarta sebagai kota yang sangat mengapresiasi budaya dengan banyaknya ruang untuk teman-teman seni bisa berekspresi. Ia pun mencoba mendapatkan ilmu dari teman-temannya di sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah pulang lagi ke Kefamenanu, dengan bekal yang ada itu saya coba mengumpulkan teman-teman untuk membuat sanggar ini. Kebetulan dapat beberapa teman yang mau buat sama-sama sanggar ini," kata Bitan kepada detikcom beberapa waktu yang lalu.
Bitan mengatakan sanggar ini dibuat untuk menjadi wadah anak-anak lokal meningkatkan potensi di bidang kesenian. Kebanyakan dari mereka pun diajarkan untuk menyanyi, menari hingga kesenian lainnya dengan seorang tutor yang mengajarkan sesuai minat anak-anak.
"Awalnya dibuat sanggar karena di sini kita lihat bahwa anak-anak itu tumbuh masa remaja itu masih banyak yang belum menemukan wadah atau komunitas yang membantu mereka untuk meningkatkan potensi yang ada di mereka dalam hal ini kesenian," ungkap Bitan.
"Sanggar Sandalwood kita belajar semua kesenian, jadi apapun itu selama itu bernilai estetik selama ada unsur seni dan budaya kita belajar, secara khusus kita belajar budaya lokal dan secara umum kita belajar budaya nusantara," sambungnya.
Adapun nama Sanggar Sandalwood diambil dari Bahasa Inggris yang artinya kayu cendana. Bitan mengatakan nama Sandalwood diambil karena menggambarkan Pulau Nusa Tenggara Timur yang dulunya terkenal dengan kayu cendana.
Kayu cendana dikenal memang memiliki aroma yang wangi bahkan ketika dibakar. Dari sinilah filosofi Sandalwood adalah ingin terus berproses untuk melahirkan karya-karya yang berdampak baik bagi semua orang.
"Jadi kita mengambil nama sandalwood sebagai filosofi daripada sanggar sandalwood, lebih ke kayu cendana, aroma kayu cendana yang khas dan disukai banyak orang. Kita berharap budaya kita bisa dinikmati banyak orang dan tetap lestari, tidak punah dimakan zaman," ujar Bitan.
Saat ini sanggar Sandalwood sudah berjalan selama 4 tahun dan memiliki kurang lebih 100 anggota dari yang awalnya hanya 4 orang saja. Mereka pun sudah mengikuti berbagai event-event di tingkat kabupaten dan sering mendapatkan apresiasi.
Menurut Bitan, apresiasi tersebut menjadi modal semangat bagi Sandalwood untuk tetap melestarikan budaya lokal dan juga nasional. Ia pun berharap semua komunitas seni atau sanggar yang ada di TTU secara khusus dan NTT secara umum dapat sama-sama melestarikan budaya yang diwariskan nenek moyang.
Sebagai informasi, detikcom bersama BRI mengadakan program Tapal Batas yang mengulas perkembangan ekonomi, infrastruktur, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan Indonesia. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!
(fhs/ega)