Kabar perjodohanku dengan seorang pria, anak dari sahabat lama Ayah, membuat hati gundah. Takut akan ketidakcocokan membuat hati kian resah. Bagaimana tidak, aku tak mengenalnya sama sekali.
Sempat kuminta fotonya terlebih dulu pada Ayah, bukan untuk melihat seberapa tampan, hanya ingin menepis rasa penasaran.
"Ayah lupa memintanya saat itu."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya bisa pasrah, menyerahkan nasib pada ketentuan Tuhan. Apalagi, saat kudengar pemuda itu memiliki kekurangan fisik. Kata Ayah, kakinya agak pincang karena dampak kecelakaan.
Aku tak terlalu mempermasalahkan, toh aku pun memiliki kekurangan. Satu lenganku agak bengkok, akibat kecelakaan empat tahun lalu. Untung saja nyawaku masih terselamatkan, berkat seorang pria yang sampai saat ini tak pernah kutemukan. Saat itu, kami dibawa ke rumah sakit berbeda, hingga tak sempat mengucap kata terima kasih padanya.
"Apa dia tahu kekuranganku?" Lagi, ada resah di hati. Bayang ketidakcocokan dan kekurangan diri membuat ketakutan kian tumpat.
Ayah mengangguk. Agak lega, setidaknya satu sebab keresahan telah sirna. Semoga saja waktu mampu menciptakan hubungan yang nyaman.
"Ayah menerima bukan karena kalian sama-sama memiliki kekurangan fisik. Semua orang tua menginginkan jodoh yang sempurna bagi anaknya. Ayah hanya yakin dia pemuda yang baik untukmu. Untuk apa memiliki rupa dan fisik sempurna, jika sifat dan kelakuan jauh dari kata mulia."
Kuiyakan ucapan Ayah. Aku yakin, semua Ayah lakukan agar aku bahagia. Semoga saja memang akan berakhir demikian.
"Minggu depan mereka akan datang. Mereka bilang, lebih cepat lebih baik. Usia pemuda itu tak lagi muda, sudah sangat layak berumah tangga."
Lagi-lagi aku hanya mengiyakan, bagiku usia tiga lima belum termasuk tua. Tak apa, terpaut enam tahun bukan kendala.
***
Kadang sulit menemukan cinta sejati. Apalagi, bagiku yang memiliki kekurangan di satu kaki. Kabar perjodohan dari Ayah membuatku pasrah. Memangnya siapa lagi yang mau menerima lelaki dengan kaki yang pernah patah?
"Dia tahu kekuranganku?" tanyaku saat Ayah menyampaikan kabar itu. Bagiku yang terpenting memang itu. Aku tak ingin nantinya perjodohan ini menimbulkan kekecewaan.
Ayah bilang gadis itu menerima, tapi dia pun memiliki kekurangan, lengannya tak sempurna.
"Dia gadis yang baik setahu Ayah. Perangainya lembut, ke-ibuan. Menurut Ayah dia cocok menjadi pendamping hidupmu." Disodorkannya secarik foto dengan posisi terbalik. Mungkin Ayah ingin aku membaliknya sendiri.
Kubalik kertas itu hati-hati, penasaran dan debar bercampur jadi satu, menunggu siapa yang terpampang di foto itu.
Seorang gadis dengan senyum tipis menghiasi pandangan. Wajahnya yang ayu nan teduh menggetarkan perasaan. Tapi bukan itu yang sebenarnya membuat hati girang. Dia ternyata Laila, gadis yang sejak dulu kuimpikan. Hanya saja, impian untuk meminangnya telah kukubur sejak empat tahun lalu, saat kekurangan diri mengikis rasa percaya diri.
Kejadian empat tahun lalu tiba-tiba terulang dalam bayang. Seorang gadis tengah berjalan dengan pandangan kosong, padahal lalu lalang kendaraan cukup ramai, membuatku berpikir dia bisa saja tersenggol salah satunya.
Aku yang tengah duduk di depan sebuah toko, beberapa meter dari keberadaan gadis itu, merasa harus mengingatkan. Sayang, belum sempat sampai di hadapan, sebuah mobil melaju kencang di belakang. Aku berlari, sekuat tenaga berteriak agar ia menepi. Sempat kutarik tangannya walau akhirnya kami terjerembap dan gadis itu tak sadarkan diri. Namun detik berikutnya baru kusadari, sesuatu yang lebih buruk terjadi, saat sakit yang teramat mendera terasa di kaki kiri. Ternyata, kakiku masih menjulur ke tepian jalan, terlindas kendaraan.
Aku tak ingin gadis itu terbebani dan merasa berhutang budi. Karena itulah aku minta dibawa ke rumah sakit berbeda saat warga memberi pertolongan.
***
Sore ini, wajah Laila masih terlihat sama, cantik. Hanya kedewasaan yang membuatnya sedikit berbeda, lebih bijaksana. Dalam hati kupuja Yang Maha Kuasa, betapa jalan takdir telah Dia gariskan sedemikian rupa. Aku yang terus berusaha melupakan, tapi akhirnya Tuhan kembali mempertemukan.
"Nak Ilman, Om dengar peternakan lele Nak Ilman berkembang pesat. Om selalu kagum sama anak muda yang giat bekerja." Ayah Laila menatap bangga. Aku tersipu, tak nyaman dipuji seperti itu. Lagi pula itu hanya usaha sampingan. Jadi saat bengkel mobil yang kukelola tak cukup menghasilkan, tak perlu pusing memikirkan pemasukan.
"Biasalah, anak muda. Kala jenuh, tak mampir semenit pun ke bengkel, anteng main sama lele di kolam. Asal jangan main perempuan saja saya bilang." Ayah yang menjawab, diikuti gelak tawa semua orang, kecuali Laila. Ia hanya tersenyum, seraya menunduk.
Kusenggol bahu Ayah pelan, menyuruhnya menyudahi candaan. Tak sabar, ingin segera membicarakan pernikahan. Toh, kedua belah pihak sudah setuju, pun dengan Laila dan aku.
Jam delapan malam acara selesai, tanggal pernikahan telah ditentukan. Sebelum pulang, kuajak Laila bicara, hanya berdua. Aku hanya ingin memastikan, dia tak terpaksa menerima perjodohan.
"Kamu tak menyesal menerima Abang? Lihatlah, berjalan pun Abang tak senormal yang lain."
"Jangan bicara seperti itu. Laila sudah bersedia menerima kekurangan Abang. Pun dengan Abang, Laila harap Abang ikhlas menerima Laila apa adanya." Laila menunduk, seolah menyimpan banyak beban.
"Kadang Laila menyesal, Andai dulu lebih hati-hati, mungkin tak akan seperti ini. Belum lagi rasa bersalah yang selalu menghantui. Saat itu, Laila dengar orang yang menolong Laila terluka lebih parah. Ingin menebus rasa bersalah, tapi sampai saat ini, Laila tak pernah tahu di mana keberadaannya."
Perlahan, kuraih tangannya, memperhatikan lengannya yang memang terlihat agak bengkok.
"Maaf, saat itu aku terlalu panik. Andai lebih hati-hati menarikmu, mungkin lenganmu tak akan seperti ini."
Mie S lahir di Tasikmalaya, 9 Oktober 1990. Cerpennya terhimpun dalam antologi bersama Raina, Terkurung Sesal; novelnya yang terbit berjudul Pasangan Hidup Terakhir (2019) dan Dia Mencuri Mahkotaku (2020).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
(mmu/mmu)