Setelah hampir tiga tahun berpisah, nyaris tak ada yang berubah pada dirinya. Itulah kesan pertama Jimi ketika sore itu akhirnya meluangkan waktu untuk mengunjungi Bagas di kafe yang dikelolanya, yang baru sebulanan ini buka. Kecuali kumis dan cambangnya yang dibiarkan tumbuh tipis-tipis --mungkin hanya karena belum bercukur saja-- Bagas masih tetap seorang lelaki sejati dalam gambarannya selama ini: penampilannya tidak neko-neko, tampan alami apa adanya, tanpa terlihat berusaha untuk terlihat keren, tapi justru di mata Jimi dia selalu mengagumkan. Rambutnya selalu terlihat rapi, tidak pernah lebih panjang dan lebih lebat, kapan pun kau melihatnya. Dulu Jimi sering bertanya-tanya, seberapa sering Bagas pergi ke salon untuk urusan rambut. Sejak kenal pertama kali, diam-diam Jimi memang sering memperhatikannya.
"Perutmu makin maju saja!" komentar pertama Bagas begitu melihat Jimi berdiri di depan meja kasir. Jimi hanya nyengir.
"Sebentar ya, kita ngobrol di belakang saja," kata Bagas lagi. Lalu ia bicara pada pegawainya. Mereka mengenakan kaos hitam yang dilapisi apron cokelat bertali kulit. Jimi hampir melangkah ke bangku di sudut ruangan untuk duduk ketika Bagas sudah lebih cepat keluar dari meja kasir, dan sambil berdiri di depan pintu berseru, "Yuk, kita ke belakang!"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jimi menyusul Bagas yang telah keluar dari paviliun, melintasi semacam gerbang yang menganga di tengah-tengah dinding, dengan bata-bata yang terlihat mencuat tak beraturan di tepiannya. Seperti bangunan yang belum jadi, atau sebaliknya, dinding yang sudah lama dan sengaja dihancurkan. Ketika melintasi gerbang itu, Jimi membatin, inilah gaya desain kafe-kafe masa kini. Bukan kemewahan dan kerapian, melainkan justru kesuraman dan kesan keserbaberantakan. Hanya paviliun di bagian depan tadi yang terlihat sebagai bangunan baru. Di dalamnya ada bar, etalase tempat minuman-minuman dalam botol dan kue-kue, serta meja kasir.
Di belakang sini, Jimi melihat, hanya ada kursi-kursi besi berkarat dari jaman lama, yang mengingatkannya pada inventaris kampung untuk acara hajatan, Jimi pernah melihat yang seperti itu di kafe lain yang pernah dia kunjungi bersama istrinya, tapi baru kali ini melihat yang seperti ini: kursi-kursi itu ditata begitu saja ruang terbuka, di bawah pepohonan, dua hingga empat kursi mengelilingi meja rendah yang terbuat dari kayu.
"Ini kebon kosong yang sudah lama tak terurus, lalu kami sewa," Bagas menjelaskan tanpa ditanya, ketika mereka sudah duduk di bawah salah satu pohon dan Jimi terus mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Penjelasan pendek itu membuat Jimi kembali memperhatikan sekelilingnya. Kebon ini terbilang sangat luas, tapi yang dimanfaatkan untuk kafe hanya bagian tengahnya, yang lebih jarang pohon-pohonnya. Jimi melemparkan pandangannya ke kejauhan; masih ada bagian yang mirip hutan kecil.
"Disewa semua atau...?"
"Bagian yang sini saja. Segini sudah cukup luas. Sekalian untuk memberi kesan, pengunjung duduk di tengah-tengah hutan kecil yang masih alami."
"Menarik. Konsepnya dari kamu?"
"Iya, Om Andre menyerahkannya padaku sepenuhnya."
Jimi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kamu sangat beruntung."
Bagas langsung menggeleng, dan wajahnya mendadak terlihat murung.
"Tidak seperti kelihatannya. Tidak seperti yang kamu pikirkan. Justru aku mengundangmu ke sini karena aku mau curhat."
"Curhat? Aku tidak tahu apa-apa tentang kafe."
"Bukan itu! Oh ya, kamu tadi kan belum pesan minuman...mau dibikinin apa?"
"Es kapucino boleh."
"Sama cemilan ya...mau roti atau sesuatu yang digoreng?"
"Tidak usah."
Bagas bangkit, berjalan gesit melintasi gerbang menuju ke paviliun pemesanan. Jimi mengeluarkan handphone dari kantong celananya, dan memotret beberapa sudut di sekelilingnya. Semua bangku nyaris penuh. Anak-anak muda. Pasangan cowok-cewek yang mengobrol lirih-lirih, atau saling diam dan sibuk dengan handphone masing-masing. Di meja lain ada serombongan anak muda, sepertinya anak kuliahan, sedang mengerjakan tugas dengan laptopnya. Jimi menyukai pemandangan itu.
Jadi, apa yang membuat kata-katanya seolah salah, ketika tadi ia mengatakan bahwa Bagas sangat beruntung? Jelas ia sangat beruntung. Bukan hanya karena dipercaya untuk mengelola kafe ini, tapi juga karena kafe yang dikelolanya ini ramai. Padahal ini bukan weekend. Dan hari masih sesore ini.
"Usahamu gimana?" Tak sampai dua menit Bagas sudah kembali, dan langsung menyerbu dengan pertanyaan. Bagas memang selalu bisa memulai obrolan, tidak seperti Jimi yang cenderung sangat pendiam dan harus selalu dipancing. Sejak tadi Jimi memang lebih banyak diam, karena dalam hati kecilnya, sebenarnya ia masih bertanya-tanya, kenapa Bagas berkali-kali mengirim pesan kepadanya, dan memintanya untuk datang ke kafenya.
Jimi tahu dan yakin, bukan tujuan bagas untuk memamerkan kafenya. Dia paham benar watak sahabatnya itu. Bagas pasti ingin membicarakan sesuatu. Tapi apa? Tadi dia bilang mau curhat. Curhat apa?
Bagas mengempaskan tubuhnya ke kursi sambil merogoh sesuatu dari kantong celana jinsnya, dan detik berikutnya ia meletakkan sebungkus rokok dan geretan. Ketika sudah duduk dengan enak, ia langsung menarik sebatang dan menyulutnya, lalu meletakkan kotak rokok itu lebih dekat di depan Jimi.
Jimi mengambil sebatang, menunggu Bagas meletakkan geretannya, dan tiba-tiba tertawa. "Usaha? Hanya warung kecil-kecilan."
"Aku iri sama kamu!" sergah Bagas setelah mengembuskan asap rokoknya ke samping.
Jimi menyalakan rokoknya. "Warungku tidak ada apa-apanya dibandingkan kafe ini. Hanya warung rumahan dengan menu sederhana dan mengandalkan pembeli lewat aplikasi."
"Tapi itu milikmu sendiri. Hasil keringatmu."
"Istriku. Aku hanya tukang belanja bahan di pasar. Dan, ya, sedikit bantu-bantu kalau lagi ramai."
"Masih nyari tamu?"
"Sudah menyerah. Awal-awal pandemi, satu-dua masih bisa dikontak dan mau diajak ketemu, lama-lama menghilang satu-satu. Mungkin kehilangan pekerjaan. Mungkin juga mati."
Bagas tertawa lirih dan datar. Salah satu perempuan yang tadi dilihat Jimi ada di paviliun ketika dia datang, muncul dengan nampan dan dua minuman serta sepotong brownis dalam piring kecil. Jimi memperhatikan perempuan itu meletakkan minuman dan makanan itu satu per satu di meja. Bagas memesan hot americano untuk dirinya sendiri. Jimi bisa mencium aroma wangi kopi hitam yang masih mengepulkan asap samar-samar. Angin sore yang sesekali berembus dari rimbun pepohonan di kejauhan sesaat terasa agak hangat di wajah Jimi.
"Harusnya aku yang iri sama kamu," Jimi menatap sahabatnya yang sedang sibuk menggeser-nggeser letak gelas, cangkir, dan piring agar lebih ke tengah.
"Dari dulu kamu selalu ingin menghiburku. Padahal kamu tahun kondisi yang sesungguhnya."
Jimi mengaduk es kapucinonya lalu meneguknya sedikit. "Enak." Lalu ia memotong bagian pinggir brownis dengan sendok kecil dan mengunyahnya. "Mmm...brownisnya juga enak. Lembut."
"Bikinan kenalannya Om Andre. Dia punya toko kue yang laris di Cibinong."
"Berapa orang pegawaimu?"
"Cuma lima. Enam sama aku. Aku sendiri yang pegang kasir, ya sekalian ngatur ini-itu, koordinasi dan mengawasi."
"Om Andre nggak pernah ke sini?"
Bagas menyeruput kopinya. Jimi sebenarnya tidak terlalu ingin tahu. Ia hanya melontarkan pertanyaan basa-basi untuk menyambung obrolan. Tapi tetap saja, diam-diam Jimi masih menunggu ketika Bagas tidak kunjung bersuara setelah meletakkan kembali cangkirnya dan menyulut sebatang rokok lagi. Jimi mengambil handphone yang ia letakkan di atas meja dan kembali memotret beberapa sudut di sekelilingnya. Udara sore perlahan semakin pekat. Sekelompok pengunjung kafe tengah berfoto-foto di dekat hutan. Jimi baru sadar, ada mobil rongsok yang ditaruh di sana sebagai properti.
"Sebenarnya aku ingin mengakhiri semua ini, dan hidup selayaknya seorang suami yang normal seperti kamu."
Jimi terkejut bahwa kata-kata itulah yang kemudian diucapkan oleh Bagas setelah jeda beberapa detik tadi. Jimi meletakkan handphone-nya dan dengan serius memperhatikan wajah di depannya. Jadi, inilah rupanya, kenapa ia diundang ke mari. Dan, saatnya sudah tiba. Jimi siap mendengarkan. Seperti yang sudah-sudah. Seperti dulu saat Bagas biasa berkeluh kesah.
***
Ketika Bagas pertama kali muncul di Brown Sugar Massage and Spa di Tebet, Jimi sudah bekerja di tempat itu hampir dua tahun. Bagas dibawa langsung oleh Mas Bayu, pemilik Brown Sugar, pada suatu pagi awal September dan diperkenalkan kepada sekitar dua puluh terapis yang sedang bersantai di ruangan khusus menunggu tamu atau panggilan. Ketika sampai pada Jimi, Mas Bayu memperkenalkannya secara khusus.
"Nah, ini Jimi, kalian akan cocok," kata Mas Bayu. Jimi tersenyum sambil menjabat tangan Bagas yang terasa keras.
Bagas tinggi dan tampan, kulitnya putih bersih, dengan wajah yang halus mulus tanpa cela, nyaris seperti berkilau. Dengan badan kekar yang mencolok di balik kemejanya yang rapi, siapapun yang melihatnya mudah untuk mengenali bahwa lengannya sudah 'jadi', pertanda bahwa ia rajin latihan kebugaran. Ternyata, belakangan diketahui bahwa Bagas sebelumnya seorang personal trainer di Ambassador Fitness, tempat Mas Bayu menjadi member-nya. Mas Bayu sudah lama mengincar Bagas untuk diajak bergabung ke Brown Sugar.
"Kenapa mau pindah ke sini? Bukankah kerja di fitness lebih enak?" tanya Jimi ketika mereka makan siang bersama di restoran cepat saji tak jauh dari Brown Sugar. Benar kata Mas Bayu, mereka dalam sekejap bisa cocok karena sama-sama menyukai perempuan. Sebelum ada Bagas, Jimi satu-satunya terapis di tempat spa khusus laki-laki itu yang sebenarnya tidak doyan laki-laki.
"Di fitness gajinya kecil. Kelihatannya saja glamor."
"Tapi kamu kan bukan penyuka laki-laki?"
"Kata Mas Bayu aku cukup mematikan rasaku. Ini hanya cari duit. Pokoknya jalani saja. Kebanyakan tamu juga tidak akan meminta aneh-aneh."
"Bilang saja apa yang bisa kita lakukan dan tidak bisa kita lakukan, dan tamu akan memahami."
"Hahaha...Dulu Mas Bayu juga bilang begitu padamu?"
Jimi mengangguk sambil tersenyum.
"Sebelumnya kerja di mana?"
"Gerai baju. Aku sudah sering melihat Mas Bayu datang ke toko dan aku tahu dia sering memperhatikanku diam-diam. Kupikir tipe om-om brengsek penggoda semacam itu. Tapi ketika dia akhirnya mengajakku kenalan, aku mendapat kesan dia orang baik dan tulus."
"Lalu kamu dibawa ke Brown?"
"Awalnya aku ragu. Tapi aku sudah bosan hidup dengan gaji kecil. Aku hanya ingin bahagia."
"Meskipun awalnya harus muntah-muntah?"
"Hahaha...."
"Hahaha...."
***
Bagas seorang pembelajar yang baik. Dia beradaptasi dengan cepat, dan ditopang dengan penampilannya yang manly langsung menjadi incaran para tamu Brown Sugar. Persis seperti yang dialami oleh Jimi pada bulan-bulan awal dulu. Bahkan dulu Jimi sempat kaget, alangkah mudahnya mendapatkan uang di tempat ini! Hitungannya bukan lagi dalam sebulan, tetap per hari.
Dalam satu bulan, Bagas sudah mengganti motornya dengan Ninja dan pindah dari kosnya yang sempit di Mampang ke apartemen di Kalibata. Pada bulan ketiga, dia mulai berkeluh kesah pada Jimi. "Ada tamu, bapak-bapak 50-an tahun, namanya Om Andre, punya istri, anaknya yang paling besar sudah mau lulus SMA. Dia maunya selalu sama aku."
"Lalu, apa masalahnya?"
"Dia bilang suka sama aku."
"Lalu, apa masalahnya?"
Bagas menonjok lengan Jimi. Jimi langsung memasang tampang serius. "Gas, aku dulu juga pernah jadi simpanan om-om. Dibeliin motor. Diajak tinggal bareng di apartemennya. Rutin dikasih uang saku, dan uangnya aku pakai buat ke klab main cewek. Semua aku nikmati saja."
Bagas terdiam sejenak. "Sekarang?"
"Dia sangat baik dan perhatian. Dia maunya aku hanya jadi miliknya. Suatu kali aku kepergok ketika jalan sama cewek di mall. Dia tidak suka. Aku bisa melakukan apa saja demi uang. Tapi aku tidak bisa dikekang."
Lagi-lagi Bagas diam.
"Kamu jalani saja dulu. Ikuti apa maunya. Orang-orang seperti itu, kalau sudah sayang sama kita, akan sangat baik. Yang penting jangan menyakitinya."
"Kenapa kamu menyakitinya?"
"Aku tidak menyakitinya. Kupikir dia tidak akan cemburu karena aku main sama cewek."
Bagas mendesah. "Kita ini seperti Cebolang dan Nurwitri."
"Hah? Apa itu?"
"Apa itu! Mestinya siapa itu."
Jimi tertawa. "Aku tidak tahu."
"Aku pernah baca buku karya penulis Prancis yang sudah lama hidup di Indonesia, di Jogja. Dia menyadur sebuah kitab klasik Jawa, Serat Centhini. Di situ ada dua tokoh unik, Cebolang dan pembantunya, Nurwitri. Mereka pelarian, atau semacam itulah, untuk mencari jati diri. Bertualang. Di mana pun mereka singgah selalu digilai para perempuan, tapi juga bikin laki-laki jatuh cinta."
"Kedengarannya menarik. Aku tidak pernah membaca buku. Aku tidak tahu kita ini seperti apa atau siapa. Yang kutahu, aku laki-laki biasa, yang menjalani hidup ini apa adanya."
Bagas mendesah lebih keras. Saat itu, Jimi sudah bisa menebak sejak awal, cepat atau lambat, di ujung kegelisahannya, Bagas pada akhirnya akan menjadi simpanan Om Andre.
Dan, persis seperti yang dibilang Jimi kepada Bagas, hidup berjalan apa adanya. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada yang perlu dipikirkan. Semua hanya untuk dijalani. Yang terjadi sekarang akan berlalu bersama waktu. Besok masih ada dalam impian di kala tidur. Sampai kau terbangun di pagi hari yang cerah, dan semua baik-baik saja.
Sampai kemudian pandemi datang, menghancurkan kehidupan, dan mengacaukan banyak hal. Brown Sugar tutup. Mas Bayu bangkrut. Para terapis tercerai berai. Bertahan hidup dengan caranya masing-masing. Jimi pulang ke Garut, dan menikah di sana. Lalu kembali ke Jakarta dan membuka warung bersama istrinya di Cijantung, awalnya hanya menyediakan menu nasi ikan goreng dan lalapan, lalu lumayan berkembang. Anak pertama mereka lahir setahun kemudian.
Bagas sempat pulang sebentar ke Sukabumi. Jimi sudah sangat jarang berkontak dengannya, tapi ia tahu sahabatnya itu juga sudah menikah dan tetap menjadi simpanan Om Andre. Sampai akhirnya ia memberi kabar itu. Mengikuti tren yang berkembang, Bagas dimodali Om Andre untuk membuka dan mengelola sebuah kafe di Depok.
***
"Jadi, apa masalahnya?"
Bagas tertawa. Teringat pembicaraan di masa lalu. Kini, tawa itu terdengar getir di telinga Jimi. Sore sudah di ujung perbatasan malam. Lampu-lampu yang tertempel di pohon dan terpancang di sudut-sudut kebun dengan tiang-tiang bambu sudah dinyalakan. Pengunjung kafe masih ramai.
"Aku ingin mandiri seperti kamu."
"Kamu bisa kalau kamu mau," Jimi menyahut cepat.
"Istriku tidak terampil dan tidak berbakat seperti istrimu."
Jimi mengibaskan tangannya sambil mendesah. "Kami dulu juga hanya coba-coba. Aku tidak pernah cerita bahwa sebelum warung yang sekarang jalan di Cijantung, kami sudah pernah gagal ketika mengawalinya di Pasar Rebo."
Bagas semakin tampak gelisah. "Aku selalu mengkhawatirkan masa depan. Istriku sebentar lagi lahiran. Dan, aku sangat sibuk mengurus kafe ini."
"Kafe ini sukses. Kulihat pengunjungnya ramai terus dari tadi."
"Ya, ya!" Bagas menyergah, nyaris berteriak. "Tapi ini bukan milikku sendiri!"
Jimi mulai capek. Sulit memahami kegelisahan Bagas. Seandainya Jimi jadi Bagas, ia mungkin akan lebih bahagia. Jimi tahu Om Andre sangat baik. Bagas pernah cerita, selama pandemi Om Andre nyaris tidak pernah mengajak bertemu. Selain karena memang menghindari kontak demi kesehatan, dia juga sangat sibuk dengan bisnis-bisnisnya. Mestinya Bagas senang dengan itu. Om Andre tidak banyak menuntut. Tapi selalu memberi dan menjamin kehidupan Bagas.
Menurut Jimi, Bagas terlalu banyak berpikir. Kenapa begitu sulit menyederhanakan semua ini? Apa sih yang sebegitu pentingnya untuk diperjuangkan? Selama tidak ada pihak yang dirugikan, selama tidak ada hukum yang dilanggar, selama tidak ada yang merasa diperlakukan jahat dan tersakiti, kenapa tidak diterima saja dan dijalani? Tidak ada gunanya mencari solusi apapun dalam hidup ini. Karena sesuatu yang dianggap masalah bagi seseorang, bisa jadi itu hal biasa bagi yang lain.
Seandainya bisa, Jimi mau --kenapa tidak?-- bertukar tempat dengan Bagas. Entah siapa yang menjadi Cebolang dan siapa yang menjadi Nurwitri dalam hal ini. Toh, keduanya sama-sama hanya mengisi kehidupan ini dengan kesenangan-kesenangan sesaat, yang entah akan cepat berlalu atau lebih lama bertahan, demi apa yang selalu kita bayangkan sebagai sesuatu yang sesungguhnya kita cari, tanpa kita pernah benar-benar tahu yang sesungguhnya itu apa --adakah yang kita cari dan bukan sesungguhnya?
Jimi meraih bungkus rokok di atas meja. Masih ada tiga batang. Ia mencabut satu dan menyulutnya, sambil menunggu apa lagi yang akan dikatakan, atau lebih tepatnya dikeluhkan oleh Bagas. Tapi untuk beberapa lama, lelaki itu hanya mengedarkan pandangannya ke bangku-bangku di sekelilingnya, yang dipenuhi oleh anak-anak muda yang sedang menikmati suasana petang. Jimi ikut memandang ke sekitar. Terlihat wajah-wajah cerah dalam temaram sinar lampu yang membuat udara berwarna kekuningan. Jimi menatap Bagas. "Aku bisa minta satu es kapucino lagi?"
Pondok Labu, 2 September 2022
Mumu Aloha menulis dan menyunting naskah, sesekali mengkritik; cerpennya termuat dalam sejumlah antologi bersama
(mmu/mmu)